About

STAIN KEDIRI

STAIN KEDIRI
USHULUDDIN

Senin, 07 Desember 2015

PLURALISME DI INDONESIA



PLURALISME DI INDONESIA






BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kehidupan ini selalu menunjukkan kondisi yang beragam. Keberagaman dalam kehidupan menunjukkan bahwa dunia dan kehidupan di dalamnya masih pada kondisi normal. Keberagaman dalam wadah kehidupan bak taman indah yang ditumbuhi beraneka macam tumbuhan dan bunga-bunga. Keberagaman menjadi indah apabila bisa tertata dengan baik sebagaimana juga keberagaman akan memperlihatkan keindahan yang eksotik jika bisa dihargai oleh setiap kelompok yang ada. Keberagaman atau pluralitas dalam dialektika kehidupan beragama tentu sedikit menumbuhkan fenomena yang menarik untuk diteropong lebih dekat lagi. Terdapat sejumlah persoalan yang perlu dicermati manakala agama bersinggugan dengan pluralitas sosial, dari mulai politik, adat, ekonomi serta fenomena yang relative paling sensitive manakala suatu agama menjumpai kelompok kepercayaan atau agama yang lain. Persoalan yang cukup rumit dalam konteks pergaulan agama-agama adalah pada persoalan cara bagaimana beragama atau berteologi di tengah-tengah adanya agama-agama yang lain.
Jadi dalam makalah kali ini kami akan membahasa bagaimana pluralitas di indonesia ini berkembang serta aliran-alirang yang ada dalam pluralitas menjadi sangat berperan didalamnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pluralisme?
2. Apa sajakan aliran yang ada dalam pluralisme?
3. Bagaimana perkembangan pluralisme di indonesia?
4. Bagaimana agama dan pluralisme di indonesia?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pluralisme
Pluralisme dalam arti yang sangat sederhana adalah kemajemukan. Pada kenyataannya pluralisme dianggap sebagai paham yang paling mengerikan ditinjau dari sudut pandang agama-agama samawi (Yahudi, Kristen da Islam). Hal itu karena adanya pengawetan yang cukup kental terhadap ideolgi ekslusif yang dikembangkan oleh agama-agama tersebut selama ratusan tahun yang silam. Ideology eklusifisme yang dimaksud adalah berupa claim of truth “klaim kebenaran” dan claim of salvation “klaim keselamatan” yang ada pada masing-masing agama tersebut. Dalam arti yang lebih sederhana masing-masing agama tersebut menilai agama yang lain dengan memakai teologinya agamanya sendiri tanpa menyisakan ruang toleransi untuk berempati dan bersimpati tentang bagaimana orang lain memandang agamanya sendiri. Dengan pola ekslufitas tersebut menemptakan pluralisme sebagai ancaman bagi agama yang disebutan di atas termasuk dalam Islam itu sendiri.
Pluralisme merupakan suatu gagasan yang mengakui kemajemukan realitas. Ia mendorong setiap orang untuk menyadari dan mengenal keberagaman di segala bidang kehidupan, seperti agama, sosial, budaya, sistem politik, etnisitas, tradisi lokal, dan sebagainya. Gagasan yang dimaksudkan adalah dalam rangkan mencipatakan kesepahaman, toleransi dengan tujuan membentuk masyarakat dalam memajukan lingkungannya. plural yang produktif. Ada kenyamanan, ketentraman, keadilan dan kemerdekaan yang setara, sehingga secara tidak langsung mereka secara bersamaanmenjadi masyarakat yang kokoh. Sejatinya pluralisme bukanlah paham yang secara tiba-tiba muncul dari ruang hampa, akan tetapi disitu terdapat penghubung yang kokoh antara diskursus sekularisme, liberalisme yang kemudian lahirlah pluralisme. Sekularisme muncul sebagai dampak dari perselingkuhan antara agama dan Negara yang melumpuhkan kondisi keadilan sehingga kemudian lahirlah ketidak percayaan publik yang kemudian berujung adanya sekularisme. Liberalisme lahir dari keterkungkungan oleh satu doktrin yang kurang fair sehingga ada kelompok tertentu tertindas, seperti halnya contoh mencuatnya teologi eklusifisme di tubuh agama-agama di atas. Dari kemandegan tesebut maka kemudian lahirlah ide liberalism yang kemudian merekomendasikan adanya ruang kemerdekaan dalam memeluk agama. Secara tidak langsung kemudian dari leiberalisme tersebut memunculkan kelompok-kelompok agama dan pada akhirnya mengharuskan adanya pluralisme sebagai satu pengharrgaan terhadap pluralitas yang ada.
