About

STAIN KEDIRI

STAIN KEDIRI
USHULUDDIN

Minggu, 13 Desember 2015

AGAMA JAINISME



BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
            Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.[1]
 Mengetahui lebih lanjut tentang agama agama dunia, salah satunya yaitu agama yang berasal dari india, sementara penduduk di india sendiri juga memiliki perbedaan kepercayaan, seperti pemeluk agama hindu, agama budha, agama jainisme, dll.
            Dalam makalah ini hanya dibatasi untuk agama jainisme saja, yang mencakup didalamnya. Banyak diantaranya membahas mengenai ajaran agama, kapan agama jainisme lahir, singkatnya agama jainisme atau juga disebut kaum jain ini terlahir di india dengan Vardhamana sebagai panutannya.
2.      Tujuan
Tujuan penulis membuat makalah berjudul “AGAMA JAIN”  adalah:
Ø  Memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai bagaimana sejarah dan ajaran-ajaran Agama Jain.
Ø  Sebagai pemenuhan terhadap tugas makalah mingguan yang dibutuhkan sebagai syarat untuk menyelesaikan matakuliah Agama Minor.
Ø  Memberikan wawasan yang lebih dalam mengenai Agama-Agama Minor kepada kami dan Mahasiswa yang lainnya
Ø   
3.       METODE
     Metode yang digunakan penulis dalam mengumpulkan data penulisan makalah ini adalah metode studi pustaka dari buku referensi yang terkait dan data dari internet.
4.       SISTEMATIKA PENULISAN
     Peulisan makalah ini terdiri dari 3 bab. Bab pertama yaitu pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan, metode, dan sistematika penulisan. Sedangkan bab kedua yaitu pembahasan yang terdiri dari Sejarah dan Perkembangan Agama Jain, Ajaran dan Praktek Kegamaannya. Bab terakhir yaitu bab penutup yang berisi kesimpulan dari isi makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah dan Perkembangan Agama Jain
Jain bermakna penaklukan. Dimaksud penaklukan kodrat-kodrat syahwati di dalam tata hidup manusiawi.[2] Salah satu filsuf berkata “ Jain adalah gerakan rasionalisme yang bebas dari kekuasaan Weda kitab suci umat Hindu dan terbentuk dari karakter umum masyarakat Hindu. Paham ini terbentuk karena rasa takut terhadap reinkarnasi dan pelarian dari kesialan hidup. Berawal dari asketisisme dalam hidup karena khawatir bahaya mengancam. Jainisme berpegang pada latihan rohani yang melelahkan dan kontrol yang sulit. Poinnya adalah tidak peduli pada kenikmatan dan penderitaan. Caranya dengan menjalani hidup dalam kesengsaraan dan kekerasan. Selain itu, dengan menjadi seorang rahib (pendeta) tetapi bukan Brahma.[3]
 
Jain muncul sebagai reaksi atas sikap eksrem hindu dalam hal diskriminasi lapisan sosial (kasta). Akibat sebagian ajaran hindu, masyarakat digeser kedalam medan konflik antarlapisan sosial. Mereka terjebak diantara api kedengkian dan kebencian. Jainisme menyangkal sebagian ajaran hindu, terutama dalam hal kasta yang dinilai berbahaya bagi masyarakat. Seruan baru ini mendapat dukungan penuh dari banyak pihak. Namun, meski sikap jainisme tanpa seperti gerakan reformasi, pengaruhnya tidak banyak menyentu masyarakat. Mayoritas penduduk India masih berpegang pada doktrin hindu. Jumlah pengikut jainismepun terbilang sedikit yang menurut perkiraan hanya berjumlah sejuta orang.[4]
Dialah Vadharmana, orang pertama yang mendirikan jainisme. Umat Jain biasa memanggilnya Mahavira (599-527 SM). Mahavira lahir dari keturunan golongan Ksatria yang memegang kendali politik dan ketentaraan. Mahavira dibesarkan dirumahnya yang penuh dengan kebesaran, di tengah-tengah kemewahan dan kesenangan. Keluarganya tinggal di Pisarah berdekatan dengan sebuah Bandar yang sekarang dinamakan Patna di wilayah Bihar. Bapaknya, Sidartha adalah seorang anggota ketentaraan. Sidartha telah menikah dengan anak perempuan ketua mejelis Tris Sala.
 Kedudukan Sidartha menjadi semakin tinggi hingga sebagian riwayat menyifatkannya sebgai Amir Bandar atau Rajanya. Mahavira adalah anak laki-laki yang kedua. Rumah ayahnya dijadikan tempat tujuan para pemuka agama dan para ahli ibadah. Sebab, di tempat itu mereka menemukan jamuan paling enak dan penyambutan yang hangat.

Mahavira mulai senang mendengarkan cerita dan perbincangan mereka. Dia berharap bisa bergabung dengan mereka, tetapi kedua orang tuanya melarang. Mahavira pun mengubur harapannya itu karena mengetahui orang tuanya sangat menentag kerahiban. Setelah sang ayah meninggal dan kekuasaan kota diserahkan kepada kakaknya, mahavira meminta izin sang kakak agar merestui dirinya menapaki jalan kerahiban. Sang kakak pun mengizinkan. Setelah itu, Mahavira mulai melepas pakaian mewahnya dan menggantinya dengan pakaian orang-orang ahli badah dan pakaian pendeta.
Keesokan harinya, mahavira melintasi semua bagian kota sambil merenung dan berfikir. Dia mulai mengurangi makanan dan minuman serta hidup dari pemberian orang. Setelah menjalani masa kerahiban   selama 13 bulan, dia melepas seluruh pakaiannya dan berjalan telanjang tanpa sehelai kain pun. Hal tersebut dilakukannya karena telah mencapai tahap kecerahan spiritual. Dia tak lagi memiliki rasa malu, sakit, senang, ataupun gembira.

Mahavira terus menjalani pelatihan nafsu dan rohani selama 12 tahun hingga menjadi sebagaimana yang diucapkan para penikutnya—seseorang yang tidak lagi peduli akan rintangan seberat apapun. Setelah sampai pada tingkat tersebut, mahavira lantas beranjak ke tingkat selanjutnya: mengajak manusia untuk mengikuti ajaran dan madzhabnya. Beruntung, masyarakat menyambut seruannya karena waktu itu mereka resah dengan paham Hindu yang berlebihan.
Kemudian, mahavira mengajak keluarga, kerabatnya, serta penduduk kota. Mereka pun memenuhi seruannya tersebut. Dia terus menyeru masyarakat hingga umurnya genap 72 tahun. Selepas itu, dia singgah di kota Penaporedi wilayah Patna. Mahavira memberikan 55 khotbah kepada masyarakat dan menjawab 36 pertanyaan yang tidak ditanya. Setelah itu, mahavira menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 527 SM. [5]

B.     Ajaran dan Praktek Kegamaannya

Jainisme tidak lain adalah gerakan revolusioner terhadap sebagian ajaran Hindu yang pengaruhnya meresahkan masyarakat. Sistem kasta telah menciptakan benih permusuhan dan kebencian antar-golongan. Jiwa masyarakat yang tadinya bersatu, diguncang dengan kedenkian satu sama lain karena system pelapisan social yang ekstrem tersebut.

Ketika system kasta tersebut, menurut keyakinan Hindu dianggap sebagai kehendak dewa, mahavira menentangnya. Akibat penentangannya itu, Jainisme dianggap sebagai aliran atheis. Dari sini terjadilah kekosongan besar pada agama Jain karena sikap mahavira tidak mengakui dewa, padahal pengakuannya tersebut bisa menyempurnakan aliran baru yang diserukan itu. Hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan pengikut mahavira dan aliran Jainisme mengambil 24 dewa sebagai tuhan mereka.

Para pengikut Jain berpendapat bahwa Agama Jain adalah suatu mazhab yang amat lama dan telah cukup sempurna tatkala berada pada tangan Jain yang ke 24. Jain yang pertama namanya RASABHA, lahir sejak zaman purbakala dan sejarah tidak menyebutkan sesuatu tentangnya, hanya sebagian kisah dongen saja yang menghubungkannya. Setelah itu timbullah Jain-Jain yang lain, seorang demi seorang, hingga lahir dua orang Jain terakhir dalam tingkat zaman sejarah. Yang pertama adalah Jain yang ke 23 namanya PARSUANATH yang dilahirkan pada abad ke 9 SM dan mati pada abad ke 8 SM.[6] Dia telah mendirikan suatu lembaga ketuhanan yang dikaitkan dengan keperluan latihan-latihan yang berat. Dia membagi pengikutnya menjadi dua bagian, yaitu golongan khusus dan golongan umum.

Lahirlah Mahavira dan dialah Jain yang ke 24. Dia menganut prinsip-prinsip Parsunath dan menambahkan lagi dengan pikiran-pikiran, pengalaman, dan ilhamnya. Kedudukan Mahavira menjadi tinggi dan aliran ini terkenal dengan namanya serta lembaga tersebut dikenal dengan gelarnya. Agama jain dikenal kecuali berpadu dengan namanya.     
Diantara kepercayaan Jainisme adalah tidak mengakui system kasta. Kala itu, setiap orang berusaha untuk terbebas dari kasta yang kemungkinan kecil hanya didapat dengan bekerja. Pada sisi lain, Jainisme melihat bahwa kemampuan manusia tentu berbeda dalam menanggung dan menjalankan ajarannya. Karena itu, mereka membagi manusia menjadi dua golongan sesuai kemampuan: golongan khusus dan golongan umum(awam).

Golongan khusus adalah pendeta-pendeta, orang-orang pertapa yang mengamalkan latihan-latihan berat dan pengharaman diri serta meninggalkan keluarga dan rumah karena menjelajahi negara-negara, kota-kota, dan kampung-kampung. Golongan ini adalah tulang punggung lembaga tersebut. Demi mendapatkan keselamatan sejati. Sehingga mereka rela berjalan keliling kota dengan tubuh telanjang, tanpa busana apapun dan alas kaki serta menderita, sakit, lapar, hina dan miskin.

Sementara golongan umum adalah mereka yang mengambil jalan yang dilalui oleh orang-orang khusus tadi. Mereka tidak melakukan latihan yang berat dan melelahkan, tetapi mereka berkewajiban menyanggupi semua ajaran Jainisme, seperti menjaga para arwah meski itu arwah seekor serangga sekalipun. Mereka beretika dengan akhlak dan perilaku orang-orang Jain dan harus bersedekah kepada para pedeta. Salah satu kepercayaan Jain yang sesuai dan sama dengan Hinduisme adalah pendapat tentang reinkarnasi dan adanya kelahiran berulang pada orang yang sama.[7]
Pokok ajaran agama jainisme Mahavira mengajarkan bahwa kebebasan itu terpendam di dalam diri manusia sendiri. Yaitu : 
1.      Kebebasan dari Karma maksudnya adalah  yakni sebab-akibat dari tindak laku manusiawi. Dan kaum jain menganggap bahwa setiap orang terikat dengan karma, atas perbuatan jahat yang dilakukan setiap manusia, berbeda dengan agama hindi dan budha yang menganggap bahwa karma itu ada karma baik dan karma buruk, yaitu apabial seseorang meloki perbuatan baik maka ia akan mendapatkan karma yang baik dan sebaliknya. Sedangkan kaum jain, kaum jain hanya memiliki satu karma saja yitu hanya karma buruk saja.
2.      Kebebasan dari samsara maksudnya adalah hidup berulang kali kedunia yang semua itu merupakan denta. Kebebasan itu bukan dengan mempersembahkan korban sesewaktu, dan bukan pula dengan mempersembahkan sesajen didepan berhala.[8]
v  Kaum jain juga memiliki prinsip- prinsip, yaitu diantaranya :
a. Ahimsa yaitu melakukan tindakan yang merugikan mahluk hidup lainnya, seperti membunuh binatang, tumbuhan dll. Memang kalau dipikir  dengan logika, kita tidak akan pernah bisa untuk tidak melakukan yang seperti itu, karena apabila kita tidak memanfaatkan seperti tumbuhan dan binatang sebagai kebutuhan menusia seperti untuk makan misalnya, apa kita bisa makan dengan tidak menggunakan pokok makan dari tumbuhan dan hewan, Lalu bagaimana orang jain menanggapi tentang konsep ini?  Lalu muncul jawaban memang tidak bisa dan, tapi semua itu dapat diminimalisirkan seperti dengan berpuasa, ada satu prinsip bahwa seseorang  berpuasa sampai dia meninggal, dan orang seperti ini dianggap telah mencapai kebebasan dimana dia telah berengkarnasi.
b. Satia yaitu kebenaran berbicara yang bermaksud tidak berbohong kapada sesama mahluk, karena juga kita ketahui bahwa berbohong adalah merugikan orang lain.
c. Asetya yaitu mencuri, dengan sesama manusia dalam faham kaum jain dilarang untuk mencuri, sama seperti pada hukum hukum yang ada bahwa muncuri merugikan orang lain.[9]
Mahavira menyimpulkan seluruh pokok ajarannya pada Tiga Ratna Jiwa (The Three Jewels of Soul), yaitu :
1.      Pengetahuan yang benar
2.      Kepercayaan yang benar
3.      Tindakan yang benar
Tindakan yang benar itu mestilah berazaskan Lima Sumpah Terbesar (Five Great Vows),[10] yaitu :
1.      Jangan membunuh sesuatu yang hidup
2.      Jangan mencuri
3.      Jangan berdusta
4.      Jangan hidup bejat
5.      Jangan menghasratkan apapun
C.    Sekte di dalam Agama Jain

Sekitar tahun 310 SM. Terjadilah perpecahan paham dan pendirian dalam kalangan agama Jain itu, yakni lebih kurang 3 abad sepeninggalan Mahavira (599-527 SM). Perpecahan itu disebabkan musim paceklik di India utara. Sejumlah 12.000 orang dari jemaat Jain itu, di bawah pimpinan Bhadrabahu, melakukan perpindahan menuju belahan selatan India, berdiam dan menetap dalam wilayah Mysore. Dengan begitu jemaat Jain itu telah terpecah dua, yaitu belahan utara dan belahan selatan. Belahan utara itu beriklim dingin dan belahan selatan beriklim panas. Didalam wilayah yang beriklim panas itu pakaian tidaklah diperlukan. Sedangkan jemaat Jain bagian belahan utara lebih mengutamakan bertarak dan bertapa, yakni hidup secara asketik.

Sekitar tahun 82 M baharulah perpecahan itu menjadi resmi disebabkan masalah pakaian. Jemaat Jain yang mendiami wilayah pada belahan utara pegunungan Vindaya, yang bersuhu sejuk itu, selalu mengenakan pakain putih. Jemaat Jain itulah yang dipanggilkan dengan sekta Svetambara, yakni jemaat berpakain putih.
Tetapi jemaat Jain yang mendiami wilayah pada belahan selatan pegunungan Vindhya itu, yang sepanjang tahun beriklim panas, tidak mengenakan pakaian agak sehelai benangpun. Jemaat Jain itulah yang dipanggilkan dengan sekta Digambara, yakni jemaat bertelanjang bugil bagaikan langit.     
Masalah pakain itu lantas menjadi masalah keagamaan yang meruncing sangat tajam antara kedua sekta. Sekta Digambara itu beralaskan sikap hidup Mahavira di dalam pengembaraannya, yang tiada ambil mumet dan tiada ambil perduli terhadap kebutuhan duniawi.
Tetapi semenjak abad ke 7 M, yakni semenjak anak benua India itu berada di bawah kekuasaan Islam, demikian Robert E. Hume, Ph.D. di dalam bukunya Wordl’s Living Religions edisi 1930 halaman 52,  maka anggota jemaat Digambara itu mulai dipaksakan mengenakan pakaian, setidak-tidaknya mengenakan cd.[11]  
D.    Kitab Suci Agama Jain

Kitab suci di dalam agama Jain (Siddhanta) itu bermakna : pembahasan. Dan  kitab suci Jain bisa disebut dengan nama Agamas yang bermakna : perintah, ajaran, dan bimbingan.[12]
 Kitab suci Jain  hanyalah sekumpulan 55 khotbah mahavra, beberapa pidato dan wasiat yang berhubungan dengan para murid, pendeta, dan ahli ibadah aliran tersebut. Warisan ini turun-temurun berpindah secara lisan yang baru terkumpul pada abad ke-4. Pada waktu itu, para pemuka agama Jain berkumpul di kota Paleopatra. Mereka berdiskusi perihal kodifikasi warisan mahavira tersebut karena khawatir hilang dan tercampur dengan sesuatu yang lain. Mereka mengumpulkan sebagian isi kitab dalam beberapa buku dan berselisih tentang sebagian sumbernya. Namun, mereka belum berhasil menyatukan suara masyarakat guna menyepakati rencana kodifikasi tersebut.

Oleh karena itu, penulisan undang-undang Jainisme ditunda sampai tahun 57 M. akhirnya, mereka membukukan sebagian naskah yang didapatkan setelah cukup banyak kehilangan warisan tersebut. Pada abad ke-5 M, mereka menyelenggarakan pertemuan lain di kota Welapehi yang menyepakati pendapat terakhir tentang warisan Jainisme yang mereka anggap suci. Kali pertama, buku tersebut ditulis dalam bahasa Ardaha Majdi,(bahasa kepustakaan sebelum masehi)  kemudian ditulis dengan bahasa Sanskerta pada abad-abad Masehi. Selain itu orang Jain juga percaya dengan permata yakut yang tiga atau bisa disebut tiga ratna jiwa diantaranya yaitu,

1.  Permata atau mutiara yang pertama adalah itikad yang sah, dialah puncak penyelamatan. Maksud mereka adalah percaya kepada para pemimpin Jain yang dua puluh empat itu. Itulah aturan yang dipuja dan jalan yang lurus. Itikad yang sah tidak ada kecuali setelah diri terlepas dari kotoran-kotoran dosa yang melekat padanya dan yang menghalangi sampainya ruh kepada itikad ini.
2. Permata atau mutiara yang ke dua adalah ilmu yang benar, maksudnya adalah pengetahuan mengenai alam dari kedua segi rohaninya dan kebendaan serta membedakan diantara keduanya. Martabat pengetahuan ini berlainan menurut kekuatan penglihatan hati dan kejernihan ruh. Seseorang yang memisahkan pengaruh dari kekuatan rohani serta sinarnya dapat melihat alam dalam bentuk yang sebenarnya, segala hakikat terbentang di depannya, tabir-tabir tebal tersingkap darinya yang menyebabkannya dapat membedakan antara kebenaran dan kesalahan, antara sangkaan dan keyakinan. Dia tidak diraguhkan oleh apapun . Ilmu pengetahuan yang benar ada sesudah itikad yang sah.       
3. Permata atau mutiara yang ketiga adalah akhlak yang benar, maksudnya adalah bersifat dengan akhlak Jain seperti melakukan kebaikan meninggalkan keburukan, tidak membunuh, tidak berbohong, tidak melakukan pencurian, tidak melakukan kecurangan dan berzuhud dengan barang-barang kepunyaan sendiri. 
Ketiga mutiara ini saling berkaitan. Tatkala seorang manusia itu telah sempurna maka dia mendapati suatu kenikmatan dan kebahagiaan yang tidak dapat ditandingi oleh kenikmatan dan kebahagiaan manapun.

v  Prinsip-prinsip Utama untuk Pembersihan Ruh

Parah pengikut Jain meletakan tujuh asas utama untuk membersihkan ruh. Asas-asa ini adalah dianggap puncak atau sumber prinsip-prinsip Agama Jain. Asas-asas ini adalah sebagai berikut.

1.  Membuat pengakuan dan perjanjian kepada para pemimpin dan pendeta-pendeta bahwa hendaklah murid itu berbudi pekerti baik dan membuang segala kelakuan yang buruk.
2. Bertakwa, yaitu hendaklah senantiasa berhati-hati ketika berbicara dan bekerja, dan pada segala gerak-gerik dan juga waktu berdiam. Tidak menyakiti atau membahayakan makhluk apapun yang hidup walau hina sekalipun.
3.  Mengurangi gerakan badan, bicara, berfikir tentang hal-hal dunia yang jasmani sehingga masa dan napas-napas yang berharga tidak terbuang pada perkara-perkara yang kecil.
4. Menghiasi diri dengan sepuluh perkara yang menjadi puncak kebaikan dan jalan kesempurnaan, yaitu pemaaf, benar, lurus, merendahkan diri, bersih, menahan nafsu, berhemat lahir dan batin, berzuhud, meninggalkan perempuan, dan tidak mementingkan diri sendiri.
5. Pemikiran terhadap hakikat utama mengenai alam dan jiwa. Sebagian masalah alam dan masalah jiwa dapat dicapai dengan panca indra yang bersifat kebendaan, dan sebagiannya dapat dicapai dengan kaca mata akal.
6. Mengatasi kesulitan hidup dan segala kedukaannya yang timbul dari gejala-gejala jasmani atau kebendaan, seperti rasa lapar, dahaga, sejuk, panas, dan segala hawa nafsu yang bersifat kebendaan itu. Haruslah dia menegakkan suatu tembok yang kukuh disekelilingnya agar terlepas dari gejala-gejala dan panca indra dan dari pengaruhnya.
7.  Kepuasan yang sempurna, ketenangan, budi pekerti yang baik, kebersihan lahir dan batin.[13]
Agama Jain beranggapan bahwa prinsip-prinsip ini melepaskan manusia dari ikatan yang mengikatnya dengan kehidupan serta merampas ketegangan pikiran dan hatinya. Seandainya seseorang bersifat dengan sifat-sifat yang tujuh ini maka dia sikeluarkan dari kegelapan yang menyelubunginya disebabkan kedukaan hidup di dunia.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN 
Agama Jain adalah agama yang termasuk tidak mengakui adanya system kasta.  Sebab sistem kasta telah menciptakan benih permusuhan dan kebencian antar golongan.
Dan orang Jain mempercayai ajaran itu Tiga Ratna Jiwa (The Three Jewels of Soul), yaitu : Pengetahuan yang benar, Kepercayaan yang benar, Tindakan yang benar. Sehingga mereka akan mendapatkan suatu kesempurnaan dalam hidup serta dapat melawan kebebasan itu yang terpendam di dalam diri manusia sendiri.    
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1.      Prof. Dr. Shalaby Ahmad, , Agama-Agama besar di India, PT Bumi Aksara Jakarta,  1998.
2.      Sou’yb, Joesoep, agama-agama besar di dunia, PT Al- Husna Zikra, Jakarta, 1996.
4.      Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI).
5.      Abdullah al-Maghlaut, bin Sam,  Atlas Agama-agama.

[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI)
[2] Joesoep sou’yb, agama-agama besar di dunia, penerbit pt. Al Husna Zikra, h. 128
[3]  Sami bin Abdullah al-Maghlaut, Atlas Agama-agama, h. 563
[4] Ibid
[5] Sami bin Abdullah al-Maghlaut, Atlas Agama-agama, h. 564
[6] Prof. Dr. Ahmad Shalaby, Agama-Agama besar di India, Bumi Aksara. h. 96
[7] Ibid
[8] Joesoep sou’yb, agama-agama besar di dunia, penerbit pt. Al Husna Zikra, h. 133-134
[9] http://anharululum.blogspot.com/2011/04/mengetahui-sekilas-tentang-agama.htm
[10] Joesoep sou’yb, agama-agama besar di dunia, penerbit pt. Al Husna Zikra, h.136
[11] Joesoep sou’yb, agama-agama besar di dunia, penerbit pt. Al Husna Zikra, h. 140-141
[12] Ibid
[13] Prof. Dr. Ahmad Shalaby, Agama-Agama besar di India, Bumi Aksara. h. 107

0 komentar:

Posting Komentar