About

STAIN KEDIRI

STAIN KEDIRI
USHULUDDIN

Minggu, 13 Desember 2015

AGAMA BUDDHA DI MYANMAR



A. Pendahuluan
Beribukota Naypyidaw yang diresmikan pada 6 November 2005 oleh pemerintahan junta militer sebagai pengganti ibukota sebelumnya Yangon, negara Myanmar yang dahulu bernama Burma memiliki komposisi penduduk terbesar 89% beragama Buddha dan etnis Burma sebesar 68%.
Karena itu, negara dengan jumlah penduduk 48.798.000 jiwa (Juli 2007) yang memiliki pagoda Swedagon yang menjulang di kota Yangon sebagai identitas nasional Burma dapat dikatakan sebagai negara Buddhis terbesar di Asia Tenggara, berdampingan dengan negeri tetangganya yang juga berpenduduk mayoritas Buddhis seperti Laos, Thailand, China..
Diperkirakan negara yang dikenal juga sebagai negara seribu pagoda ini memiliki puluhan ribu bhiksu/bhikkhu yang mendiami puluhan ribu vihara-vihara pada negara seluas 676.578 km2 yang memikiki perbatasan darat dengan Thailand, China, India, Laos dan berhadapan dengan Samudera Hindia. Para bhiksu/bhikkhu di Myanmar yang belum lama ini pada September 2007 lalu melakukan aksi perlawanan secara damai terhadap junta militer merupakan strata social yang sejak dahulu kala memiliki pengaruh luas dan telah berakar jauh dalam masyarakat Myanmar.


B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah masuknya agama Buddha di Myanmar?
2. Bagaimana perkembangan agama Buddha di Myanmar?
3. Bagaimana konflik di myanmar?

C. Sejarah Masuknya Agama Buddha di Myanmar
1) Masuknya agama Buddha di Myanmar :
a) Agama asli masyarakat Myanmar (Burma) adalah Nat, yaitu kepercayaan terhadap roh.
b)  Etnis Myanmar adalah:
i.  Mon (Khmer)
ii. Pyu (orang Tibet – Burma)
c) Komunitas india berdiam dibelakang pantai Bengal sampai Kalimantan, sedangkan di Myanmar mereka berada di Thaton (Suddhammapura/ Sudhanmawati), Pegu (Ussa/ Hamsavati), Yangon (Ukkala), dan Arakan (Dhannavati) di sepanjang Tenasseri. Komunitas pedagang india di pantai selatan Myanmar yang membawa budaya dan agama Hindu, berhubungan dengan etnis Mon. Dengan demikian mereka terlebih dahulu mengenal agama hindu.
d) Sebelum agama Buddha Theravada telah berkembang Ari Budhisme, yaitu sinkretisme dari agama Buddha Mahayana (Vajrayana), Hindu, dan Nat.
e) Sejarah agama Buddha Myanmar bersumber pada Sasanavamsa, yaitu babab yang ditulis dalam Bahasa Pali oleh Bhikkhu Pannasami.
f) Dalam Sasanavamsa diceritakan kunjungan Buddha ke Myanmar yaitu:
 1. Kunjungan ke Aparanta
Punna, Pedagang Sunaparanta menjadi Bhikkhu (dalam Punnovada Sutta), ketika kembali ke negaranya ia membangun vihara cendana merah untuk Buddha, Punna mengundang Bhikkhu beserta 500 pengikut-Nya dengan menaiki tandu yang dibuat dewa Sakka, tetapi hanya terisi 499 karena satu tandu untuk petapa Saccabandha di gunung Saccabandhadi pusat Myanmar. Dalam perjalanan pulang Buddha diundang raja naga bernama Nammada di sungai Nammada dekat gunung Saccabandha. Beliau meninggalkan jejak kaki (Siripada) yang dipuja oleh etnis Mon dan Pyu. Jejak kaki sempat tidak dikenal pada abad ke-15, sampai ditemukan kembali pada tahun 1638 oleh Raja Thalun dan menjadi tempat ziarah.
            2. Kunjungan ke Arakan
Raja dari Dhannavati bernama Candrasuriya berniat mengunjungi Buddha, karena harus melewati tempat berbahaya, akhirnya Buddha memutuskan untuk mengunjungi Raja. Buddha memberi peninggalan gambar pada logam yang disimpan di candi Mahamuni di Dhannavati. Gambar tersebut pada tahun1784 ketika Raja Bodawpaya menaklukan Arakan, dipindahkan ke Pagoda Arakan di Mandalay.

g) Diyakini bahwa pedagang dari Ukkala bernama Tapussa dan Bhallika bertemu Buddha setelah tujuh minggu setelah pencapaian kebuddhaan-Nya mereka diberi delapan helai rambut Buddha yang kemudian relik rambut tersebut dihormati di Pagoda Swedagon di Yangon, yang dibangun setinggi 27 kaki namun sekarang menjadi 370 kaki
h) Setelah konsili ketiga, Raja Asoka mengirim Bhikkhu Sona dan Uttara ke Suvannabhumi di Thaton dengan mengajarkan Brahmajala Sutta.
i) Pada abad 11 bangsa mramas (Tibet-Dravida) mengembangan agama Buddha Tantrayana, sedangkan di Thaton berkembang agama Buddha yang berdampingan dengan agama Hindu.
j) Pada tahun 1044, Raja Anawrata mempersatukan Mon dan Pyu menjadi Pegan, kemudian mengembangkan Buddhisme Theravada setelah terjalinnya persahabatan antara dirinya dengan Raja Srilanka bernama Vijayabahu.

D. Perkembangan Agama Buddha di Myanmar
Sejarah kehidupan kebhiksuan di Myanmar tak lepas dari negeri Srilanka yang menjadi sumber dari mana pergerakan agama Buddha menyebar ke Asia Tenggara, khususnya agama Buddha bermashab Theravada. Dalam buku Edward Gonze, “A Short History Buddhism,” Allen and Unwin, London-Boston, 1980, terungkap bahwa agama Buddha telah masuk ke Burma sejak abad ke 5 dan abad ke 6, baik agama Buddha Theravada maupun agama Buddha Mahayana.
Sedangkan adanya suatu organisasi yang kuat bagi pejalan kebhikkhuan di Myanmar itu sendiri baru terbentuk pada abad 9, yaitu yang menamakan dirinya “Ari” (dari kata arya yang berarti mulia). Dikabarkan agama Buddha yang ada itu adalah agama Buddha Pala yang berasal dari Bihar, India dan Bengal yang bermashab Mahayana dan juga menyerap kepercayaan setempat. Baru awal periode tahun 1000 agama Buddha di Burma ini berubah karakternya dengan mengambil inspirasi pada Buddha yang berasal dari Srilanka, yang diprakarsai oleh Raja Anawrahta dari Pagan di tahun 1057 yang mendatangkan bhiksu-bhiksu dan kitab suci dari Ceylon, Srilanka.
Sejak itulah kelompok bhiksu Mahayana dan juga Vajrayana memudar pengaruh dan dominasinya, meski keberadaannya tidak lenyap bahkan hidup terus sampai akhir abad 18. Kehidupan kebhikkhuan beralih kepada mashab Theravada yang mendapat perlindungan istana, sehingga tumbuhlah kebudayaan Buddhis dengan peninggalannya yang sangat bagus dan indah.
Pada tahun 1044 Anawratha (Aniruddha) menggantikan tahta di Pagan dan beralih menganut agama Buddha Theravada melalui bhikkhu Dharma-darsi (Arhan). Raja dengan bantuan bhikkhu Arhan serta beberapa bhikkhu dari Thaton memaksakan agama Buddha Theravada untuk semua penduduk negeri. Dalam rangka itu diperlukan banyak kitab-kitab agama Buddha dan raja Aniruddha meminta bantuan Manuha (raja Thaton) untuk memperoleh naskah lengkap kitab suci Tipitaka. Permintaan itu ditolak oleh Manuha yang menyebabkan Aniruddha mengirimkan pasukan serta dapat mengalahkan dan menawan Manuha. Semua bhikkhu dan kitab-kitab agama Buddha serta relik yang ada di Thaton diangkut ke Pagan dengan 32 ekor gajah.
Aniruddha dan para penggantinya merupakan tokoh-tokoh yang menanamkan agama Buddha Theravada di Pagan dan melalui kekuatan politik yang dimilikinya menyebar ke seluruh wilayah Burma. Agama Brahma yang pernah ada di sini lama-kelamaan menjadi pudar.
Aniruddha membangun banyak pagoda dan vihara. hal yang sama juga dilakukan oleh para penggantinya. Aniruddha juga membawa lengkap kitab Tripitaka ke Burma dari Ceylon dan bhikkhu Arhan kemudian menyatukannya dengan naskah-naskah yang ada di Thaton. Kyatnzittha (putera Aniruddha) meneruskan jejak ayahnya dengan vihara Ananda di Pagan.
Kemudian semasa kekuasaan Narapatisithu (1173-1210) banyak vihara dibangun dibawah para sponsor seperti Sulamani, Gawdawpalin juga untuk penulisan kitab suci Pali. Chapata yang juga dikenal sebagai Saddhammajotipala menulis suatu seni karya mengenai tata bahasa Pali, disiplin vinaya dan filsafat seperti: Suttanidesa, sankhepavannana, Abhidhammatthasangha. Sementara pujangga lainnya yang bernama Sariputra menulis karya yang merupakan koleksi pertama mengenai komposisi hukum kesunyataan yang dikenal sebagai Dhammavilasa atau Dhammathat.
Kebudayaan Buddhis yang tumbuh semarak pada masa itu dikabarkan tercermin dengan tumbuhnya 9000 pagoda dan vihara yang memenuhi tanah seluas delapan mil, diantaranya yang paling terkenal adalah Vihara Ananda dari abad ke 11. Dalam Vihara ini terdapat 547 cerita Jataka yang dikisahkan di atas tanda peringatan atau piagam yang dibuat dari lapisan kaca. Hal ini berlangsung selama 3 abad sebelum kekuasaan Pagan itu dihancurkan oleh Bangsa Mongol pada tahun 1287.
Meski, setelah runtuhnya dinasti Pagan ini, dan selama 500 tahun ke depan Burma terbagi-bagi dalam kerajaan-kerajaan yang saling berperang, namun tradisi Theravada tetap berlanjut walau tidak semerbak periode sebelumnya, bahkan raja Dhammaceti dari Pegu di akhir abad 15 memperkenalkan kembali pergantian pimpinan vihara yang sesuai kitab suci dari Ceylon.
Pada tahun 1752, Burma mengalami penyatuan kembali, dan setelah tahun 1852 Sangha memperoleh perlindungan, dan sebuah dewan di Mandalay memperbaiki teks Tipitaka pada tahun 1868-1871 yang kemudian diukir di atas 729 lempengan pualam. Pada tahun 1886 ketika Burma masih memiliki kerajaan merdeka (sebelum dijajah inggris) agama Buddha menempati posisi yang baik. Negeri terkenal dengan perhatian terhadap Tipitaka, khususnya Abhidhamma. Kota Mandalay merupakan pusat pendidikan dan keagamaan Buddha di Burma. Vihara-vihara di Burma banyak menyimpan manuskrik-manuskrik langka. Di Negri ini Abhiddhamma dipelajari oleh hampir semua pemeluk agama Buddha. Seorang tokoh abhidhamma pada awal abad ke-20 bernama Ledi Sayadaw. Dia menuulis “ yamaka” dan Phisolophy of Relation” yang diterbitkan oleh pali teks society pada tahun 1914-1916. Pada waktu itu ada dua tokoh lainnya adalah Abi-Dhaja maha ratta – guru Nyaungyan sayadaw ( 1874-1955), ia seorang bikhu yang telah mencapai tingkat maha tera dan terpilih sebagai mahayaka, yang menulis kitab tidak kurang dari 150 manual agama buddha, beberapa diantaranya; maha samaya sutta, “Brahmanajala sutta” serta sutta-sutta yang lainya. Ada juga tokioh lain misalnya Bhikkhu Mingun Sayadaw (1868-1955) dari Taton yang menulis “Milindhapanha” (1949).
Setelah birma lepas dari inggris dan memperoleh kemerdekaan, pemerintah berusaha untuk membangun kembali Agama Buddha dan melaksanakan studi Budddha Dhammma dan mendirikan suatu lembaga yaitu “ Buddha Sasana Causil”. Selain itu pemerintah Burma juga ingin mendapatkan naskah Tripitaka asli dan bekerjasama dengan para Bhikkhu/kaum terpelajar Agama Budddha dari India, Pakistan, caylan, Tailand, kamboja dan Laos.
Sangha yang merupakan komunitas bhiksu tidaklah asing bagi rakyat Burma. Rakyat disamping masih memiliki kepercayaan leluhurnya yakni para Nat atau “roh” yang diminta menolong mereka juga memiliki kepercayaan tentang cara utama untuk memperoleh kebajikan yaitu dengan membangun pagoda atau vihara. Bisa dimengerti bila Burma memiliki banyak pagoda, dan vihara-vihara selalu berada di pusat-pusat tempat tinggal mereka, dimana vihara-vihara itu juga berfungsi sebagai tempat pendidikan tempat rakyat melek huruf.
Bersama Sangha yang mendapat tempat di hati rakyat, agama Buddha menjadi kekuatan yang memberikan karakteristik peradaban Burma. Sesungguhnya, agama Buddha yang dibabarkan oleh Sang Buddha ini sepanjang sejarahnya telah memicu kehidupan social yang demokratis dan non-materialistis bagi bangsa Burma, disamping membawa keindahan pengetahuan, etika kehidupan yang menekankan kesederhanaan yang semuanya itu merupakan sumber nilai untuk terciptanya perdamaian dan kebahagiaan.
Kejadian penting lainnya dalam agama Buddha di Burma adalah diselenggarakannya pasamuan Sangha (Sanghayana) yang dinyatakan oleh Burma sebagai pasamuan sangha ke-4 sesudah tiga Sanghayana di India dan Sanghayana di Ceylon. Pasamuan tersebut diadakan di kota Mandalay pada tahun 1871 pada masa pemerintahan raja Min-don-min serta dihadiri oleh 2.400 orang bhikkhu dan guru. Sidang dipimpin secara bergantian oleh bhikkhu Jagavibhivamsa, Naeindda-bhidhaya dan Sumangala. Pada pasamuan ini isi kitab Tipitaka Pali dibaca secara dituliskan dan 729 lembar batu pualam.
E. Konflik di Myanmar
Semenjak berkuasanya junta militer, sudah banyak terjadi aksi demonstrasi dari rakyat Myanmar baik itu yang dimotori oleh para aktivis mahasiswa maupun tokoh agama yaitu biksu. Para demonstran mengecam kekuasaan militer di kursi pemerintahan yang seharusnya dijalankan oleh sipil. Aksi demonstrasi ini disikapi oleh pemerintah militer dengan tindak kekerasan dan tidak sedikit memakan korban. Demontrasi terbesar sepanjang sejarah berkuasanya militer di Myanmar terjadi pada 8 Agustus 1988. Demonstrasi ini dikenal dengan generasi 88 yang melibatkan banyak pelajar dan biksu sebagai bentuk perlawanan terhadap Ne Win dan menuntut sistem demokrasi. Perjuangan rakyat Myanmar melalui aksi demostrasi ini berhasil membuat Jenderal Ne Win sebagai pemimpin junta militer mengundurkan diri, meskipun telah mengorbankan sekitar kurang lebih 3.000 orang meninggal akibat tindakan keras dari tentara pemerintah.
Junta militer di Myanmar dapat dikatakan sangat bersifat Rasial. Bagaimana tidak, kudeta yang dilakukan oleh militer didominasi oleh etnis Burma atau Bama yang juga merupakan etnis mayoritas di Myanmar. Itu berarti kekuasaan atas pemerintahan Myanmar dikuasai oleh satu etnis yaitu etnis Burma atau Bama. Hal tersebut pasti akan berdampak pada kebijakan junta militer yang lebih bersifat memihak dan menguntungkan etnis Bama. Kondisi inilah yang memicu terjadinya perlawanan dari rakyat Myanmar terhadap pemerintah militer terutama dari etnis non-Bama yang merasa tertindas dan adanya ketidakadilan.
Selama 46 tahun berkuasanya junta militer di Myanmar, ada beberapa hal menarik terkait kebijakan-kebijakan junta militer terhadap Myanmar. Diantaranya perubahan nama Negara dari Burma menjadi Myanmar dan Pemindahan ibu kota negara ke Naypyidaw.
Seperti yang diketahui oleh semua orang bahwa Burma adalah salah satu negara yang berada dikawasan Asia Tenggara. Namun nama negara Burma tidak lagi terdapat di dalam daftar negara-negara kawasan Asia Tenggara. Terdapat nama lain yang menggantikan nama Burma, yaitu Myanmar. Perubahan nama negara dari Burma menjadi Myanmar dilakukan oleh pemerintahan junta militer dibawah kepemimpinan Jenderal Saw Maung pada tanggal 18 Juni 1989. Perubahan nama negara menjadi Myanmar ditujukan untuk menghilangkan kesan rasial yang melekat pada nama Burma. Berdasarkan data dari CIA, 68% dari total penduduk negara ini adalah etnis Burma atau Bama. Itu berarti nama Burma hanya mewakili etnis Bama dan terkesan negara ini adalah milik etnis Bama, sementara Burma merupakan negara dengan penduduk yang multi etnis, terdapat etnis minoritas lainnya. Maka dari itu perubahan nama tersebut bertujuan agar etnis non-Burma mempunyai rasa menjadi bagian dari negaranya.
Nama negara baru (Myanmar) diikuti dengan ibu kota negara baru yaitu Naypyidaw. Ibu kota negara baru ini bukan perubahan nama dari Yangon menjadi Naypyidaw namun terjadi pemindahan lokasi ibu kota. Pemindahan ibu kota negara ini dilakukan oleh junta militer pada 7 November 2005 ke Naypyidaw yang mempunyai arti “tempat tinggal para raja”. Naypyidaw adalah sebuah kota di distrik Mandalay yang terletak ditengah dari negara ini. Diantara beberapa alasan terkait pemindahan ibu kota negara Myanmar, ada sebuah alasan klasik yaitu pemindahan tersebut dilakukan untuk mengikuti sebuah tradisi Myanmar pada masa dinasti yang gemar memindahkan ibu kota. Namun tentunya pemindahan ibu kota negara tersebut telah menghabiskan biaya yang cukup besar dan berpengaruh terhadap anggaran belanja negara.
Selain dua kebijakan diatas, ada hal lain yang menarik dari Myanmar yaitu nama negara bagian Myanmar yang mewakili nama sebuah etnis. Myanmar adalah sebuah negara federal yang memiliki 7 negara bagian diantaranya negara bagian Chin, Kachin, Kayah, Kayin, Mon, Rakhine dan Shan. Jika melihat nama dari ke-7 negara bagian tersebut maka akan sama dengan nama-nama etnis yang ada di Myanmar seperti etnis Chin, Shan, Karen, Rakhine dan Mon. Hal ini menjadi sebuah keunikan yang dimiliki oleh Myanmar.
Pemerintahan Myanmar memberikan sebuah hak istimewa kepada beberapa etnis mayoritas yang ada di beberapa wilayah Myanmar untuk mendirikan sebuah negara bagian sendiri. Misalnya negara bagian Mon yang didirikan oleh etnis Mon yang juga merupakan etnis mayoritas disana, begitu pula dengan Negara Bagian Chin oleh etnis Chin, Kahcin, Kayah dan Shan. Namun hak istimewa tersebut tidak berlaku bagi etnis Rohingya, dimana etnis ini merupakan etnis mayoritas di negara bagian Rakhine (dulu Arakan) namun hak tersebut diberikan kepada etnis minoritas Rakhin yang beragama Budha dengan jumlah penduduk kurang dari 10%, sehingga negara bagian ini bernama Rakhine bukan Rohang.
Myanmar telah tercatat di dalam sejarah sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang pemerintahannya dikuasai oleh Junta Militer selama 46 tahun. Entah kapan kekuasaan otoriter junta militer di Myanmar akan berakhir dan diganti oleh sebuah kehidupan demokratis untuk menciptakan kehidupan yang layak serta kesejahteraan bagi rakyat Myanmar.  Akan sangat sulit tercipta kehidupan yang demokratis apabila kekuasaan tertinggi masih dikuasai oleh militer.
E. Kesimpulan
1. Sejarah kehidupan kebhiksuan di Myanmar tak lepas dari negeri Srilanka yang menjadi sumber dari mana pergerakan agama Buddha menyebar ke Asia Tenggara, khususnya agama Buddha bermashab Theravada
2. Agama Buddha di Myanmar (juga dikenal sebagai Burma) didominasi oleh tradisi Theravada, dipraktekkan oleh 89% dari penduduk negara tersebut. Theravāda Burma memiliki pengaruh besar pada praktik vipassana modern, baik bagi para praktisi awam di Asia.
3. Semenjak berkuasanya junta militer, sudah banyak terjadi aksi demonstrasi dari rakyat Myanmar baik itu yang dimotori oleh para aktivis mahasiswa maupun tokoh agama yaitu biksu. Para demonstran mengecam kekuasaan militer di kursi pemerintahan yang seharusnya dijalankan oleh sipil. Aksi demonstrasi ini disikapi oleh pemerintah militer dengan tindak kekerasan.
E. Daftar Pustaka
http://id.netlog.com/ksubho/blog/blogid=12686 (diakses pada 4 November 2015)

0 komentar:

Posting Komentar