PONDOK PESANTREN AL-ISHLAH BANDARKIDUL KEDIRI
Pondok Pesantren
al-Ishlah adalah
salah satu pondok pesantren di Kota Kediri yang dibangun di Desa
Bandarkidul 9 tahun pasca kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tahun 1954
M. Komplek Pondok Pesantren Al-Ishlah terletak
di sebelah Barat sungai Brantas dan berada di atas areal tanah seluas ± 1.780 m2.
Lokasi Pondok berada di sebelah Barat alun-alun Kota Kediri, tepatnya di
sebelah Selatan perempatan Jl. Bandar Ngalim Bandarkidul-Mojoroto-Kota
Kediri. Sejarah perjalanan Pondok
Pesantren al-Ishlah, ini hadir untuk menggugah hati dan membawa ingatan kita
terhadap dinamika dan romantika masa lalu, nan memberi rangsangan semangat,
motivasi dan renungan menuju hidup yang lebih berarti. Sehingga terpatri sebuah
pandangan jernih dalam hati kita dalam menyikapi persoalan hidup, perjuangan,
pengorbanan, kegagalan, kesuksesan, kekayaan, kemiskinan, persahabatan, cinta
dan kasih sayang. Serta himmah untuk
meniru jejak perjuangan atas keberhasilan seorang tokoh dalam menegakkan
panji-panji Ishlah.
A. Latar Belakang
Berdirinya Pondok Pesantren Al-Ishlah
Al-Ishlah didirikan satu tahun menjelang pemilihan umum pertama
tahun 1955, tepatnya pada tanggal 17 Oktober 1954. Saat itu situasi sedang
dimanfaatkan oleh para politisi dan gembong-gembong partai mengadakan
persaingan mencari pengaruh dan perebutan kekuasaan yang saling menjatuhkan.
Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural, banyak suku, ras dan
agama berkembang dengan pesat sangat rentan terhadap konflik. Hal ini tentunya
dapat berdampak negatif terhadap kondisi umat Islam. Karena Islam sebagai agama
yang banyak dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia ternyata juga
menganut beragam madzhab yang berbeda-beda dan mempunyai basis masa yang tidak
sedikit jumlahnya. Hal ini tentunya menjadi ladang subur untuk memperoleh
dukungan massa yang sebesar-besarnya, jangan sampai keutuhan umat Islam ini
dimanfaatkan pihak ke tiga untuk kepentingan kelompok atau golongan tertentu
dengan aksi dukung mendukung yang rewan terhadap konflik.
Melihat yang kenyataan yang demikian itu, sebagai upaya untuk
menghindari perpecahan umat maka beliau memilih al-Ishlah sebagai
nama pondok pesantren yang didirikannya sebagai simbol perdamaian
umat. Beliau berharap dengan nama al-Ishlah,
santri-santrinya mampu menginternalisasikan nilai-nilai perdamaian untuk
membangun umat yang rukun dan damai tanpa memihak satu kelompok manapun.
Keanekaragaman madzhab dalam umat tubuh umat Islam serta tumbuh suburnya ormas
dan orsospol harus segera seberdayakan, jangan sampai tumbuh sikap fanatisme,
arogan dan saling menjatuhkan. Nama Al-Ishlah yang
ada sejak 56 tahun silam, hingga al-Ishlahsebagaimana
kita kenal sekarang ini, bukan hanya rangkaian aksara tanpa makna. KH. Thoha Mu’id selaku pendiri dan
pengasuh Pondok Pesantren al-Ishlah, mengutip beberapa ayat al-Qur’an sebagai
landasan normatifnya, antara lain yaitu:
a. Qs.
An-Nisa’ (4) ayat 114
لا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلا مَنْ أَمَرَ
بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ
يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا
عَظِيمًا
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan bisikan mereka,
kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah,
atau berbuat makruf, ataumengadakan perdamaian di antara manusia.
Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka
kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.
b. Qs.
al-Hujrot (49) ayat 9-10
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا
بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي
تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْفَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ * إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ *
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin
berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu
dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka
perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali
kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah),
maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan
berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah
antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu
mendapat rahmat.
B. Dinamika Perkembangan Pondok Pesantren
Al-Ishlah
1. Napak Tilas Santri Generasi Awal
Dari
data yang kami kumpulkan bahwa jumlah santri yang pertama kali mukim di
Al-Ishlah ada 14 orang, enam orang diantaranya adalah santri yang berada
dalam binaan KH. Thoha Mu’id semenjak beliau masih berada di Pondok Pesantren Mojosari.
Dengan pulangnya Romo Kyai dari Mojosari, mereka ikut serta pindah (boyong) ke
Al-Ishlah agar dapat tetap berguru kepada KH.
Thoha Mu’id. Mereka itu adalah :
1.
Wahid dari Berbek –
Nganjuk
2.
Turmudzi dari
Tunjung – Udanawu – Blitar
3.
Mujib dari Kebon Agung –
Udanawu – Blitar
4.
Hasyim Asy’ari dari
Dadaplangu-Blitar
5.
Pandi dari Ngetos –
Nganjuk
6.
Chozin dari
Kedungombo – Warujayeng
7.
M. Syafa’at dari
Kebon Agung – Udanawu – Blitar
8.
Mulkan dari Kebon
Agung – Udanawu – Blitar
9.
Masyhudi dari Kalipucung
– Sanankulon – Blitar
10. Faishol dari Pesantren – Kediri
11.
Sapoan dari
Wonodadi – Blitar
12. Abdul Manan dari Garum-Blitar
13. Munawir dari Garum-Blitar
14. Romly dari Gadungan-Gandosari-Blitar
15. Dari ke 14 santri tersebut yang pertama kali diajak ke Bandarkidul
adalah Wahid dari Berbeg, namun untuk selanjutnya ke 13 santri tersebut diatas
menyusul.
Sedangkan enam
orang lainya adalah tergolongn santri baru, dalam arti bukan termasuk santri
yang ikut serta pindah bersama Kyai dari Mojosari, mereka adalah:
1.
Katib dari Ngronggot
2.
Ghozali dari
Bumiayu
3.
Ridlo dari Bumiayu
4.
Abidin dari
Bumiayu
5.
Bashori dari
Ponorogo
6.
Dimyati dari
Kertosono – Nganjuk
Dari
keseluruhan santri pada generasi awal tersebut, beberapa diantaranya tidak
mengalami dalam satu masa secara bersamaan. Namun mereka adalah generasi pada
dekade tahun 1958. Dengan demikian, tidaklah berlebihan jikalau ke-20 orang
tersebut berhak mendapatkan predikat sebagai gelar “Assabiqnal Awwalun” generasi pertama,
sebagai pelaku sejarah dalam bertholabul
ilmi di Pondok Pesantren
Al-Ishlah.
2. Perkembangan statistik santri dari tahun ke tahun
Seperti halnya pesantren pada umumnya, yang mewajibkan
para santrinya untuk mengikuti program pendidikan yang
diselenggarakan di dalam pesantren. Tetapi yang menjadikan al-Ishlah berbeda
dengan pesantren lainnya, yakni adanya kebijakan yang memberikan kesempatan
kepada para santrinya untuk menuntut ilmu dilembaga formal yang berada
diluar pesantren. Kebijakan ini dibuat 12 tahun pasca berdirinya Al-Ishlah, tepatnya tahun 1966,
yakni bersamaan dengan didirikannya IAIT Tribakti oleh Pondok Pesantren
Lirboyo. Saat itu mengalirlah pelajar-pelajar tamatan Pondok besar seperti
Ploso, Jampes dan Bendo, untuk mengikuti kuliah di Tribakti dengan mukim di
Al-Ishlah, di samping juga ada yang kuliah di IAIN Sunan Ampel Cabang
Kediri (Sekarang STAIN Kediri) ataupun sekolah tinggi sederajat. Inilah
kondisi sosio kultural yang menentukan langkah baru pondok pesantren
al-Ishlah, dimana saat itu KH. Thoha Mu’id selaku
pendiri dan pengasuh membuat kebijakan baru yakni memberikan
kesempatan bagi santri untuk belajar atau sekolah formal diluar pondok. Dalam
mengeluarkan kebijakan ini beliau merujuk pada Firman Allah Qs. Al-Isra’ (17):
80.
Berawal dari kebijakan inilah, membuat Al-Ishlah diminati banyak orang.
Dengan bertempat di Pondok al-Ishlah santri
tidak hanya mendapatkan wawasan keilmuan agama saja, tetapi juga
mendapatkan kesempatan untuk belajar dilembaga pendidikan formal
yang berada di luar pondok. Maka banyak pelajar yang datang dari berbagai
daerah untuk memperdalam ilmu agama di Al-Ishlah sambil
sekolah diberbagai lembaga pendidikan formal maupun non formal yang ada di
wilayah kediri dan sekitarnya. Mulai dari tingkat SMP, SMA, sampai
Perguruan Tinggi. Hal ini mambawa dampak positif bagi perkembangan al-Ishlah,
terbukti dari tahun ketahun jumlah santri al-Ishlah terus mengalami peningkatan
yang cukup segnifikan. Walaupun, dalam waktu satu tahun, selalu terjadi pasang
surut jumlah santri. Hal ini disebabkan sebagian santri yang meninggalkan
pesantren karena tuntutan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, atau
meninggalkan pesantren disebabkan suatu hal yang lain.
3. Aktifitas Santri
Sebagai seorang pengasuh, KH. Thoha Mu’id memberikan kesempatan
kepada para santri untuk menempuh pendidikan formal maupun non formal serta
mengikuti organisasi diluar lingkungan pesantren memberikan dampak yang
luar biasa terhadap pembentukan kepribadian dan pengembangan potensi santri.
Dengan cara seperti ini, santri selain mendapatkan pendidikan agama ia
juga berkesempatan mengembangkan potensi dirinya semaksimal mungkin.
Dalam mendidik santri yang siang hari tidak sekolah formal, maka KH. Thoha Mu’id selalu mengarahkannya
untuk mengikuti ro’an, dari sini santri secara tidak langsung akan belajar
berwirausaha, baik itu melalui pemberdayaan koperasi, ketrampilan, keahlian dan
lain-lain. Khusus dalam ro’an bangunan fisik, ketika selesai bangunan
yang satu maka sebagai alternatif untuk kegiatan santri akan dicarikan bangunan
yang lain untuk dapat direnovasi, itu dilaksanakan secara terus menenus. Hal
itu bertujauan agar jangan sampai santri nganggur¸ tanpa
ada aktivitas. Sebagaimana pengakuan dari beberapa alumni yang mengikuti
perkembangan al-Ishlah hingga saat ini, bahwa kegiatan ro’an sejak awal
berdirinya pondok sampai saat ini tidak pernah ada putusnya.
Hal ini menjadikan suasana al-Ishlah selain
menjadi wadah untuk ber tholabul ’ilmi, pondok
al-Ishlah juga sebagai temnpat berinteraksi sosial secara utuh. Keanekaragaman
latar belakang asal daerah dan potensi (pendidikan formal) menjadi nilai
positif untuk saling mengisi dan berbagi pengalaman. Oleh sebab itu, lahirlah
alumni yang berkemampuan sangat heterogen namun tetap berkarakter seorang
santri. Mulai dari praktisi ulama, umaro’, intelektual, pengusaha, dan
lain-lain.
4. Fasilitas, sarana dan prasarana
Tuntutan bagi sebuah pencapaian ilmu sangat erat kaitannya
dengan tersedianya sarana dan pra sarana yang representatif. Dalam hal ini
upaya kongkrit telah dilakukan oleh pondok pesantren al-Ishlah Bandarkidul
dengan melakukan penataan, pelestarian, dan pengembangan dalam bidang
fasilitas, sarana dan prasarana.
Asrama Santri
Sejak pertama kali al-Ishlah dirintis oleh KH. Thoha Mu’id, sarana
dan prasarana untuk santri pun masih seadanya, jauh dari ideal. Pada tahun
pertama hanya terdapat satu kamar yang masih bersifat darurat yang dikenal
dengan istilah nyang empokan (sesuatu
yang dindingnya sebagian cukup pada bangunan lain) tepatnya berada di sebelah
baratNdalemnya Bapak H. Abdul Mu’id, itu harus ditempati oleh
kurang lebih 14 santri.
Dengan
kondisi seperti itu, maka kegiatan belajar-mengajar ditempatkan di langgar atau surau kecil dengan
penerangan lampu 5 watt, sehingga para santri menerima pelajaran dari Kyai
membawa lampu teplok yang dipasang pada dinding langgar atau
lampu ublik yang diletakkan di atas dampar (meja kecil) atau dipegang dengan
tangan kirinya bagi mereka yang tidak mempergunakan meja (lesehan), dimana
kitabnya hanya disandarkan diatas lututnya yang berfungsi sebagai gantinya meja
tulis, sedang tangan kananya digunakan untuk maknani /ngesahi (menulis) pada kitab yang
dikaji. Bagi mereka yang tidak membawa lampu sendiri maka mereka
mengelompok, bergabung dengan temannya sehingga lampu satu dikerumuni oleh tiga
atau empat orang.
Itulah Al-Ishlah di masa
silam, yang selalu dikenang oleh para santri generasi pertama. Rupa-rupanya
keadaan itu sekarang ini sudah menjadi sejarah masa silam, karena al-Ishlah
yang ada kini ditaburi cahaya lampu yang menjadikan sekitarnya terang
benderang. Langgar kecil yang sangat berjasa, beserta menara tempat mengalunkan
panggilan Ilahi setiap Maghrib dan Subuh itu, sudah tergusur oleh proyek
pelebaran jalan.
Sedangkan perkembangan
sarana fisik (asrama) santri dimulai pada tahun 1954 hanya ada satu kamar,
tahun 1957 ada 4 kamar yakni 2 kamar di belakang pengimaman langgar kecil
(komplek A pada waktu itu) dengan ditambah 2 kamar sebelah selatan langgar yang
sekarang sudah tidak bisa kita saksikan lagi. tahun 1958 membangun komplek B sebelah
selatan langgar, sejumlah 7 kamar ditambah 4 kamar komplek A atas, dengan
membongkar 2 kamar sebelah selatan langgar (sehingga ada 10 kamar. Tahun 1960
setelah bapak KH. Abdul Mu’id meninggal dunia maka sebagian santri
menempati rumah beliau yang selanjutnya menjadi komplek C. Tahun 1962 setelah
bapak Kyai Abdurohman pindah ke Pulosari, maka rumah beliau ditempati santri
pula, dengan leter komplek D yang terdiri 4 kamar. Keterangan ini
diperoleh dari buku ¼ Abad PP al-Ishlah, hasil wawancara dengan Bapak Mihron
(santri tahun 1955) yang menyaksikan perkembangan pondok pesantren Al-Ishlah
ditahun-tahun.
Tahun
1967 membangun komplek Madiun dengan 3 kamar, kemudian tahun 1968 membangun
komplek Pemalang dengan 1 kamar, tahun 1969 membangun komplek E dengan 4 kamar,
tahun 1972 membangun komplek Solo dengan 2 kamar, tahun 1973-1974 membangun
komplek ‘al-Huriyah’ dengan 7 kamar, tahun 1975 menyempurnakan dan mulai
penggunaan komplek ”Nadlotus Syubban” (sekarang al-Munawwaroh) dengan 8 kamar.
Namun pada tahun 1976 situs bersejarah yang menjadi cikal bakal berdirinya
pondok pesantren al-Ishlah itu harus rela digusur oleh proyek pemerintah
(pelebaran jalan Bandar Ngalim) , rumah Kyai Yusuf Mu’id, langgar utara
dan komplek-komplek tempat tinggal para santri waktu itu kini sudah tidak bisa
disaksikan lagi, semuanya sudah tergusur oleh proyek tersebut.
Kemudian
tahun 1978 membangun dan meresmikan komplek ‘As-Sa’adah’ dengan 10 kamar, dalam
tahun itu juga al-Ishlah membangun aula yang diberi nama ”Darul Muttaqin”
dua lantai, atas digunakan aula dan bawahnya digunakan kantor pondok dan
komplek al-Fattah. Dalam perkembangannya komplek al-Fattah semuanya dipindah ke
atas. Pada tahun 1980 komplek al-Hurriyah dipindah ke selatan yang bersambung
dengamn komplek as-Sa’adah, sedang komplek al-Hurriyah yang lama digunakan
untuk asrama putri.
Sejak tahun 1954, dari tahun ke tahun di al-Ishlah tercatat
beberapa kali melakukan pembangunan asrama santri. Dalam rentang waktu 56
tahun sejak berdirinya, pondok pesantren al-Ishlah telah menunjukkan kiprah dan
peran yang luar biasa, berawal dari hanya sebuah surau kecil sebagai pusat
kegiatan santri dan asrama yang sangat sederhana (nyang empyokan) kini telah berkembang
menjadi sebuah pondok pesantren yang cukup representatif dan populer di mata
masyarakat luas baik dalam skala lokal maupun nasional.
Seperti yang dapat kita
saksikan sekarang. Saat ini di dalam area pondok pesantren al-Ishlah
terdapat lima komplek yang terdiri beberapa kamar, diantaranya adalah:
al-Fattah: 7 kamar, al-Munawwaroh: 8 kamar, al-Mubarokah: 5 kamar, al-Hurriyah:
5 kamar, dan as-Sa’adah: 12 kamar. Selain itu ada juga yang bertempat di
komplek mushola al-Fadlu dan asy-Syafi’i, keduanya merupakan bagian dari
pada pondok pesantren al-Ishlah.
Mushola al-Ishlah
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan
pondok pesantren, yang dianggap sebagai tempat umat Islam mengadakan berbagai
macam kegiatan keagamaan, pengajian sholat berjama’ah musyawarah, dan
lain sebagainya. Oleh sebab itu, bukan merupakan hal yang aneh jika
dimana ada pesantren disitu pula ada masjid, seperti yang dapat kita
lihat di pondok pesantren
al-Ishlah.
Pada mulanya pondok pesantren al-Ishlah memiliki
mushola yang amat sederhana, berada di utara ndalem. Tetapi
bangunan itu sudah tiada lagi karena sudah tergusur oleh proyek pelebaran jalan
Bandar Ngalim. Akhirnya ada inisiatif untuk membangun kembali mushola yang
telah digusur tesebut dengan bangunan yang lebih permanen .Hal itu
direalisasikan pada tahun 1966, yakni dengan dibelinya rumah besar kepunyaan Bu
Sinder beserta tanahnya seluas 1560 m² atau 111½ ru selannjutnya di fungsikan
sebagai mushola al-Ishlah, yang menjadi pusat kegiatan santri. Selang
beberapa tahun setelah bangunan mushola itu berdiri dan santri kian bertambah
banyak. Maka sebagai akibatnya mushola yang semula dirasa longgar semakin
terasa sempit. Kemudian diadakan perluasan dengan merenovasi bentuk
bangunannya hingga berdiri megah ”Masjid Al-Ishlah” beserta menara yang
menjulang tinggi sebagaimana yang kita lihat sekarang ini.
Menara Arafah
Menara Arofah adalah merupakan salah satu simbol panji-panji
Islam yang ada di pondok pesantren al-Ishlah. Menara yang berdiri megah di
sebelah barat mushola ini merupakan menara ke -3 yang pernah ada dalam
kurun waktu 56 tahun sejak berdirinya al-Ishlah.
Menara yang pertama kali berdiri di pondok pesantren al-Ishlah
berada di utara mushola lama dengan ketinggian 9 M, tepatnya di timur ndalem
Kyai Yusuf Mu’id. Namun dikarenakan adanya gempa, maka pembangunanya tidak
dilanjutkan dan selanjutnya dialih fungsikan untuk kamar santri, yang ditempati
oleh Afandi dan Awwaluddin.
Pada
tahun 1967 ada rencana melanjutkan kembali pembangunan menara, akan tetapi
lokasi pembangunannya berada di sebelah selatan mushola lama (sekarang menjadi
dapurndalem).
Namun pada tahun 1975 pemerintah kembali mengadakan proyek pelebaran
jalan Bandarngalim, yang akhirnya menara beserta mushola lama dan ndalem Kyai
Yusuf Mu’id harus tergusur oleh proyek tersebut.
Setelah adanya penggusuran, maka di pondok pesantren al-Ishlah tidak
terdapat menara. Pada tahun 2004 ide untuk mendirikan kembali menara di pondok
pesantren al-Ishlah dimunculkan. Tetapi sebelum ide itu terealisasikan keluarga
besar pondok pesantren al-Ishlah mengalami peristiwa duka yang mendalam atas
kepergian Ibu Nyai Hj. Siti Asiyah untuk selama-lamanya, innalillahi wa inna ilaihiroji’un.
Ide
pembangunan menara baru dapat direalisasikan pasca meninggalnya Ibu Nyai.
Penggalian pondasi dimulai pada hari Selasa, 17 Agusutus 2004/ 1 Rajab 1425 H.
Sebelum peletakan batu pertama dilaksanakan, KH. Thoha Mu’id mengintruksikan
agar peletakan batu pertama didahului oleh adzan dan iqomat. Hal ini
berdasarkan ijazah dari KH. Fattah – Mangunsari, Tulungagung dan pada saat itu
yang mendapatkan tugas mengumandangkan adzan dan iqomat adalah Affan al-Qudsy
(santri asal Kudus).
Pembangunan menara dapat dilakukan secara bertahap, hal ini
mengingat keterbatasan dana yang dimiliki. Al-hamdulillah, atas dukungan moral
dan material dari keluarga besar al-Ishlah, santri, dan alumni serta
pihak-pihak yang mempunyai kedekatan emosional dengan pondok pesantren al-Ishlah pembangunan
menara dapat terselesaikan. Menara tersebut diberi nama ”ARAFAH” yang
diresmikan bersamaan dengan acara peringatan 56 tahun berdirinya pondok
pesantren al-Ishlah pada tanggal 25 Desember 2010 M/19 muharam 1432 H.
SANIMAS
(Sanitasi Masyarakat Pesantren) “NAMI“ Pondok Pesantren Al Ishlah
Ini merupakan salah satu terobosan baru yang ada ditempuh oleh
pondok pesantren al-Ishlah dalam rangka menyediakan fasilitas MCK
bagi santri yang representatif dan memenuhi standart kesehatan. Selain
sebagai tempat pembuangan kotoran (tinja/feses) dari para santri, SANIMAS
ini mempunyai fungsi ekonomis yakni dengan memanfaatkan mikro organisme yang
dapat menguraikan tinja/feses untuk diubah menjadi biogas. Energi
ramah lingkungan, selain bebas dari pencemaran juga dapat dimanfaatkan
para santri untuk memasak.
Hal ini menjadi energi alternatif sebagai ganti pemakaian kayu bakar,
minyak tanah dan gas LPG. Sanitasi Masyarakat ”NAMI” Pondok yang menelan biaya
lebih dari 200 juta ini dioprasikan mulai bulan April 2010. Pengambilan nama
”NAMI” merupakan ide dari KH. Zubaduzzaman. NAMI sendiri adalah
singkatan dari ”an-Nadhofatu Minal Iman”.
Perpustakaan
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Islam menaruh perhatian
besar terhadap ilmu pengetahuan. Hubungan timbal balik antara ilmu agama dan
ilmu umum bagaikan sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain,
keberadaannya harus seimbang yang berorientasi pada kemaslahatan umat.
Hidupnya ajaran Islam harus dipelihara dengan cara
menghidupkan dan mengembangan semangat mencari ilmu serta memeliharanya.
Sedangkan kunci pertama dari pada ilmu pengetahuan adalah berangkat dari
kemauan untuk menulis dan membaca, karena pada dasarnya apapun yang di baca dan
di dengar oleh seseorang akan berdampak pada pola pikirnya. Apabila hal
ini terjadi pada diri seorang santri, dengan adanya dorongan dan semangat
untuk mengkaji buku-buku atau pun kitab yang telah di sediakan oleh
pengelola perpustakaan, maka lambat laun pola pikirnya pun akan berubah
dan ketajaman analisanya pun akan semakin terasah. Oleh karena itu, minat
baca para santri di lingkungan pesantren harus mendapatkan prioritas yang
utama.
Dalam
hal ini, upaya yang ditempuh oleh pondok
pesantren al-Ishlah adalah dengan mendirikan perpustakaan.
§
Perpustakaan ”GERBANG”
Sebenarnya al-Ishlah sudah pernah merintis perpustakaan, yang
didirikan pada tahun 1969. Perpustakaan yang ini merupakan bangunan
perpustakaan pertama yang pernah ada di dalam lingkungan pondok
pesantren al-Ishlah. Pada perkembangannya, perpustakaan ini mempunyai
beberapa koleksi karya fiksi maupun karya ilmiah dari hasil penelitian,
yang diklasifikasikan dalam beberapa jenis, antara lain: buku dan kitab tentang
ajaran Islam (fiqh, hadits, tafsir, dll.), ketrampilan, keorganisasian,
pendidikan, kebudayaan, kesenian, bahasa, skripsi, dll. Dari tahun ke tahun
buku koleksi perpustakaan semakin bertambah, buku-buku itu merupakan hibah dari
ara santri, atau kenang-kenangan dari mahasiswa yang telah selesai dalam
penulisan skripsi, dan juga dari sumbangan pemerintah daerah. Akan tetapi
dikarenakan kurangnya perhatian dalam hal manajemen, selain buku itu bertambah,
rupa-rupanya satu-persatu buku itu ada yang hilang entah kemana. Kemudian pada
dekade tahun 2002, ada rencana untuk merintis kembali perpustakaan Pondok Pesantren Al-Ishlah. Perpustakaan
itu diberi nama ”GERBANG”, dan lagi karena sistem manajemen yang kurang tertata
dengan baik, menyebabkan perpustakaan ini tidak bisa terkondisikan lagi,
sehingga pada akhirnya menjadi sebuah kenangan yang ikut mewarnai sejarah
perkembangan perpustakaan pondok pesantren
al-Ishlah.
· Al-Maktabah ála ahlussunah wal jama’ah Pondok Pesantren Al-Ishlah
Setelah
perpustakaan Gerbang tidak
bisa dikondisikan lagi. Pada tahun 2010 ini pondok
pesantren al-Ishlah berupaya untuk dapat menciptakan iklim
pembelajaran yang kondusif, salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan
mendirikan perpustakaan dan rencananya diresmikan bersamaan dengan acara
Peringatan Setengah Abad Pondok Pesantren
al-Ishlah. Perpustakaan itu diberi nama ”Al-Maktabah ála ahlussunah wal jama’ah”,
dengan adanya fasilitas perpustakaan nanti diharapkan semangat belajar santri
dalam mengkaji khazanah keilmuan akan semakin meningkat.
5. Pondok Pesantren al-Ishlah Putri
Keluarga besar KH. Thoha Mu’id merupakan
orang-orang yang berpengaruh disekitar Bandarkidul, khususnya dalam
hal keagamaan. Seperti contoh kiprah KH. Abdul Mu’id (ayahanda KH. Thoha Mu’id)
yang dengan ketekunan dan ketelatenan mendidik santri dan muridnya, terutama
dalam mengajar bacaan al-Qur’an dan berzanji. KH. Abdurrohman (kakak KH. Thoha
Mu’id) merupakan sosok yang aktif memberikan ceramah ke agamaan ditengah-tengah
masyarakat Bandarkidul dan kakak KH. Thoha Mu’id yang bernama Kyai Yusuf
merupakan perintis berdirinya sekolah dengan sistem klasikal ”Madrasah
Diniyyah Ibtidaiyah”, yang menjadi embrio keberadaan Madrasah al-Badriyyah.
Sehingga sepeninggal ayahanda dan kakak-kakaknya, beliau
dianggap mumpuni untuk meneruskan perjuangan mensyiarkan Islam kepada
masyarakat luas, karena sejak kecil beliu memang menempuh pendidikan di
pesantren. Sepulang dari pesantren Mojosari, selain mendapatkan ilmu, atas
restu KH. Zainuddin beliau berhasil memboyong santri putri untuk selanjutnya
dijadikan pendamping hidup. Selang beberapa tahun dari pernikahanya, tepatnya
tahun 1954 beliau berdua mulai merintis pesantren, mendedikasikan diri untuk
mendidik para santri. Mula-mula yang belajar dan bermukim di al-Ishlah
hanya santri putra saja. Namun seiring dengan perkembangan waktu keberadaan
al-Ishlah semakin dikenal oleh masyarakat luas, maka tidak hanya santri putra
saja yang ingin belajar di al-Ishlah, tetapi juga santri putri. Dengan kapasitas
Ibu Nyai Hj. Siti Asiyah sebagai alumni pondok pesantren Mojosari, beliaupun
memiliki kecakapan untuk mengajar dan mendidik santri putri.
Pada awalnya beliau hanya mengajar santri kalong. Dekade tahun
1960 an mulai ada santri putri yang menetap di ndalem, waktu
itu jumlahnya ± 5-8 orang. Setiap tahun jumlah santri putri yang ingin menetap
di al-Ishlah semakin bertambah itu terbukti pada tahun 1968 tercatat ada
± 20 – 25 orang yang bermukim di al-Ishlah. Keberadaan pondok
pesantren al-Ishlah putri semakin mendapatkan perhatian dari masyarakat, banyak
orang tua yang mengirimkan putri nya untuk mondok di al-Ishlah. Mereka berharap
agar putrinya, selain belajar ilmu agama ia juga mendapat kesempatan untuk
belajar di pendidikan formal yang ada wilayah Kota Kediri. Saat ini santri
putri pondok pesantren Al-Ishlah berasal dari beberapa daerah. Dari jumlah
keseluruhan santri putri itu ditempatkan di dua komplek .yaitu an-Nikmah dan
al-Jannah
ngalap barokah pondok pesantren
BalasHapusayo mondok pesantrenku asyik
BalasHapus