Pluralisme agama juga bisa diartikan sebagai upaya saling mengenal antar agama yang satu dengan agama yang lainnya. Disitu kemudian terjadi perluasan wawasan dengan tidak bermaksud mendiskreditkan. Ada penghargaan terhadap perbedaan, bukan mencemooh perbedaan tersebut. Bahkan pada kondisi tertentu menempatkan perbedaan tersebut sebagai nilai kebenaran bentuk lain daripada apa yang dinytakan dalam agama. Di sisi lain pluralisme bisa dikatakan sebagai etika global yang didasarkan pada penderitaan manusia akibat adanya kelesuan moral, sehingga dengan pulralisme tersebut akan tercapai kesejahteraan manusia dan lingkungannya.
Pengertian pluralisme dalam konteks kontemporer bisa dinyatakan sebagai keterlibatan aktif dalam keragaman dan perbedaannya untuk membangun peradaban bersama. Menurut Nurcholis Madjid pluralisme itu tidak sekadar mengakui pluralitas keragaman dan perbedaan akan tetapi gerakan yang aktif merangkai keragaman tersebut untuk tujuan-tujuan sosial yang luhur yaitu untuk kebersamaan dan peradaban.

B. Aliran dalam pluralisme
1. Aliran Global Theologi
Bagi aliran pertama yang diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah karena tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama di era globalisasi ini maka hubungan globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama. Tentang hubungan antara agama dan globalisasi bisa dibaca dariReligion and Globalization, karya  Peter Bayer, Islam, Globalization and Postmodernity, karya Akbar S Ahmed dan H. Donnan, The Changing Face of Religion, karya James A Beckford dan Thomas Luckmann atau Religion and Global Order,  oleh Ronald Robertson dan WR. Garet. Bagi aliran pertama agama dianggap sebagai kendala bagi program globalisasi. Oleh sebab itu menurut Walters globalisasi dan kapitalisme digunakan untuk mengurangi atau bahkan menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber kekuasaan lainnya. (lihat Walters, Globalization (London:Routledge, 1995, hl 36). Cara yang ditempuh dalam program globalisasi ini adalah dengan mendorong semua pihak agar menjadi terbuka dan bebas menerima berbagai ideologi dan nilai-nilai sosial yang “dianggap” universal. Maraknya seminar tentang global ethic, religious dialogue, inter-faith dialogue yang diadakan oleh World Council of Religions dan lembaga lain merupakan bagian dari program globalisasi.  Organisasi non pemerintah (NGO) di dunia ketiga yang bergerak dalam bidang ini pun mendapat kucuran dana dengan mudah. Bukti bahwa Barat berkepentingan dengan paham ini dapat dilihat dari tema yang diangkat jurnal The Muslim World, rintisan tokoh missionaries Zwemmer volume  94 No.3, tahun 2004. Jurnal missionaris itu menurunkan tema pluralisme agama dengan fokus dialog Islam Kristen.
Jika globalisasi bukan merupakan program sudah tentu framework Barat tidak akan dominan. Tapi kenyataannya standar universal yang harus diterima semua agama dan semua bangsa dan peradaban itu berasal dari kebudayaan Barat. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, feminisme / gender, liberalisme dan sekularisme adalah ideologi dan nilai-nilai asli Barat. Buktinya nilai moral dan etika yang berkaitan dengan masalah seks yang diterima semua agama, misalnya, tidak dijadikan nilai universal.
Program globalisasi yang memarginalkan agama adalah murni pengalaman Barat. Di Barat pergumulan pemikiran untuk menyeret agama agar akomodatif terhadap tuntutan sosial lebih dominan ketimbang upaya menciptakan masyarakat religius. Dalam sejarahnya Barat memang berhadapan dengan doktrin agama Kristen yang ekslusif, dengan doktrinnya extra exxlesiam nulla salus (diluar gereja tidak ada keselamatan) dan diluar Kristen tidak ada kesalamatan. Tapi karena tuntutan social sangat kuat, maka doktrin itupun bergeser menjadi penerimaan semua yang menyembah tuhan sebagai termasuk kedalam agama Kristen (inklusif). Doktrin inkusif inipun akhirnya bergeser lagi menjadi pluralisme. Paham pluralisme agama dalam merespon program globalisasi ini diusung oleh seorang penganut Protestan bernama John Hick dengan teori teologi globalnya (global theology). Sejalan dengan John Hick adalah Wilfred Cantwell Smith, pendiri McGill Islamic Studies. Ia mengajukan teori teologi dunianya (world theology). Keduanya membawa  paham yang sama satu teologi untuk semua agama diseluruh dunia.
Solusi yang ditawarkan aliran ini berdasarkan motif sosiologis dengan konsep dunia yang tanpa batas geografis kultural, ideologis, teologis, kepercayaan dan lain-lain. Artinya identitas kultural, kepercayaan dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok ini yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat yang pada akhirnya tidak akan ada lagi identitas agama-agama apalagi perbedaan antara satu agama dengan lainnya. Agama-agama itu kemudian akan melebur menjadi satu teologi yang disebut teologi global (global theology).
Tokoh-tokoh lain dapat dilihat dari karya Hick berjudul Problems of Religious Pluralism. Pada halaman dedikasi buku ini John Hick menulis yang terjemahannya begini: “Kepada kawan-kawan yang merupakan nabi-nabi pluralisme agama dalam berbagai tradisi mereka: Masau Abe dalam agama Buddha, Hasan Askari dalam Islam, Ramchandra Gandhi dalam agama Hindu, Kushdeva Singh dalam agama Sikh, Wilfred Cantwell Smith dalam agama Kristen dan Leo Trepp dalam agama Yahudi.
2. Aliran Transenden
Berbeda dari motif aliran pertama yang diwarnai pendekatan sosiologis, motif aliran kedua yang didominasi oleh pendekatan filosofis dan teologis Barat justru kebalikan dari motif aliran pertama. Kalangan filosof dan teolog justru menolak arus modernisasi dan globalisasi yang cenderung mengetepikan agama itu dengan berusaha mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama-agama itu. Yang pertama memakai pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua memakai pendekatan religious filosofis. 
Solusi yang ditawarkan oleh aliran kedua adalah pendekatan religious filosofis  dan membela eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama tidak bisa di rubah begitu saja dengan mengikuti zaman globalisasi, zaman modern ataupun post-modern yang telah meminggirkan agama itu. Agama tidak bisa dilihat hanya dari perspektif sosilogis ataupun histories dan tidak pula dihilangkan identitasnya. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional dan mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama. Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep sophia perrenis yang diterjemahkan kedalam bahasa Hindu menjadiSanata Dharma atau kedalam bahasa Arab menjadi al-Íikmah al-khÉlidah. Konsep ini mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama terdapat tradisi-tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Agama bagi aliran ini adalah bagaikan “jalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama” (“all paths lead to the same summit). Aliran kedua ini mengusung ide kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Penggagas awalnya Fritjhof Schuon yang diilhami oleh Rene Guenon.
Schuon yang dikabarkan masuk Islam itu mempunyai pengikut fanatik dari cendekiawan Muslim asal Iran yaitu Seyyed Hossein Nasr. Beliaulah yang menterjemahkan istilah philosophia perrenis itu menjadi al-Íikmah al-khÉlidah. Jadi Guenon, Schuon dan Nasr mendukung paham kesatuan transenden agama-agama. Pendekatan yang diambil aliran ini berasal dari pengalaman spiritual dari tradisi mistik yang terdapat dalam tradisi agama-agama. Dalam kasus Islam mereka mengambil pengalaman spiritual dari tradisi sufi. Artinya mereka mengklaim bahwa para sufi itu pluralis
Tokoh pencetus dan pendukung paham ini adalah René Guénon (m. 1951), T. S. Eliot (m. 1965), Titus Burckhardt (m. 1984), Fritjhof Schuon  (m.1998),  Ananda K. Coomaraswamy (m. 1947), Martin Ling, Seyyed Hossein Nasr, Huston Smith, Louis Massignon, Marco Pallis (m. 1989), Henry Corbin, Jean-Louis Michon, Jean Cantein, Victor Danner, Joseph E. Brown, William Stoddart, Lord Northbourne, Gai Eaton, W. N. Perry, G. Durand, E. F. Schumacher, J. Needleman, William C. Chittick dan lain-lain.

C. Perkembangan pluralisme di Indonesia
Pluralisme pada perkembangannya menjadi suatu wacana yang cukup ramai dibicarakan, terutama pasca reformasi. Keramaian itu semakin menguat semenjak MUI memutuskan fatwanya yang mengharamkan terhadap sekularisme, liberalisme dan pluralisme pada tahun 2005. Kemudian yang paling menarik untuk diperhatikan pasca keluarnya fatwa tersebut adalah semaraknya respon publik yang diwakili oleh sejumlah LSM Islam yang dengan antusias menyuarakan tiga isu tersebut, bahkan selama kurun lima tahun sejak pengharaman tersebut, tiga isu besar tersebut semakin menemukan performanya yang semakin matang.
Selain respon dari sejumlah LSM dua arus besar Islam di Indonesia yaitu Muhammadiyah dan NU juga ikut meramaikan wacana tersebut. Kelompok muslim lain seperti Persatuan Islam (PERSIS), Nahdatul Wathan di NTB, Darul Dakwah wa Irsyad (DDI) di Sulawesi, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI) serta Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) juga memainkan perannya dalam merespon tiga wacana tersebut. Ditenga-tengah tempratur terbukanya demokrasi, masing-masing kelompok tersebut mempunyai hak yang sama dalam mengungkapkan pendapatnya, sebagian ada yang bersikukuh menolak, sebagian yang lain dengan penuh kemantapan menerima pluralisme sebagai sebuah keniscayaan.
Jika dilihat lebih dekat dua mainstream NU dan Muhammadiyah telah banyak lahir dari rahim keduanya komonitas-komonitas Islam yang begitu gigih mengangkat isu pluralisme, sehingga pada sisi yang lain kedua mainstream tersebut dipercaya sebagai sisi Islam yang cukup moderat yang mampu meredam radikalisme dan militanisme Islam yang biasanya lahir dari kubu-kubu yang menamakan dirinya sebagai Islam puritan. Gerakan tradisional diwakili oleh NU sementara gerakan Islam modernis diwakili Muhammadiyah. Abdurrahman Wahid dan Masdar F. Mas’ud dua tokoh representaif yang lahir dri NU telah memainkan perannya dalam mengapresiasi pularlisme. Bahkan Gusdur pada suatu mement dinobatkan sebagai bapak pluralisme.
Sementara Muhammadiyah yang sejak awal merepresentasikan dirinya sebagai gerakan Islam modernis tentu secara otomatis akan menerima pluralisme sebagai keniscayaan. Ahmad Dahlan misalnya sebagai pendiri Muhammadiyah mempunyai wawasan ke depan yang cukup progresif yang di dalamnya tertampung pluralisme sebagai suatu keharusan. Hal itu tercermin dari sikap riil KH. Ahmad Dahlan yang mempunyai banyak kolega dari non muslim. Cerminan tersebut mengindikasikan bahwa Muhammadiyah sejatinya secara ideology telah menganut ideology inklusif dan plural. Syafi’I Ma’arif menjadi cerminan fundamental adanya penerimaan terhdap pluralism dalam tubuh Muhammadiyah.
Akan tetapi jika dibandinkan dengan NU, isu pulralisme dan sikap progresif yang dikembangkan di Muhammadiyah bisa terbilang tertinggal. NU sudah sejak tahun 1980-an sedangkan fenomena yang demikian dalam Muhammadiyah baru muncul pada paroh akhir tahun 1990-an. Ketertinggalan Muhammadiyah dalam menangkap keniscayaan tersebut menjadikan Muhammadiyah sedikit lebih tertutup mengingat sebagian massanya terjebak pada gerakan-gerakan ektrem yang menghendaki ideologi ekslusif yang pada akhirnya memunculkan gerakan puritanisme. Walau demikian di tubuh NU sendiri juga mengemukan sub kelompok yang juga cukup tetutup dalam menerima pluralisme.
Secara konkret Muhammadiyah dan NU benar-benar telah menelorkan pengarusutamaan (mainstreaming) ide-ide sekularalisme,liberalism dan pluralisme dalam beberapa kajian yang berafaliasi pada keudanya. Islam Liberal lewat artikel menggugahnya Ulil Absar Abdalla yang dipublikasikan di Kompas pada tahun 2002 membuka diskursus baru tentang tiga isu tersebut. Kelompok ini merupakan representasi dari kubu NU,kemudian sejumlah LSM lainnya seperti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), The Wahid Institute (TWI) dan Lembaga Kajian Islam dan Masyarakat (LKiS) menjadi agen dari mainstreaming yang bekembang dalam NU. Sementara kajian-kajian yang merepesntasikan dari kubu Muhammadiyah seperti, Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Yayasan Paramadina, Internasional Center for Islam and Pluralism (ICIP), Ma’arif Institute dan JIMM. Sejumlah kajian itulah yang kemudian menjadi media penghantar dari ide-ide teoritis untuk kemudian ditansmisikan pada dunia riil. Sejumlah tokoh Muhammadiyah yang bisa dibilang cukup kuat dalam menyuarakan ide pluralisme pada tngkat kajian-kajian tersebut dan dunia intlektual adalah, Ahmad Syafii Maarif,M Dawam Raharjo,Moeslim Abdurrahman, M. Amin Abdullah dan Abdul Munir Mulkhan. Merekalah para tokoh senior yang juga secara fisik terlibat dalam pengkaderan pemikir muda Muhammadiyah saat ini.
Selain dua ormas besar itu mainstreaming juga di dapati pada dunia kampus. UIN Jakarta dan UN Yogyakarta dua kampus yang representative secara aktif terlibat dalam menyuarakan tiga isu tesebut. Tokoh-tokoh yang terlibat di UIN Jakarta ada Harun Nasution yang mampu memberikan pandangan pulralisnya lewat teks bukunya denga judul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya yang didalamnya terdapat pemahaman Islam secara komprehensif. Disusul kemudia oleh Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra yang menginginkan agar UIN tidak lagi hanya bersifat fiqih oriented tetapi harus dikembangkan pada wawasan keilsman yang lain menyagkut kemodernan, ilmu pengetahuan dan kebangsaan. Sementara di Yogyakarata ada Mukti Ali dan Amin Abdullah yang dalam segmen wawancara di Kompas edisi 7 Oktober 2008 menyatkan bahwa UIN Sunan Kalijaga mendukung pluralisme.
Data-data di atas menunjukkan bahwa isu pluralisme dalam perkembangannya memang telah diamini oleh dua ormas tebesar di Indonesia sekaligus juga didukung secara akdemis oleh dunia intelektual yang diwakili oleh dua Univesitas Islam Negeri Jakarta dan Yoyakarta yang sudah secara aktif ikut andil dalam laju perjalanan pulralisme di Indonesia.

D. Agama dan Pluralisme
Al- Quran sebagai wahyu Allah dalam pandangan dan keyakinan umat islam adalah sumber kebenaran dan mutlak benarnya. Meskipun demikian, kebenaran mutlak itu tidak akan nampak manakala al- quran tidak berinteraksi dengan realitas sosial, atau menurut quraisy shihab,[1] dibumikan: dibaca, dipahami, dan diamalkan. Ketika kebenaran mutlak itu disikapi oleh para pemeluknya dengan latarbelakang kultural atau tingkat pengetahuan yang berbeda, akan muncul kebenaran-kebenaran parsial. Sehingga kebenaran yang diperoleh manusia menjadi relatif, sedangkan kebenaran mutlak tetap milik Tuhan. Untuk menggambarkan ini pada hal-hal tertentu, misalnya kebenaran agama nahdhatul ulama (NU), tidak berarti diterima pula, sebagai kebenaran agama muhammadiyah, begitu pula sebaliknya. Yang jelas-jelas dipandang sebagai tidak benar adalah ketika yang satu menyalahnkan yang lain, atau saling menyalahkan tanpa argumen yang akurat. Inilah yang diingatkan Allah (QS.49:12) ketika melarang orang-orang yang beriman berprasangka, sebab sebagaian prasangka adalah dosa. Demikian pula sebaliknya, menganggap diri paling benar juga tidak diperkenankan (QS. 53:32). Dengan sikap yang seperti  itu, tidak berarti kita harus berdiam diri terhadap kemungkinan kesalahan orang lain atau lingkungan disekitar. Umat islam harus bersikap kritis dan melakukan koreksi terhadap segala bentuk patologi sosial. Dalam doktrin islam sikap korektif ini disebut amar ma’ruf nahi munkar.
Al- qur’an (QS. 2:148) mengakui masyarakat terdiri atas berbagai macam komunitas yang memiliki orientasi kehidupan se3ndiri-sendiri. Manusia harus menerima kenyataan keragaman budaya dan agama serta memberikan toleransi kepada masing-masing komunitas dalam menjalankan ibadahnya. Oleh karena itu kecurigaan tentang sifat islam yang anti plural, sangatlah tidak beralasan dari segi ideologis. Bila setiap muslim memahami secara mendalam etilka pluralitas yang terdapat pada al-qur’an, tidak perlu lagi adanya ketegangan, permusuhan, dan konflik dengan agama-agama lain, selama mereka tidak saing memaksakan .Sebagai ideologi dan gerakan politik, pluralisme pernah diteladankan oleh Rasulullah SAW kepada umar dan diteruskan kepada para khalifah. Bukti-bukti empiris pluralisme islam terjadi dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik yang konkrit di andalusia, spanyol, pada masa pemerintahan umawi. Sejarah mencatat bahwa kedatangan islam di spanyol telah mengakhiri politk monoreligi secara paksa oleh penguasa sebelumnya. Pemerintah islam yang kemudian berkuasa selama 500 Tahun telah menciptakan masyarakat spanyol yang pluralistik, sebab para pemeluk tiga agama yakni islam, kristen, dan yahudi dapat hidup saling berdampingan dan rukun. Mereka menghadapi eksistensi kebudayaan lain di luar islam, seperti kristen dan yahudi.
 Dalam hal ini Max Dimont berpendapat bahwa era pemerintahan khalifah umawi di spanyol dipandang sebagai rahmat yang mengakhiri zaman kedhzaliman penguasa yang dominatif.[2] Demikian juga, ketika Rasulullah SAW berada di madina. Apa yang diajarkan nabi Muhammad SAW bukanlah upaya melegetimasi agama resmi negara saat itu, dan bukan pula alat pemaksa agar orang-orang memeluk islam seluruhnya. Dengan mengikuti prinsip universal keadilan ilahi saja, kita ketahui bersama bahwa perbedaan latarbelakang pendidikan, lingkunagna sosial budaya, dan kesempatan seseorang, meniscayakan diferensiasi penerimaan konsep tentang tuhan dan agama.
Murthadah Mutahari melihat bahwa selama memerintah di madina, Rasulullah SAW tidak pernah memaksakan masyarakat non muslim  untuk mengikuti agama penguasa bahkan, melalui perjanjian diantara semua penduduk madinah ditetapkan dasar-dasar toleransi demi terwujudnya perdamaian dan kerukunan. Salah satu isi perjanjian dengan kaum yahudi menyebutkan: “ orang yahudi yang turut dalam perjanjian dengan kami berhak memperoleh pertolongan dan perlindungan, tidak akan diberlakukan dzalim. Agama yahudi bagi orang-orang yahudi  dan agama islam bagi orang-orang islam. Jika ada diantara mereka berbuat dzalim, itu hanya akan menecelakakan dirinya dan keluarganya.[3] Dalam al- qur’an, ada ayat terkenal: “ bagimu agamamu. Bagiku agamaku” (QS. 109:6). Dengan demikian, agama digunakan Rasulullah Saw sebagai sumber utama kekuatan moral (moral force). Perilaku yang murni yang religius lebih diinginkan daripada formalisasi agam.
Melihat fakta historis itu, Nur Kholis Majid berpendapat bahwa sistem nilai plural adalah sebuah aturan tuhan (sunnatullah) yang tidak pernah berubah, diubah, melawan dan di ingkari. Barang siapa yang mencoba mengingkari hukum kemajemukan budaya, maka akan timbul fenomena pergolakan yang tidak berkesudahan. Boleh dikatakan bahwa memahami pluralitas agama dan budaya merupakan bagian dari memahami agama. Sebab, memahami agama pada dasarnya juga memahami kebudayaan masyarakat secara menyeluruh. Dan, jika agama dipahami secara integral dan dengan kondisi sosial kulturalnya, pada saat itu pula akan nampak dengan sendirnya mana aspek budaya yang selaras dengan misi agama dan mana yang tidak.












BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Pluralitas dalam konteks Indonesia merupakan keniscayaan sejak lahirnya bangsa ini. Catatan sejarah sejak pra terbentuknya bangsa ini memang telah banya disinggahi berbagai macam peradaban. Memberengus serta mengabaikan kemajemukan adalah kebrutalan yang menghantarkan pada disintegrasi bangsa. Dukungan secara hukum lewat undang-undang yang tersurat dalam tubuh bangsa ini serta tumpukan sejarah bangsa ini setidaknya menjadi pijakan utama dalam merumuskan eksistensi agama di lingkungan negeri ini. Islam sebagai bagian dari bangsa ini sudah selayaknya menjadi pelopor mengingat kondisi politk dan massa yang cukup dominan. Keangkuhan paham fanatisme buta perlu dihilangkan kemudian mengambil pluralisme dengan melibatkan rasa kemanusiaan dan kebangsaan.
Melanjutkan proyek mulia tesebut, ormas-ormas Islam dan dunia akademik Islam agar terus menopang gelaran pluralisme agama tersebut guna membangun kerjasama yang produktif dalam rangka membangun peradaban yang maju. Kini saatnya berubah, demi orentasi mulia menatap kesetaraan umat beragama serta masa depan bangsa yang cemerlang












[1] Lihat membumikan Al- Qur’an, Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, Mizan, Bandung, 1997
[2] A. Munir Mulkhan, salah satu tulisannya termuat dalam buku atas nama agama, Pustaka Hidayah, Bnadung, 1998, hlm. 65.
[3] Hamid Al- Husaeni, Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad Saw, yayasan al- hamidy, Jakarta, 1992, hlm. 447.

1 komentar: