PLURALISME DI INDONESIA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kehidupan
ini selalu menunjukkan kondisi yang beragam. Keberagaman dalam kehidupan
menunjukkan bahwa dunia dan kehidupan di dalamnya masih pada kondisi normal.
Keberagaman dalam wadah kehidupan bak taman indah yang ditumbuhi beraneka macam
tumbuhan dan bunga-bunga. Keberagaman menjadi indah apabila bisa tertata dengan
baik sebagaimana juga keberagaman akan memperlihatkan keindahan yang eksotik
jika bisa dihargai oleh setiap kelompok yang ada. Keberagaman atau pluralitas
dalam dialektika kehidupan beragama tentu sedikit menumbuhkan fenomena yang
menarik untuk diteropong lebih dekat lagi. Terdapat sejumlah persoalan yang
perlu dicermati manakala agama bersinggugan dengan pluralitas sosial, dari
mulai politik, adat, ekonomi serta fenomena yang relative paling sensitive
manakala suatu agama menjumpai kelompok kepercayaan atau agama yang lain.
Persoalan yang cukup rumit dalam konteks pergaulan agama-agama adalah pada
persoalan cara bagaimana beragama atau berteologi di tengah-tengah adanya
agama-agama yang lain.
Jadi dalam
makalah kali ini kami akan membahasa bagaimana pluralitas di indonesia ini
berkembang serta aliran-alirang yang ada dalam pluralitas menjadi sangat
berperan didalamnya.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pluralisme?
2. Apa sajakan aliran yang ada dalam pluralisme?
3. Bagaimana perkembangan pluralisme di indonesia?
4. Bagaimana agama dan pluralisme di indonesia?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pluralisme
Pluralisme
dalam arti yang sangat sederhana adalah kemajemukan. Pada kenyataannya
pluralisme dianggap sebagai paham yang paling mengerikan ditinjau dari sudut
pandang agama-agama samawi (Yahudi, Kristen da Islam). Hal itu karena adanya
pengawetan yang cukup kental terhadap ideolgi ekslusif yang dikembangkan oleh
agama-agama tersebut selama ratusan tahun yang silam. Ideology eklusifisme yang
dimaksud adalah berupa claim of truth “klaim kebenaran” dan claim of salvation
“klaim keselamatan” yang ada pada masing-masing agama tersebut. Dalam arti yang
lebih sederhana masing-masing agama tersebut menilai agama yang lain dengan
memakai teologinya agamanya sendiri tanpa menyisakan ruang toleransi untuk
berempati dan bersimpati tentang bagaimana orang lain memandang agamanya
sendiri. Dengan pola ekslufitas tersebut menemptakan pluralisme sebagai ancaman
bagi agama yang disebutan di atas termasuk dalam Islam itu sendiri.
Pluralisme
merupakan suatu gagasan yang mengakui kemajemukan realitas. Ia mendorong setiap
orang untuk menyadari dan mengenal keberagaman di segala bidang kehidupan,
seperti agama, sosial, budaya, sistem politik, etnisitas, tradisi lokal, dan
sebagainya. Gagasan yang dimaksudkan adalah dalam rangkan mencipatakan
kesepahaman, toleransi dengan tujuan membentuk masyarakat dalam memajukan lingkungannya.
plural yang produktif. Ada kenyamanan, ketentraman, keadilan dan kemerdekaan
yang setara, sehingga secara tidak langsung mereka secara
bersamaanmenjadi masyarakat yang kokoh. Sejatinya
pluralisme bukanlah paham yang secara tiba-tiba muncul dari ruang hampa, akan
tetapi disitu terdapat penghubung yang kokoh antara diskursus sekularisme,
liberalisme yang kemudian lahirlah pluralisme. Sekularisme muncul sebagai
dampak dari perselingkuhan antara agama dan Negara yang melumpuhkan kondisi
keadilan sehingga kemudian lahirlah ketidak percayaan publik yang kemudian
berujung adanya sekularisme. Liberalisme lahir dari keterkungkungan oleh satu
doktrin yang kurang fair sehingga ada kelompok tertentu tertindas, seperti
halnya contoh mencuatnya teologi eklusifisme di tubuh agama-agama di atas. Dari
kemandegan tesebut maka kemudian lahirlah ide liberalism yang kemudian
merekomendasikan adanya ruang kemerdekaan dalam memeluk agama. Secara tidak
langsung kemudian dari leiberalisme tersebut memunculkan kelompok-kelompok
agama dan pada akhirnya mengharuskan adanya pluralisme sebagai satu
pengharrgaan terhadap pluralitas yang ada.
Pluralisme
agama juga bisa diartikan sebagai upaya saling mengenal antar agama yang satu
dengan agama yang lainnya. Disitu kemudian terjadi perluasan wawasan dengan
tidak bermaksud mendiskreditkan. Ada penghargaan terhadap perbedaan, bukan
mencemooh perbedaan tersebut. Bahkan pada kondisi tertentu menempatkan
perbedaan tersebut sebagai nilai kebenaran bentuk lain daripada apa yang
dinytakan dalam agama. Di sisi lain pluralisme bisa dikatakan sebagai etika
global yang didasarkan pada penderitaan manusia akibat adanya kelesuan moral,
sehingga dengan pulralisme tersebut akan tercapai kesejahteraan manusia dan
lingkungannya.
Pengertian
pluralisme dalam konteks kontemporer bisa dinyatakan sebagai keterlibatan aktif
dalam keragaman dan perbedaannya untuk membangun peradaban bersama. Menurut
Nurcholis Madjid pluralisme itu tidak sekadar mengakui pluralitas keragaman dan
perbedaan akan tetapi gerakan yang aktif merangkai keragaman tersebut untuk
tujuan-tujuan sosial yang luhur yaitu untuk kebersamaan dan peradaban.
B. Aliran
dalam pluralisme
1. Aliran
Global Theologi
Bagi
aliran pertama yang diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah
karena tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama di era
globalisasi ini maka hubungan globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam
sosiologi agama. Tentang hubungan antara agama dan globalisasi bisa dibaca
dariReligion and Globalization, karya Peter Bayer, Islam,
Globalization and Postmodernity, karya Akbar S Ahmed dan H. Donnan, The
Changing Face of Religion, karya James A Beckford dan Thomas Luckmann
atau Religion and Global Order, oleh Ronald Robertson dan WR. Garet.
Bagi aliran pertama agama dianggap sebagai kendala bagi program globalisasi.
Oleh sebab itu menurut Walters globalisasi dan kapitalisme digunakan untuk
mengurangi atau bahkan menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber
kekuasaan lainnya. (lihat Walters, Globalization (London:Routledge, 1995,
hl 36). Cara yang ditempuh dalam program globalisasi ini adalah dengan
mendorong semua pihak agar menjadi terbuka dan bebas menerima berbagai ideologi
dan nilai-nilai sosial yang “dianggap” universal. Maraknya seminar
tentang global ethic, religious dialogue, inter-faith
dialogue yang diadakan oleh World Council of Religions dan lembaga
lain merupakan bagian dari program globalisasi. Organisasi non pemerintah
(NGO) di dunia ketiga yang bergerak dalam bidang ini pun mendapat kucuran dana
dengan mudah. Bukti bahwa Barat berkepentingan dengan paham ini dapat dilihat
dari tema yang diangkat jurnal The Muslim World, rintisan tokoh missionaries
Zwemmer volume 94 No.3, tahun 2004. Jurnal missionaris itu menurunkan
tema pluralisme agama dengan fokus dialog Islam Kristen.
Jika
globalisasi bukan merupakan program sudah tentu framework Barat tidak
akan dominan. Tapi kenyataannya standar universal yang harus diterima semua
agama dan semua bangsa dan peradaban itu berasal dari kebudayaan Barat.
Demokrasi, Hak Asasi Manusia, feminisme / gender, liberalisme dan sekularisme
adalah ideologi dan nilai-nilai asli Barat. Buktinya nilai moral dan etika yang
berkaitan dengan masalah seks yang diterima semua agama, misalnya, tidak
dijadikan nilai universal.
Program
globalisasi yang memarginalkan agama adalah murni pengalaman Barat. Di Barat
pergumulan pemikiran untuk menyeret agama agar akomodatif terhadap tuntutan
sosial lebih dominan ketimbang upaya menciptakan masyarakat religius. Dalam
sejarahnya Barat memang berhadapan dengan doktrin agama Kristen yang ekslusif,
dengan doktrinnya extra exxlesiam nulla salus (diluar gereja tidak
ada keselamatan) dan diluar Kristen tidak ada kesalamatan. Tapi karena tuntutan
social sangat kuat, maka doktrin itupun bergeser menjadi penerimaan semua yang
menyembah tuhan sebagai termasuk kedalam agama Kristen (inklusif). Doktrin
inkusif inipun akhirnya bergeser lagi menjadi pluralisme. Paham pluralisme
agama dalam merespon program globalisasi ini diusung oleh seorang penganut
Protestan bernama John Hick dengan teori teologi globalnya (global
theology). Sejalan dengan John Hick adalah Wilfred Cantwell Smith, pendiri
McGill Islamic Studies. Ia mengajukan teori teologi dunianya (world theology).
Keduanya membawa paham yang sama satu teologi untuk semua agama diseluruh
dunia.
Solusi
yang ditawarkan aliran ini berdasarkan motif sosiologis dengan konsep dunia
yang tanpa batas geografis kultural, ideologis, teologis, kepercayaan dan
lain-lain. Artinya identitas kultural, kepercayaan dan agama harus dilebur atau
disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok ini yakin bahwa agama-agama itu
berevolusi dan nanti akan saling mendekat yang pada akhirnya tidak akan ada
lagi identitas agama-agama apalagi perbedaan antara satu agama dengan lainnya.
Agama-agama itu kemudian akan melebur menjadi satu teologi yang disebut teologi
global (global theology).
Tokoh-tokoh
lain dapat dilihat dari karya Hick berjudul Problems of Religious
Pluralism. Pada halaman dedikasi buku ini John Hick menulis yang
terjemahannya begini: “Kepada kawan-kawan yang merupakan nabi-nabi pluralisme
agama dalam berbagai tradisi mereka: Masau Abe dalam agama Buddha, Hasan Askari
dalam Islam, Ramchandra Gandhi dalam agama Hindu, Kushdeva Singh dalam agama
Sikh, Wilfred Cantwell Smith dalam agama Kristen dan Leo Trepp dalam agama
Yahudi.
2. Aliran
Transenden
Berbeda
dari motif aliran pertama yang diwarnai pendekatan sosiologis, motif aliran
kedua yang didominasi oleh pendekatan filosofis dan teologis Barat justru
kebalikan dari motif aliran pertama. Kalangan filosof dan teolog justru menolak
arus modernisasi dan globalisasi yang cenderung mengetepikan agama itu dengan
berusaha mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama-agama itu. Yang
pertama memakai pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua memakai pendekatan
religious filosofis.
Solusi
yang ditawarkan oleh aliran kedua adalah pendekatan religious filosofis
dan membela eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama tidak bisa di rubah
begitu saja dengan mengikuti zaman globalisasi, zaman modern ataupun
post-modern yang telah meminggirkan agama itu. Agama tidak bisa dilihat hanya
dari perspektif sosilogis ataupun histories dan tidak pula dihilangkan
identitasnya. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional dan
mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama.
Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep sophia
perrenis yang diterjemahkan kedalam bahasa Hindu menjadiSanata
Dharma atau kedalam bahasa Arab menjadi al-Íikmah
al-khÉlidah. Konsep ini mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama
terdapat tradisi-tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil,
tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Agama bagi
aliran ini adalah bagaikan “jalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama”
(“all paths lead to the same summit). Aliran kedua ini mengusung ide kesatuan
transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Penggagas awalnya
Fritjhof Schuon yang diilhami oleh Rene Guenon.
Schuon yang
dikabarkan masuk Islam itu mempunyai pengikut fanatik dari cendekiawan Muslim
asal Iran yaitu Seyyed Hossein Nasr. Beliaulah yang menterjemahkan
istilah philosophia perrenis itu menjadi al-Íikmah
al-khÉlidah. Jadi Guenon, Schuon dan Nasr mendukung paham kesatuan
transenden agama-agama. Pendekatan yang diambil aliran ini berasal dari
pengalaman spiritual dari tradisi mistik yang terdapat dalam tradisi agama-agama.
Dalam kasus Islam mereka mengambil pengalaman spiritual dari tradisi sufi.
Artinya mereka mengklaim bahwa para sufi itu pluralis
Tokoh
pencetus dan pendukung paham ini adalah René Guénon (m. 1951), T. S. Eliot (m.
1965), Titus Burckhardt (m. 1984), Fritjhof Schuon (m.1998), Ananda
K. Coomaraswamy (m. 1947), Martin Ling, Seyyed Hossein Nasr, Huston Smith,
Louis Massignon, Marco Pallis (m. 1989), Henry Corbin, Jean-Louis Michon, Jean
Cantein, Victor Danner, Joseph E. Brown, William Stoddart, Lord Northbourne,
Gai Eaton, W. N. Perry, G. Durand, E. F. Schumacher, J. Needleman, William C.
Chittick dan lain-lain.
C. Perkembangan
pluralisme di Indonesia
Pluralisme
pada perkembangannya menjadi suatu wacana yang cukup ramai dibicarakan,
terutama pasca reformasi. Keramaian itu semakin menguat semenjak MUI memutuskan
fatwanya yang mengharamkan terhadap sekularisme, liberalisme dan pluralisme
pada tahun 2005. Kemudian yang paling menarik untuk diperhatikan pasca
keluarnya fatwa tersebut adalah semaraknya respon publik yang diwakili oleh
sejumlah LSM Islam yang dengan antusias menyuarakan tiga isu tersebut, bahkan
selama kurun lima tahun sejak pengharaman tersebut, tiga isu besar tersebut
semakin menemukan performanya yang semakin matang.
Selain
respon dari sejumlah LSM dua arus besar Islam di Indonesia yaitu Muhammadiyah
dan NU juga ikut meramaikan wacana tersebut. Kelompok muslim lain seperti
Persatuan Islam (PERSIS), Nahdatul Wathan di NTB, Darul Dakwah wa Irsyad (DDI)
di Sulawesi, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI) serta
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) juga memainkan perannya dalam merespon tiga
wacana tersebut. Ditenga-tengah tempratur terbukanya demokrasi, masing-masing
kelompok tersebut mempunyai hak yang sama dalam mengungkapkan pendapatnya,
sebagian ada yang bersikukuh menolak, sebagian yang lain dengan penuh
kemantapan menerima pluralisme sebagai sebuah keniscayaan.
Jika dilihat
lebih dekat dua mainstream NU dan Muhammadiyah telah banyak lahir dari rahim
keduanya komonitas-komonitas Islam yang begitu gigih mengangkat isu pluralisme,
sehingga pada sisi yang lain kedua mainstream tersebut dipercaya sebagai sisi
Islam yang cukup moderat yang mampu meredam radikalisme dan militanisme Islam
yang biasanya lahir dari kubu-kubu yang menamakan dirinya sebagai Islam
puritan. Gerakan tradisional diwakili oleh NU sementara gerakan Islam modernis
diwakili Muhammadiyah. Abdurrahman Wahid dan Masdar F. Mas’ud dua tokoh
representaif yang lahir dri NU telah memainkan perannya dalam mengapresiasi
pularlisme. Bahkan Gusdur pada suatu mement dinobatkan sebagai bapak
pluralisme.
Sementara
Muhammadiyah yang sejak awal merepresentasikan dirinya sebagai gerakan Islam
modernis tentu secara otomatis akan menerima pluralisme sebagai keniscayaan.
Ahmad Dahlan misalnya sebagai pendiri Muhammadiyah mempunyai wawasan ke depan
yang cukup progresif yang di dalamnya tertampung pluralisme sebagai suatu
keharusan. Hal itu tercermin dari sikap riil KH. Ahmad Dahlan yang mempunyai
banyak kolega dari non muslim. Cerminan tersebut mengindikasikan bahwa
Muhammadiyah sejatinya secara ideology telah menganut ideology inklusif dan
plural. Syafi’I Ma’arif menjadi cerminan fundamental adanya penerimaan terhdap
pluralism dalam tubuh Muhammadiyah.
Akan tetapi jika dibandinkan dengan NU, isu pulralisme dan sikap progresif yang dikembangkan di Muhammadiyah bisa terbilang tertinggal. NU sudah sejak tahun 1980-an sedangkan fenomena yang demikian dalam Muhammadiyah baru muncul pada paroh akhir tahun 1990-an. Ketertinggalan Muhammadiyah dalam menangkap keniscayaan tersebut menjadikan Muhammadiyah sedikit lebih tertutup mengingat sebagian massanya terjebak pada gerakan-gerakan ektrem yang menghendaki ideologi ekslusif yang pada akhirnya memunculkan gerakan puritanisme. Walau demikian di tubuh NU sendiri juga mengemukan sub kelompok yang juga cukup tetutup dalam menerima pluralisme.
Akan tetapi jika dibandinkan dengan NU, isu pulralisme dan sikap progresif yang dikembangkan di Muhammadiyah bisa terbilang tertinggal. NU sudah sejak tahun 1980-an sedangkan fenomena yang demikian dalam Muhammadiyah baru muncul pada paroh akhir tahun 1990-an. Ketertinggalan Muhammadiyah dalam menangkap keniscayaan tersebut menjadikan Muhammadiyah sedikit lebih tertutup mengingat sebagian massanya terjebak pada gerakan-gerakan ektrem yang menghendaki ideologi ekslusif yang pada akhirnya memunculkan gerakan puritanisme. Walau demikian di tubuh NU sendiri juga mengemukan sub kelompok yang juga cukup tetutup dalam menerima pluralisme.
Secara
konkret Muhammadiyah dan NU benar-benar telah menelorkan pengarusutamaan
(mainstreaming) ide-ide sekularalisme,liberalism dan pluralisme dalam beberapa
kajian yang berafaliasi pada keudanya. Islam Liberal lewat artikel menggugahnya
Ulil Absar Abdalla yang dipublikasikan di Kompas pada tahun 2002 membuka
diskursus baru tentang tiga isu tersebut. Kelompok ini merupakan representasi
dari kubu NU,kemudian sejumlah LSM lainnya seperti Perhimpunan Pengembangan
Pesantren dan Masyarakat (P3M), The Wahid Institute (TWI) dan Lembaga Kajian
Islam dan Masyarakat (LKiS) menjadi agen dari mainstreaming yang bekembang
dalam NU. Sementara kajian-kajian yang merepesntasikan dari kubu Muhammadiyah
seperti, Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Yayasan Paramadina,
Internasional Center for Islam and Pluralism (ICIP), Ma’arif Institute dan
JIMM. Sejumlah kajian itulah yang kemudian menjadi media penghantar dari
ide-ide teoritis untuk
kemudian ditansmisikan pada dunia riil. Sejumlah tokoh
Muhammadiyah yang bisa dibilang cukup kuat dalam menyuarakan ide pluralisme
pada tngkat kajian-kajian tersebut dan dunia intlektual adalah, Ahmad Syafii
Maarif,M Dawam Raharjo,Moeslim Abdurrahman, M. Amin Abdullah dan Abdul Munir
Mulkhan. Merekalah para tokoh senior yang juga secara fisik terlibat dalam
pengkaderan pemikir muda Muhammadiyah saat ini.
Selain
dua ormas besar itu mainstreaming juga di dapati pada dunia kampus. UIN Jakarta
dan UN Yogyakarta dua kampus yang representative secara aktif terlibat dalam
menyuarakan tiga isu tesebut. Tokoh-tokoh yang terlibat di UIN Jakarta ada
Harun Nasution yang mampu memberikan pandangan pulralisnya lewat teks bukunya
denga judul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya yang didalamnya terdapat
pemahaman Islam secara komprehensif. Disusul kemudia oleh Komaruddin Hidayat,
Azyumardi Azra yang menginginkan agar UIN tidak lagi hanya bersifat fiqih
oriented tetapi harus dikembangkan pada wawasan keilsman yang lain menyagkut
kemodernan, ilmu pengetahuan dan kebangsaan. Sementara di Yogyakarata ada Mukti
Ali dan Amin Abdullah yang dalam segmen wawancara di Kompas edisi 7 Oktober
2008 menyatkan bahwa UIN Sunan Kalijaga mendukung pluralisme.
Data-data
di atas menunjukkan bahwa isu pluralisme dalam perkembangannya memang
telah diamini oleh dua ormas tebesar di Indonesia sekaligus juga didukung
secara akdemis oleh dunia intelektual yang diwakili oleh dua Univesitas Islam
Negeri Jakarta dan Yoyakarta yang sudah secara aktif ikut andil dalam laju
perjalanan pulralisme di Indonesia.
D. Agama
dan Pluralisme
Al-
Quran sebagai wahyu Allah dalam pandangan dan keyakinan umat islam adalah
sumber kebenaran dan mutlak benarnya. Meskipun demikian, kebenaran mutlak itu
tidak akan nampak manakala al- quran tidak berinteraksi dengan realitas sosial,
atau menurut quraisy shihab,[1]
dibumikan: dibaca, dipahami, dan diamalkan. Ketika kebenaran mutlak itu
disikapi oleh para pemeluknya dengan latarbelakang kultural atau tingkat
pengetahuan yang berbeda, akan muncul kebenaran-kebenaran parsial. Sehingga
kebenaran yang diperoleh manusia menjadi relatif, sedangkan kebenaran mutlak
tetap milik Tuhan. Untuk menggambarkan ini pada hal-hal tertentu, misalnya
kebenaran agama nahdhatul ulama (NU), tidak berarti diterima pula, sebagai
kebenaran agama muhammadiyah, begitu pula sebaliknya. Yang jelas-jelas
dipandang sebagai tidak benar adalah ketika yang satu menyalahnkan yang lain,
atau saling menyalahkan tanpa argumen yang akurat. Inilah yang diingatkan Allah
(QS.49:12) ketika melarang orang-orang yang beriman berprasangka, sebab
sebagaian prasangka adalah dosa. Demikian pula sebaliknya, menganggap diri
paling benar juga tidak diperkenankan (QS. 53:32). Dengan sikap yang
seperti itu, tidak berarti kita harus berdiam diri terhadap kemungkinan
kesalahan orang lain atau lingkungan disekitar. Umat islam harus bersikap
kritis dan melakukan koreksi terhadap segala bentuk patologi sosial. Dalam
doktrin islam sikap korektif ini disebut amar ma’ruf nahi munkar.
Al- qur’an (QS.
2:148) mengakui masyarakat terdiri atas berbagai macam komunitas yang memiliki
orientasi kehidupan se3ndiri-sendiri. Manusia harus menerima kenyataan
keragaman budaya dan agama serta memberikan toleransi kepada masing-masing
komunitas dalam menjalankan ibadahnya. Oleh karena itu kecurigaan tentang sifat
islam yang anti plural, sangatlah tidak beralasan dari segi ideologis. Bila
setiap muslim memahami secara mendalam etilka pluralitas yang terdapat pada
al-qur’an, tidak perlu lagi adanya ketegangan, permusuhan, dan konflik dengan
agama-agama lain, selama mereka tidak saing memaksakan .Sebagai ideologi dan
gerakan politik, pluralisme pernah diteladankan oleh Rasulullah SAW kepada
umar dan diteruskan kepada para khalifah. Bukti-bukti empiris pluralisme islam
terjadi dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik yang konkrit di andalusia,
spanyol, pada masa pemerintahan umawi. Sejarah mencatat bahwa kedatangan islam
di spanyol telah mengakhiri politk monoreligi secara paksa oleh penguasa
sebelumnya. Pemerintah islam yang kemudian berkuasa selama 500 Tahun telah
menciptakan masyarakat spanyol yang pluralistik, sebab para pemeluk tiga agama
yakni islam, kristen, dan yahudi dapat hidup saling berdampingan dan rukun.
Mereka menghadapi eksistensi kebudayaan lain di luar islam, seperti kristen dan
yahudi.
Dalam hal
ini Max Dimont berpendapat bahwa era pemerintahan khalifah umawi di spanyol
dipandang sebagai rahmat yang mengakhiri zaman kedhzaliman penguasa yang
dominatif.[2]
Demikian juga, ketika Rasulullah SAW berada di madina. Apa yang diajarkan nabi
Muhammad SAW bukanlah upaya melegetimasi agama resmi negara saat itu, dan bukan
pula alat pemaksa agar orang-orang memeluk islam seluruhnya. Dengan mengikuti
prinsip universal keadilan ilahi saja, kita ketahui bersama bahwa perbedaan
latarbelakang pendidikan, lingkunagna sosial budaya, dan kesempatan seseorang,
meniscayakan diferensiasi penerimaan konsep tentang tuhan dan agama.
Murthadah
Mutahari melihat bahwa selama memerintah di madina, Rasulullah SAW tidak pernah
memaksakan masyarakat non muslim untuk mengikuti agama penguasa bahkan,
melalui perjanjian diantara semua penduduk madinah ditetapkan dasar-dasar
toleransi demi terwujudnya perdamaian dan kerukunan. Salah satu isi perjanjian
dengan kaum yahudi menyebutkan: “ orang yahudi yang turut dalam perjanjian
dengan kami berhak memperoleh pertolongan dan perlindungan, tidak akan
diberlakukan dzalim. Agama yahudi bagi orang-orang yahudi dan agama islam
bagi orang-orang islam. Jika ada diantara mereka berbuat dzalim, itu hanya akan
menecelakakan dirinya dan keluarganya.[3]
Dalam al- qur’an, ada ayat terkenal: “ bagimu agamamu. Bagiku agamaku”
(QS. 109:6). Dengan demikian, agama digunakan Rasulullah Saw sebagai sumber
utama kekuatan moral (moral force). Perilaku yang murni yang religius lebih
diinginkan daripada formalisasi agam.
Melihat
fakta historis itu, Nur Kholis Majid berpendapat bahwa sistem nilai plural
adalah sebuah aturan tuhan (sunnatullah) yang tidak pernah berubah, diubah,
melawan dan di ingkari. Barang siapa yang mencoba mengingkari hukum kemajemukan
budaya, maka akan timbul fenomena pergolakan yang tidak berkesudahan. Boleh
dikatakan bahwa memahami pluralitas agama dan budaya merupakan bagian dari
memahami agama. Sebab, memahami agama pada dasarnya juga memahami kebudayaan
masyarakat secara menyeluruh. Dan, jika agama dipahami secara integral dan
dengan kondisi sosial kulturalnya, pada saat itu pula akan nampak dengan
sendirnya mana aspek budaya yang selaras dengan misi agama dan mana yang tidak.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pluralitas dalam konteks Indonesia
merupakan keniscayaan sejak lahirnya bangsa ini. Catatan sejarah sejak pra
terbentuknya bangsa ini memang telah banya disinggahi berbagai macam peradaban.
Memberengus serta mengabaikan kemajemukan adalah kebrutalan yang menghantarkan
pada disintegrasi bangsa. Dukungan secara hukum lewat undang-undang yang
tersurat dalam tubuh bangsa ini serta tumpukan sejarah bangsa ini setidaknya
menjadi pijakan utama dalam merumuskan eksistensi agama di lingkungan negeri
ini. Islam sebagai bagian dari bangsa ini sudah selayaknya menjadi pelopor
mengingat kondisi politk dan massa yang cukup dominan. Keangkuhan paham
fanatisme buta perlu dihilangkan kemudian mengambil pluralisme dengan
melibatkan rasa kemanusiaan dan kebangsaan.
Melanjutkan
proyek mulia tesebut, ormas-ormas Islam dan dunia akademik Islam agar terus
menopang gelaran pluralisme agama tersebut guna membangun kerjasama yang
produktif dalam rangka membangun peradaban yang maju. Kini saatnya berubah,
demi orentasi mulia menatap kesetaraan umat beragama serta masa depan bangsa
yang cemerlang
[1] Lihat
membumikan Al- Qur’an, Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, Mizan,
Bandung, 1997
[2] A. Munir
Mulkhan, salah satu tulisannya termuat dalam buku atas nama agama, Pustaka
Hidayah, Bnadung, 1998, hlm. 65.
[3] Hamid Al-
Husaeni, Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad Saw, yayasan al-
hamidy, Jakarta, 1992, hlm. 447.
apikk
BalasHapus