About

STAIN KEDIRI

STAIN KEDIRI
USHULUDDIN

Sabtu, 21 Januari 2017

PONDOK PESANTREN AL-ISHLAH BANDARKIDUL KEDIRI



PONDOK PESANTREN AL-ISHLAH BANDARKIDUL KEDIRI

Pondok Pesantren al-Ishlah adalah salah satu pondok pesantren di Kota Kediri yang dibangun di Desa Bandarkidul  9 tahun pasca kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tahun 1954 M. Komplek Pondok Pesantren Al-Ishlah terletak di sebelah Barat sungai Brantas dan berada di atas areal tanah seluas ± 1.780 m2.  Lokasi Pondok berada di sebelah Barat alun-alun Kota Kediri,  tepatnya di sebelah Selatan perempatan Jl. Bandar Ngalim Bandarkidul-Mojoroto-Kota Kediri.  Sejarah perjalanan Pondok Pesantren al-Ishlah, ini hadir untuk menggugah hati dan membawa  ingatan kita terhadap dinamika dan romantika masa lalu, nan memberi rangsangan semangat, motivasi dan renungan menuju hidup yang lebih berarti. Sehingga terpatri sebuah pandangan jernih dalam hati kita dalam menyikapi persoalan hidup, perjuangan, pengorbanan, kegagalan, kesuksesan, kekayaan, kemiskinan, persahabatan, cinta dan kasih sayang. Serta himmah untuk meniru jejak perjuangan atas keberhasilan seorang tokoh dalam menegakkan panji-panji Ishlah.
A. Latar Belakang Berdirinya Pondok Pesantren Al-Ishlah
Al-Ishlah didirikan satu tahun menjelang pemilihan umum pertama tahun 1955, tepatnya pada tanggal 17 Oktober 1954. Saat itu situasi sedang dimanfaatkan oleh para politisi dan gembong-gembong partai mengadakan persaingan mencari pengaruh dan perebutan kekuasaan yang saling menjatuhkan. Kondisi masyarakat Indonesia yang  sangat plural, banyak suku, ras dan agama berkembang dengan pesat sangat rentan terhadap konflik. Hal ini tentunya dapat berdampak negatif terhadap kondisi umat Islam. Karena Islam sebagai agama yang banyak dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia ternyata juga menganut beragam madzhab yang berbeda-beda dan mempunyai basis masa yang tidak sedikit jumlahnya. Hal ini tentunya menjadi ladang subur untuk memperoleh dukungan massa yang sebesar-besarnya, jangan sampai keutuhan umat Islam ini dimanfaatkan pihak ke tiga untuk kepentingan kelompok atau golongan tertentu dengan  aksi dukung mendukung yang rewan terhadap konflik.
Melihat yang kenyataan yang demikian itu, sebagai upaya untuk menghindari perpecahan umat maka beliau memilih al-Ishlah sebagai nama pondok pesantren yang didirikannya sebagai  simbol perdamaian umat.  Beliau berharap dengan nama al-Ishlah, santri-santrinya mampu menginternalisasikan nilai-nilai perdamaian untuk membangun umat yang rukun dan damai tanpa memihak satu kelompok manapun. Keanekaragaman madzhab dalam umat tubuh umat Islam serta tumbuh suburnya ormas dan orsospol harus segera seberdayakan, jangan sampai tumbuh sikap fanatisme, arogan dan saling menjatuhkan. Nama Al-Ishlah yang ada sejak 56 tahun silam, hingga al-Ishlahsebagaimana kita kenal sekarang ini, bukan hanya rangkaian aksara  tanpa makna. KH. Thoha Mu’id selaku pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren al-Ishlah, mengutip beberapa ayat al-Qur’an sebagai landasan normatifnya, antara lain yaitu:
a. Qs. An-Nisa’  (4) ayat 114
لا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, ataumengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.
b. Qs. al-Hujrot (49) ayat 9-10
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْفَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ  * إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ     *
 Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.

B. Dinamika Perkembangan Pondok Pesantren Al-Ishlah    
1.  Napak Tilas Santri Generasi Awal
Dari data yang kami kumpulkan  bahwa jumlah santri yang pertama kali mukim di Al-Ishlah ada 14 orang, enam orang diantaranya  adalah santri yang berada dalam binaan KH. Thoha Mu’id semenjak beliau masih berada di Pondok Pesantren Mojosari.  Dengan pulangnya Romo Kyai dari Mojosari, mereka ikut serta pindah (boyong) ke Al-Ishlah agar dapat tetap berguru kepada KH. Thoha Mu’id. Mereka itu adalah :
1.      Wahid dari Berbek – Nganjuk
2.      Turmudzi dari Tunjung – Udanawu – Blitar
3.     Mujib dari Kebon Agung – Udanawu – Blitar
4.     Hasyim Asy’ari dari Dadaplangu-Blitar
5.     Pandi dari Ngetos – Nganjuk
6.      Chozin dari Kedungombo – Warujayeng
7.      M. Syafa’at dari Kebon Agung – Udanawu – Blitar
8.      Mulkan dari Kebon Agung – Udanawu – Blitar
9.      Masyhudi dari Kalipucung – Sanankulon – Blitar
10.  Faishol dari Pesantren – Kediri
11.    Sapoan dari Wonodadi – Blitar
12.  Abdul Manan dari Garum-Blitar
13.  Munawir dari Garum-Blitar
14.   Romly dari Gadungan-Gandosari-Blitar
15.  Dari ke 14 santri tersebut yang pertama kali diajak ke Bandarkidul adalah Wahid dari Berbeg, namun untuk selanjutnya ke 13 santri tersebut diatas menyusul.
Sedangkan  enam orang lainya adalah tergolongn santri baru, dalam arti bukan termasuk santri yang ikut serta pindah bersama Kyai dari Mojosari, mereka adalah:
1.      Katib dari Ngronggot
2.      Ghozali dari Bumiayu
3.      Ridlo dari Bumiayu
4.       Abidin dari Bumiayu
5.       Bashori dari Ponorogo
6.      Dimyati dari Kertosono – Nganjuk
Dari keseluruhan santri pada generasi awal tersebut, beberapa diantaranya tidak mengalami dalam satu masa secara bersamaan. Namun mereka adalah generasi pada dekade tahun 1958. Dengan demikian, tidaklah berlebihan jikalau ke-20 orang tersebut berhak mendapatkan predikat sebagai gelar “Assabiqnal Awwalun” generasi pertama, sebagai pelaku  sejarah dalam bertholabul ilmi di Pondok Pesantren Al-Ishlah.

2. Perkembangan statistik santri dari tahun ke tahun
Seperti halnya pesantren pada umumnya, yang  mewajibkan para santrinya  untuk  mengikuti program pendidikan yang diselenggarakan di dalam pesantren. Tetapi yang menjadikan al-Ishlah berbeda dengan pesantren lainnya, yakni adanya kebijakan yang memberikan kesempatan  kepada para santrinya untuk menuntut ilmu dilembaga formal yang berada diluar pesantren. Kebijakan ini dibuat 12 tahun pasca berdirinya Al-Ishlah, tepatnya tahun 1966, yakni bersamaan dengan didirikannya IAIT Tribakti oleh Pondok Pesantren Lirboyo. Saat itu mengalirlah pelajar-pelajar tamatan Pondok besar seperti Ploso, Jampes dan Bendo, untuk mengikuti kuliah di Tribakti dengan mukim di Al-Ishlah, di samping  juga ada yang kuliah di IAIN Sunan Ampel Cabang Kediri (Sekarang STAIN Kediri)  ataupun sekolah tinggi sederajat. Inilah kondisi sosio kultural yang menentukan langkah baru  pondok pesantren al-Ishlah, dimana saat itu KH. Thoha Mu’id selaku pendiri dan  pengasuh membuat kebijakan baru  yakni memberikan kesempatan bagi santri untuk belajar atau sekolah formal diluar pondok. Dalam mengeluarkan kebijakan ini beliau merujuk pada Firman Allah Qs. Al-Isra’ (17): 80.
Berawal dari kebijakan inilah, membuat Al-Ishlah diminati banyak orang. Dengan bertempat di Pondok al-Ishlah santri tidak hanya mendapatkan wawasan keilmuan agama saja, tetapi juga mendapatkan  kesempatan untuk belajar  dilembaga pendidikan formal yang berada di luar pondok. Maka banyak pelajar yang datang dari berbagai daerah untuk memperdalam ilmu agama di Al-Ishlah sambil sekolah diberbagai lembaga pendidikan formal maupun non formal yang ada di wilayah kediri dan sekitarnya. Mulai dari tingkat  SMP, SMA, sampai Perguruan Tinggi. Hal ini mambawa dampak positif bagi perkembangan al-Ishlah, terbukti dari tahun ketahun jumlah santri al-Ishlah terus mengalami peningkatan yang cukup segnifikan. Walaupun, dalam waktu satu tahun, selalu terjadi pasang surut jumlah santri. Hal ini disebabkan sebagian santri yang meninggalkan pesantren karena tuntutan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, atau meninggalkan pesantren disebabkan suatu hal yang lain.

3. Aktifitas Santri
Sebagai seorang pengasuh,  KH. Thoha Mu’id memberikan kesempatan kepada para santri untuk menempuh pendidikan formal maupun non formal serta mengikuti organisasi  diluar lingkungan pesantren memberikan dampak yang luar biasa terhadap pembentukan kepribadian dan pengembangan potensi santri. Dengan cara seperti ini, santri selain mendapatkan  pendidikan agama ia juga berkesempatan mengembangkan potensi dirinya semaksimal mungkin.
Dalam mendidik santri yang siang hari tidak sekolah formal, maka KH. Thoha Mu’id selalu mengarahkannya untuk mengikuti ro’an, dari sini santri secara tidak langsung akan belajar berwirausaha, baik itu melalui pemberdayaan koperasi, ketrampilan, keahlian dan lain-lain. Khusus dalam ro’an bangunan fisik,  ketika selesai bangunan yang satu maka sebagai alternatif untuk kegiatan santri akan dicarikan bangunan yang lain untuk dapat direnovasi, itu dilaksanakan secara terus menenus. Hal itu bertujauan agar  jangan sampai santri nganggur¸ tanpa ada aktivitas. Sebagaimana pengakuan dari beberapa alumni yang mengikuti perkembangan al-Ishlah hingga saat ini, bahwa kegiatan ro’an sejak awal berdirinya pondok sampai saat ini tidak pernah ada putusnya.
Hal ini menjadikan suasana al-Ishlah selain menjadi wadah untuk ber tholabul ’ilmi, pondok al-Ishlah juga sebagai temnpat berinteraksi sosial secara utuh. Keanekaragaman latar belakang asal daerah dan potensi (pendidikan formal) menjadi nilai positif untuk saling mengisi dan berbagi pengalaman. Oleh sebab itu, lahirlah alumni yang berkemampuan sangat heterogen namun tetap berkarakter seorang santri. Mulai dari praktisi ulama, umaro’, intelektual, pengusaha, dan lain-lain.

 4. Fasilitas, sarana dan prasarana
Tuntutan bagi sebuah pencapaian ilmu sangat erat kaitannya dengan tersedianya sarana dan pra sarana yang representatif. Dalam hal ini upaya kongkrit telah dilakukan oleh pondok pesantren al-Ishlah Bandarkidul dengan melakukan penataan, pelestarian, dan pengembangan dalam bidang fasilitas, sarana dan prasarana.
Asrama Santri
Sejak pertama kali al-Ishlah dirintis oleh KH. Thoha Mu’id, sarana dan prasarana untuk santri pun masih seadanya, jauh dari ideal. Pada tahun pertama hanya terdapat satu kamar yang masih bersifat darurat yang dikenal dengan istilah nyang empokan (sesuatu yang dindingnya sebagian cukup pada bangunan lain) tepatnya berada di sebelah baratNdalemnya Bapak H. Abdul Mu’id, itu harus  ditempati  oleh kurang lebih 14 santri.
Dengan kondisi seperti itu, maka kegiatan belajar-mengajar ditempatkan di langgar atau surau kecil dengan penerangan lampu 5 watt, sehingga para santri menerima pelajaran dari Kyai membawa lampu teplok yang dipasang pada dinding langgar atau lampu ublik yang diletakkan di atas dampar (meja kecil) atau dipegang dengan tangan kirinya bagi mereka yang tidak mempergunakan meja (lesehan), dimana kitabnya hanya disandarkan diatas lututnya yang berfungsi sebagai gantinya meja tulis, sedang tangan kananya digunakan untuk maknani /ngesahi (menulis) pada kitab yang dikaji.  Bagi mereka yang tidak membawa lampu sendiri maka mereka mengelompok, bergabung dengan temannya sehingga lampu satu dikerumuni oleh tiga atau empat orang.
Itulah Al-Ishlah di masa silam, yang selalu dikenang oleh para santri generasi pertama. Rupa-rupanya keadaan itu sekarang ini sudah menjadi sejarah masa silam, karena al-Ishlah yang ada kini  ditaburi cahaya lampu yang menjadikan sekitarnya terang benderang.  Langgar kecil yang sangat berjasa, beserta menara tempat mengalunkan panggilan Ilahi setiap Maghrib dan Subuh itu, sudah tergusur oleh proyek pelebaran jalan.
Sedangkan perkembangan sarana fisik (asrama) santri dimulai pada tahun 1954 hanya ada satu kamar, tahun 1957 ada  4 kamar yakni 2 kamar di belakang pengimaman langgar kecil (komplek A pada waktu itu) dengan ditambah 2 kamar sebelah selatan langgar yang sekarang sudah tidak bisa kita saksikan lagi. tahun 1958 membangun komplek B sebelah selatan langgar, sejumlah 7 kamar ditambah 4 kamar komplek A atas, dengan membongkar 2 kamar sebelah selatan langgar (sehingga ada 10 kamar. Tahun 1960 setelah bapak KH. Abdul Mu’id  meninggal dunia maka sebagian santri menempati rumah beliau yang selanjutnya menjadi komplek C. Tahun 1962 setelah bapak Kyai Abdurohman pindah ke Pulosari, maka rumah beliau ditempati santri pula, dengan leter komplek D yang terdiri 4 kamar. Keterangan  ini diperoleh dari buku ¼ Abad PP al-Ishlah, hasil wawancara dengan Bapak Mihron (santri tahun 1955) yang menyaksikan perkembangan pondok pesantren Al-Ishlah ditahun-tahun.
Tahun 1967 membangun komplek Madiun dengan 3 kamar, kemudian tahun 1968 membangun komplek Pemalang dengan 1 kamar,  tahun 1969 membangun komplek E dengan 4 kamar, tahun 1972 membangun komplek Solo dengan 2 kamar, tahun 1973-1974 membangun komplek ‘al-Huriyah’ dengan 7 kamar, tahun 1975 menyempurnakan dan mulai penggunaan komplek ”Nadlotus Syubban” (sekarang al-Munawwaroh) dengan 8 kamar. Namun pada tahun 1976 situs bersejarah yang menjadi cikal bakal berdirinya pondok pesantren al-Ishlah itu harus rela digusur oleh proyek pemerintah (pelebaran  jalan Bandar Ngalim) , rumah Kyai Yusuf Mu’id, langgar utara dan komplek-komplek tempat tinggal para santri waktu itu kini sudah tidak bisa disaksikan lagi, semuanya sudah tergusur oleh proyek tersebut.
Kemudian tahun 1978 membangun dan meresmikan komplek ‘As-Sa’adah’ dengan 10 kamar, dalam tahun itu juga al-Ishlah membangun aula yang diberi nama ”Darul Muttaqin”  dua lantai, atas digunakan aula dan bawahnya digunakan kantor pondok dan komplek al-Fattah. Dalam perkembangannya komplek al-Fattah semuanya dipindah ke atas. Pada tahun 1980 komplek al-Hurriyah dipindah ke selatan yang bersambung dengamn komplek as-Sa’adah, sedang komplek al-Hurriyah yang lama digunakan untuk asrama putri.
Sejak tahun 1954, dari tahun ke tahun di al-Ishlah tercatat beberapa kali melakukan pembangunan asrama santri.  Dalam rentang waktu 56 tahun sejak berdirinya, pondok pesantren al-Ishlah telah menunjukkan kiprah dan peran yang luar biasa, berawal dari hanya sebuah surau kecil sebagai pusat kegiatan santri dan asrama yang sangat sederhana (nyang empyokan) kini telah berkembang menjadi sebuah pondok pesantren yang cukup representatif dan populer di mata masyarakat luas baik dalam skala lokal maupun nasional.
Seperti yang dapat kita saksikan sekarang. Saat ini di dalam area  pondok pesantren al-Ishlah terdapat lima komplek yang terdiri beberapa kamar, diantaranya adalah: al-Fattah: 7 kamar, al-Munawwaroh: 8 kamar, al-Mubarokah: 5 kamar, al-Hurriyah: 5 kamar, dan as-Sa’adah: 12 kamar. Selain itu ada juga yang bertempat di komplek mushola al-Fadlu dan asy-Syafi’i, keduanya merupakan  bagian dari pada pondok pesantren al-Ishlah.
Mushola al-Ishlah
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pondok pesantren, yang dianggap sebagai tempat umat Islam mengadakan berbagai macam kegiatan keagamaan, pengajian sholat berjama’ah musyawarah,  dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, bukan merupakan hal yang aneh jika dimana  ada pesantren disitu pula ada masjid, seperti yang dapat kita lihat di pondok pesantren al-Ishlah.
Pada mulanya pondok pesantren al-Ishlah memiliki mushola yang amat sederhana, berada di utara ndalem. Tetapi bangunan itu sudah tiada lagi karena sudah tergusur oleh proyek pelebaran jalan Bandar Ngalim. Akhirnya ada inisiatif untuk membangun kembali mushola yang telah digusur tesebut dengan bangunan yang lebih permanen .Hal itu  direalisasikan pada tahun 1966, yakni dengan dibelinya rumah besar kepunyaan Bu Sinder beserta tanahnya seluas 1560 m² atau 111½ ru selannjutnya di fungsikan sebagai mushola al-Ishlah, yang menjadi  pusat kegiatan santri. Selang beberapa tahun setelah bangunan mushola  itu berdiri dan santri kian bertambah banyak. Maka sebagai akibatnya mushola  yang semula dirasa longgar semakin terasa sempit. Kemudian diadakan perluasan dengan  merenovasi bentuk bangunannya hingga berdiri megah ”Masjid Al-Ishlah” beserta menara yang menjulang tinggi sebagaimana yang kita lihat sekarang ini.

Menara Arafah
Menara Arofah adalah merupakan salah satu simbol panji-panji Islam yang ada di pondok pesantren al-Ishlah. Menara yang berdiri megah di sebelah barat mushola  ini merupakan menara ke -3 yang pernah ada dalam kurun  waktu 56 tahun sejak berdirinya al-Ishlah.
Menara yang pertama kali berdiri di pondok pesantren al-Ishlah berada di utara mushola lama dengan ketinggian 9 M, tepatnya di timur ndalem Kyai Yusuf Mu’id. Namun dikarenakan adanya gempa, maka pembangunanya tidak dilanjutkan dan selanjutnya dialih fungsikan untuk kamar santri, yang ditempati oleh Afandi dan Awwaluddin.
Pada tahun 1967 ada rencana melanjutkan kembali pembangunan menara, akan tetapi lokasi pembangunannya berada di sebelah selatan mushola lama (sekarang menjadi dapurndalem). Namun pada tahun 1975 pemerintah kembali  mengadakan proyek pelebaran jalan Bandarngalim, yang akhirnya menara beserta mushola lama dan ndalem Kyai Yusuf Mu’id harus tergusur oleh proyek tersebut.
Setelah adanya penggusuran, maka di pondok pesantren al-Ishlah tidak terdapat menara. Pada tahun 2004 ide untuk mendirikan kembali menara di pondok pesantren al-Ishlah dimunculkan. Tetapi sebelum ide itu terealisasikan keluarga besar pondok pesantren al-Ishlah mengalami peristiwa duka yang mendalam atas kepergian Ibu Nyai Hj. Siti Asiyah untuk selama-lamanya, innalillahi wa inna ilaihiroji’un. 
 Ide pembangunan menara baru dapat direalisasikan pasca meninggalnya Ibu Nyai. Penggalian pondasi dimulai pada hari Selasa, 17 Agusutus 2004/ 1 Rajab 1425 H. Sebelum peletakan batu pertama dilaksanakan, KH. Thoha Mu’id mengintruksikan agar peletakan batu pertama didahului oleh adzan dan iqomat. Hal ini berdasarkan ijazah dari KH. Fattah – Mangunsari, Tulungagung dan pada saat itu yang mendapatkan tugas mengumandangkan adzan dan iqomat adalah Affan al-Qudsy (santri asal Kudus).
Pembangunan menara dapat dilakukan secara bertahap, hal ini mengingat keterbatasan dana yang dimiliki. Al-hamdulillah, atas dukungan moral dan material dari keluarga besar al-Ishlah, santri, dan alumni serta pihak-pihak yang mempunyai kedekatan emosional dengan pondok pesantren al-Ishlah  pembangunan menara dapat terselesaikan. Menara tersebut diberi nama ”ARAFAH” yang diresmikan bersamaan dengan acara peringatan 56 tahun berdirinya pondok pesantren al-Ishlah pada tanggal 25 Desember 2010 M/19 muharam 1432 H.

SANIMAS (Sanitasi Masyarakat Pesantren) “NAMI“ Pondok Pesantren  Al Ishlah
Ini merupakan salah satu terobosan baru yang ada ditempuh oleh pondok pesantren al-Ishlah dalam rangka  menyediakan fasilitas MCK bagi  santri yang representatif dan memenuhi standart kesehatan. Selain sebagai tempat  pembuangan kotoran (tinja/feses) dari para santri, SANIMAS ini mempunyai fungsi ekonomis yakni dengan memanfaatkan mikro organisme yang dapat menguraikan  tinja/feses untuk diubah menjadi biogas. Energi  ramah lingkungan, selain bebas dari pencemaran  juga dapat dimanfaatkan para santri untuk  memasak. Hal ini  menjadi energi alternatif sebagai ganti pemakaian kayu bakar, minyak tanah dan gas LPG. Sanitasi Masyarakat ”NAMI” Pondok yang menelan biaya lebih dari 200 juta ini dioprasikan mulai bulan April 2010. Pengambilan nama ”NAMI” merupakan ide dari KH. Zubaduzzaman. NAMI sendiri adalah  singkatan  dari ”an-Nadhofatu Minal Iman”.
Perpustakaan
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Islam menaruh perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Hubungan timbal balik antara ilmu agama dan ilmu umum bagaikan sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, keberadaannya harus seimbang yang berorientasi pada kemaslahatan umat.
Hidupnya ajaran Islam harus dipelihara dengan cara  menghidupkan dan mengembangan semangat mencari ilmu serta memeliharanya. Sedangkan kunci pertama dari pada ilmu pengetahuan adalah berangkat dari kemauan untuk menulis dan membaca, karena pada dasarnya apapun yang di baca dan di dengar  oleh seseorang akan berdampak pada pola pikirnya. Apabila hal ini terjadi pada diri seorang santri, dengan adanya dorongan dan semangat  untuk mengkaji buku-buku atau pun kitab yang telah di sediakan oleh pengelola perpustakaan, maka lambat laun pola pikirnya pun akan  berubah dan  ketajaman analisanya pun akan semakin terasah. Oleh karena itu, minat baca para santri di lingkungan pesantren harus mendapatkan prioritas yang utama.
Dalam hal ini, upaya yang ditempuh oleh pondok pesantren al-Ishlah adalah dengan mendirikan perpustakaan.
§  Perpustakaan ”GERBANG
Sebenarnya al-Ishlah sudah pernah merintis perpustakaan, yang didirikan pada tahun 1969. Perpustakaan  yang ini merupakan bangunan perpustakaan pertama  yang pernah  ada di dalam lingkungan pondok pesantren al-Ishlah. Pada perkembangannya, perpustakaan ini  mempunyai beberapa koleksi karya fiksi maupun karya ilmiah  dari hasil penelitian, yang diklasifikasikan dalam beberapa jenis, antara lain: buku dan kitab tentang ajaran Islam (fiqh, hadits, tafsir, dll.), ketrampilan, keorganisasian, pendidikan, kebudayaan, kesenian, bahasa, skripsi, dll. Dari tahun ke tahun buku koleksi perpustakaan semakin bertambah, buku-buku itu merupakan hibah dari ara santri, atau kenang-kenangan dari mahasiswa  yang telah selesai dalam penulisan skripsi, dan juga dari sumbangan pemerintah daerah.  Akan tetapi dikarenakan kurangnya perhatian dalam hal manajemen, selain buku itu bertambah, rupa-rupanya satu-persatu buku itu ada yang hilang entah kemana. Kemudian pada dekade tahun  2002, ada rencana untuk merintis kembali perpustakaan Pondok Pesantren Al-Ishlah. Perpustakaan itu diberi nama ”GERBANG”, dan lagi karena sistem manajemen yang kurang tertata dengan baik, menyebabkan perpustakaan ini tidak bisa terkondisikan lagi, sehingga pada akhirnya menjadi sebuah kenangan yang ikut mewarnai sejarah perkembangan perpustakaan pondok pesantren al-Ishlah.
 ·      Al-Maktabah ála ahlussunah wal jama’ah  Pondok Pesantren  Al-Ishlah
Setelah perpustakaan Gerbang tidak bisa dikondisikan lagi. Pada tahun 2010 ini pondok pesantren al-Ishlah berupaya  untuk dapat menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif, salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan mendirikan perpustakaan dan rencananya diresmikan bersamaan dengan acara Peringatan Setengah Abad Pondok Pesantren al-Ishlah. Perpustakaan itu diberi nama ”Al-Maktabah ála ahlussunah wal jama’ah”,  dengan adanya fasilitas perpustakaan nanti diharapkan semangat belajar santri dalam mengkaji khazanah keilmuan akan semakin meningkat.
5.  Pondok Pesantren al-Ishlah Putri
Keluarga besar KH. Thoha Mu’id merupakan  orang-orang  yang berpengaruh disekitar Bandarkidul, khususnya dalam hal keagamaan. Seperti contoh kiprah KH. Abdul Mu’id (ayahanda KH. Thoha Mu’id) yang dengan ketekunan dan ketelatenan mendidik santri dan muridnya, terutama dalam mengajar bacaan al-Qur’an dan berzanji. KH. Abdurrohman (kakak KH. Thoha Mu’id) merupakan sosok yang aktif memberikan ceramah ke agamaan ditengah-tengah masyarakat Bandarkidul dan kakak KH. Thoha Mu’id yang bernama Kyai Yusuf  merupakan perintis berdirinya sekolah dengan sistem klasikal ”Madrasah Diniyyah Ibtidaiyah”, yang menjadi embrio keberadaan Madrasah al-Badriyyah.
Sehingga sepeninggal ayahanda dan kakak-kakaknya, beliau dianggap mumpuni untuk meneruskan perjuangan mensyiarkan Islam kepada masyarakat luas, karena sejak kecil beliu memang menempuh pendidikan di pesantren. Sepulang dari pesantren Mojosari, selain mendapatkan ilmu, atas restu KH. Zainuddin beliau berhasil memboyong santri putri untuk selanjutnya dijadikan pendamping hidup. Selang beberapa tahun dari pernikahanya, tepatnya tahun 1954 beliau berdua mulai merintis pesantren, mendedikasikan diri untuk mendidik para santri. Mula-mula yang belajar dan bermukim  di al-Ishlah hanya santri putra saja. Namun seiring dengan perkembangan waktu keberadaan al-Ishlah semakin dikenal oleh masyarakat luas, maka tidak hanya santri putra saja yang ingin belajar di al-Ishlah, tetapi juga santri putri. Dengan kapasitas Ibu Nyai Hj. Siti Asiyah sebagai alumni pondok pesantren Mojosari, beliaupun memiliki kecakapan untuk mengajar dan mendidik santri putri.
Pada awalnya beliau hanya mengajar santri kalong. Dekade tahun 1960 an mulai ada santri putri yang menetap di ndalem, waktu itu jumlahnya ± 5-8 orang. Setiap tahun jumlah santri putri yang ingin menetap di  al-Ishlah semakin bertambah itu terbukti pada tahun 1968 tercatat ada  ± 20 – 25 orang  yang bermukim di al-Ishlah. Keberadaan  pondok pesantren al-Ishlah putri semakin mendapatkan perhatian dari masyarakat, banyak orang tua yang mengirimkan putri nya untuk mondok di al-Ishlah. Mereka berharap agar putrinya, selain belajar ilmu agama ia juga mendapat kesempatan untuk belajar di pendidikan formal yang ada wilayah Kota Kediri. Saat ini santri putri pondok pesantren Al-Ishlah berasal dari beberapa daerah. Dari jumlah keseluruhan santri putri itu ditempatkan di dua komplek .yaitu an-Nikmah dan al-Jannah

2 komentar: