BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Agama adalah sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.[1]
Mengetahui lebih lanjut tentang agama agama dunia, salah satunya yaitu
agama yang berasal dari india, sementara penduduk di india sendiri juga
memiliki perbedaan kepercayaan, seperti pemeluk agama hindu, agama budha, agama
jainisme, dll.
Dalam makalah ini hanya dibatasi untuk agama jainisme saja, yang mencakup
didalamnya. Banyak diantaranya membahas mengenai ajaran agama, kapan agama
jainisme lahir, singkatnya agama jainisme atau juga disebut kaum jain ini
terlahir di india dengan Vardhamana sebagai panutannya.
2.
Tujuan
Tujuan penulis membuat makalah
berjudul “AGAMA JAIN”
adalah:
Ø Memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai bagaimana sejarah dan ajaran-ajaran Agama
Jain.
Ø Sebagai pemenuhan terhadap tugas
makalah mingguan yang dibutuhkan sebagai syarat
untuk menyelesaikan matakuliah Agama Minor.
Ø Memberikan wawasan yang lebih
dalam mengenai Agama-Agama Minor kepada kami dan Mahasiswa yang lainnya
Ø
3.
METODE
Metode yang digunakan penulis dalam
mengumpulkan data penulisan makalah ini adalah metode studi pustaka dari buku
referensi yang terkait dan data dari internet.
4.
SISTEMATIKA PENULISAN
Peulisan makalah ini terdiri dari 3 bab. Bab
pertama yaitu pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan, metode, dan
sistematika penulisan. Sedangkan bab kedua yaitu pembahasan yang terdiri dari Sejarah dan
Perkembangan Agama Jain, Ajaran dan Praktek Kegamaannya. Bab terakhir yaitu bab penutup
yang berisi kesimpulan dari isi makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah dan
Perkembangan Agama Jain
Jain bermakna penaklukan. Dimaksud penaklukan kodrat-kodrat
syahwati di dalam tata hidup manusiawi.[2]
Salah satu filsuf berkata “ Jain adalah gerakan rasionalisme yang bebas dari
kekuasaan Weda kitab suci umat Hindu dan terbentuk dari karakter umum
masyarakat Hindu. Paham ini terbentuk karena rasa takut terhadap reinkarnasi
dan pelarian dari kesialan hidup. Berawal dari asketisisme dalam hidup karena
khawatir bahaya mengancam. Jainisme berpegang pada latihan rohani yang
melelahkan dan kontrol yang sulit. Poinnya adalah tidak peduli pada kenikmatan
dan penderitaan. Caranya dengan menjalani hidup dalam kesengsaraan dan
kekerasan. Selain itu, dengan menjadi seorang rahib (pendeta) tetapi bukan
Brahma.[3]
Jain muncul sebagai reaksi atas sikap eksrem hindu dalam hal
diskriminasi lapisan sosial (kasta). Akibat sebagian ajaran hindu, masyarakat
digeser kedalam medan konflik antarlapisan sosial. Mereka terjebak diantara api
kedengkian dan kebencian. Jainisme menyangkal sebagian ajaran hindu, terutama
dalam hal kasta yang dinilai berbahaya bagi masyarakat. Seruan baru ini
mendapat dukungan penuh dari banyak pihak. Namun, meski sikap jainisme tanpa
seperti gerakan reformasi, pengaruhnya tidak banyak menyentu masyarakat.
Mayoritas penduduk India masih berpegang pada doktrin hindu. Jumlah pengikut
jainismepun terbilang sedikit yang menurut perkiraan hanya berjumlah sejuta
orang.[4]
Dialah Vadharmana, orang pertama yang mendirikan jainisme. Umat
Jain biasa memanggilnya Mahavira (599-527 SM). Mahavira lahir dari keturunan
golongan Ksatria yang memegang kendali politik dan ketentaraan. Mahavira
dibesarkan dirumahnya yang penuh dengan kebesaran, di tengah-tengah kemewahan
dan kesenangan. Keluarganya tinggal di Pisarah berdekatan dengan sebuah Bandar
yang sekarang dinamakan Patna di wilayah Bihar. Bapaknya, Sidartha adalah
seorang anggota ketentaraan. Sidartha telah menikah dengan anak perempuan ketua
mejelis Tris Sala.
Kedudukan Sidartha menjadi
semakin tinggi hingga sebagian riwayat menyifatkannya sebgai Amir Bandar atau
Rajanya. Mahavira adalah anak laki-laki yang kedua. Rumah ayahnya dijadikan
tempat tujuan para pemuka agama dan para ahli ibadah. Sebab, di tempat itu
mereka menemukan jamuan paling enak dan penyambutan yang hangat.
Mahavira mulai senang mendengarkan cerita dan perbincangan mereka. Dia berharap bisa bergabung dengan mereka, tetapi kedua orang tuanya melarang. Mahavira pun mengubur harapannya itu karena mengetahui orang tuanya sangat menentag kerahiban. Setelah sang ayah meninggal dan kekuasaan kota diserahkan kepada kakaknya, mahavira meminta izin sang kakak agar merestui dirinya menapaki jalan kerahiban. Sang kakak pun mengizinkan. Setelah itu, Mahavira mulai melepas pakaian mewahnya dan menggantinya dengan pakaian orang-orang ahli badah dan pakaian pendeta.
Keesokan harinya, mahavira melintasi semua bagian kota sambil
merenung dan berfikir. Dia mulai mengurangi makanan dan minuman serta hidup
dari pemberian orang. Setelah menjalani masa kerahiban selama 13 bulan, dia melepas seluruh
pakaiannya dan berjalan telanjang tanpa sehelai kain pun. Hal tersebut
dilakukannya karena telah mencapai tahap kecerahan spiritual. Dia tak lagi
memiliki rasa malu, sakit, senang, ataupun gembira.
Mahavira terus menjalani pelatihan nafsu dan rohani selama 12 tahun hingga menjadi sebagaimana yang diucapkan para penikutnya—seseorang yang tidak lagi peduli akan rintangan seberat apapun. Setelah sampai pada tingkat tersebut, mahavira lantas beranjak ke tingkat selanjutnya: mengajak manusia untuk mengikuti ajaran dan madzhabnya. Beruntung, masyarakat menyambut seruannya karena waktu itu mereka resah dengan paham Hindu yang berlebihan.
Kemudian, mahavira mengajak keluarga, kerabatnya, serta penduduk
kota. Mereka pun memenuhi seruannya tersebut. Dia terus menyeru masyarakat
hingga umurnya genap 72 tahun. Selepas itu, dia singgah di kota Penaporedi
wilayah Patna. Mahavira memberikan 55 khotbah kepada masyarakat dan menjawab 36
pertanyaan yang tidak ditanya. Setelah itu, mahavira menghembuskan nafas
terakhirnya pada tahun 527 SM. [5]
B. Ajaran dan Praktek Kegamaannya
Jainisme tidak lain adalah gerakan revolusioner terhadap sebagian ajaran Hindu yang pengaruhnya meresahkan masyarakat. Sistem kasta telah menciptakan benih permusuhan dan kebencian antar-golongan. Jiwa masyarakat yang tadinya bersatu, diguncang dengan kedenkian satu sama lain karena system pelapisan social yang ekstrem tersebut.
Ketika system kasta tersebut, menurut keyakinan Hindu dianggap sebagai kehendak dewa, mahavira menentangnya. Akibat penentangannya itu, Jainisme dianggap sebagai aliran atheis. Dari sini terjadilah kekosongan besar pada agama Jain karena sikap mahavira tidak mengakui dewa, padahal pengakuannya tersebut bisa menyempurnakan aliran baru yang diserukan itu. Hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan pengikut mahavira dan aliran Jainisme mengambil 24 dewa sebagai tuhan mereka.
Para pengikut Jain berpendapat bahwa Agama Jain adalah suatu mazhab yang amat lama dan telah cukup sempurna tatkala berada pada tangan Jain yang ke 24. Jain yang pertama namanya RASABHA, lahir sejak zaman purbakala dan sejarah tidak menyebutkan sesuatu tentangnya, hanya sebagian kisah dongen saja yang menghubungkannya. Setelah itu timbullah Jain-Jain yang lain, seorang demi seorang, hingga lahir dua orang Jain terakhir dalam tingkat zaman sejarah. Yang pertama adalah Jain yang ke 23 namanya PARSUANATH yang dilahirkan pada abad ke 9 SM dan mati pada abad ke 8 SM.[6] Dia telah mendirikan suatu lembaga ketuhanan yang dikaitkan dengan keperluan latihan-latihan yang berat. Dia membagi pengikutnya menjadi dua bagian, yaitu golongan khusus dan golongan umum.
Lahirlah Mahavira dan dialah Jain yang ke 24. Dia menganut prinsip-prinsip Parsunath dan menambahkan lagi dengan pikiran-pikiran, pengalaman, dan ilhamnya. Kedudukan Mahavira menjadi tinggi dan aliran ini terkenal dengan namanya serta lembaga tersebut dikenal dengan gelarnya. Agama jain dikenal kecuali berpadu dengan namanya.
Diantara kepercayaan Jainisme adalah tidak mengakui system kasta.
Kala itu, setiap orang berusaha untuk terbebas dari kasta yang kemungkinan
kecil hanya didapat dengan bekerja. Pada sisi lain, Jainisme melihat bahwa
kemampuan manusia tentu berbeda dalam menanggung dan menjalankan ajarannya.
Karena itu, mereka membagi manusia menjadi dua golongan sesuai kemampuan:
golongan khusus dan golongan umum(awam).
Golongan khusus adalah pendeta-pendeta, orang-orang pertapa yang mengamalkan latihan-latihan berat dan pengharaman diri serta meninggalkan keluarga dan rumah karena menjelajahi negara-negara, kota-kota, dan kampung-kampung. Golongan ini adalah tulang punggung lembaga tersebut. Demi mendapatkan keselamatan sejati. Sehingga mereka rela berjalan keliling kota dengan tubuh telanjang, tanpa busana apapun dan alas kaki serta menderita, sakit, lapar, hina dan miskin.
Sementara golongan umum adalah mereka yang mengambil jalan yang dilalui oleh orang-orang khusus tadi. Mereka tidak melakukan latihan yang berat dan melelahkan, tetapi mereka berkewajiban menyanggupi semua ajaran Jainisme, seperti menjaga para arwah meski itu arwah seekor serangga sekalipun. Mereka beretika dengan akhlak dan perilaku orang-orang Jain dan harus bersedekah kepada para pedeta. Salah satu kepercayaan Jain yang sesuai dan sama dengan Hinduisme adalah pendapat tentang reinkarnasi dan adanya kelahiran berulang pada orang yang sama.[7]
Pokok ajaran agama jainisme Mahavira mengajarkan bahwa kebebasan itu terpendam di dalam diri manusia
sendiri. Yaitu :
1.
Kebebasan dari Karma
maksudnya adalah yakni sebab-akibat dari
tindak laku manusiawi. Dan kaum jain menganggap bahwa setiap orang terikat
dengan karma, atas perbuatan jahat yang dilakukan setiap manusia, berbeda
dengan agama hindi dan budha yang menganggap bahwa karma itu ada karma baik dan
karma buruk, yaitu apabial seseorang meloki perbuatan baik maka ia akan
mendapatkan karma yang baik dan sebaliknya. Sedangkan kaum jain, kaum jain
hanya memiliki satu karma saja yitu hanya karma buruk saja.
2.
Kebebasan dari samsara
maksudnya adalah hidup berulang kali kedunia yang semua itu merupakan denta. Kebebasan
itu bukan dengan mempersembahkan korban sesewaktu, dan bukan pula dengan
mempersembahkan sesajen didepan berhala.[8]
v Kaum jain juga memiliki prinsip- prinsip, yaitu diantaranya :
a. Ahimsa yaitu
melakukan tindakan yang merugikan mahluk hidup lainnya, seperti membunuh
binatang, tumbuhan dll. Memang kalau dipikir dengan logika, kita tidak
akan pernah bisa untuk tidak melakukan yang seperti itu, karena apabila kita
tidak memanfaatkan seperti tumbuhan dan binatang sebagai kebutuhan menusia
seperti untuk makan misalnya, apa kita bisa makan dengan tidak menggunakan
pokok makan dari tumbuhan dan hewan, Lalu bagaimana orang jain menanggapi
tentang konsep ini? Lalu muncul jawaban memang tidak bisa dan, tapi semua
itu dapat diminimalisirkan seperti dengan berpuasa, ada satu prinsip bahwa
seseorang berpuasa sampai dia meninggal, dan orang seperti ini dianggap
telah mencapai kebebasan dimana dia telah berengkarnasi.
b. Satia yaitu kebenaran
berbicara yang bermaksud tidak berbohong kapada sesama mahluk, karena juga kita
ketahui bahwa berbohong adalah merugikan orang lain.
c. Asetya yaitu mencuri,
dengan sesama manusia dalam faham kaum jain dilarang untuk mencuri, sama
seperti pada hukum hukum yang ada bahwa muncuri merugikan orang lain.[9]
Mahavira menyimpulkan seluruh pokok ajarannya pada Tiga Ratna Jiwa
(The Three Jewels of Soul), yaitu :
1.
Pengetahuan
yang benar
2.
Kepercayaan
yang benar
3.
Tindakan
yang benar
Tindakan yang benar itu mestilah berazaskan Lima Sumpah Terbesar
(Five Great Vows),[10]
yaitu :
1.
Jangan
membunuh sesuatu yang hidup
2.
Jangan
mencuri
3.
Jangan
berdusta
4.
Jangan
hidup bejat
5.
Jangan
menghasratkan apapun
C.
Sekte di dalam Agama Jain
Sekitar tahun 310 SM. Terjadilah perpecahan paham dan pendirian dalam kalangan agama Jain itu, yakni lebih kurang 3 abad sepeninggalan Mahavira (599-527 SM). Perpecahan itu disebabkan musim paceklik di India utara. Sejumlah 12.000 orang dari jemaat Jain itu, di bawah pimpinan Bhadrabahu, melakukan perpindahan menuju belahan selatan India, berdiam dan menetap dalam wilayah Mysore. Dengan begitu jemaat Jain itu telah terpecah dua, yaitu belahan utara dan belahan selatan. Belahan utara itu beriklim dingin dan belahan selatan beriklim panas. Didalam wilayah yang beriklim panas itu pakaian tidaklah diperlukan. Sedangkan jemaat Jain bagian belahan utara lebih mengutamakan bertarak dan bertapa, yakni hidup secara asketik.
Sekitar tahun 82 M baharulah perpecahan itu menjadi resmi disebabkan masalah pakaian. Jemaat Jain yang mendiami wilayah pada belahan utara pegunungan Vindaya, yang bersuhu sejuk itu, selalu mengenakan pakain putih. Jemaat Jain itulah yang dipanggilkan dengan sekta Svetambara, yakni jemaat berpakain putih.
Tetapi jemaat Jain yang mendiami wilayah pada belahan selatan
pegunungan Vindhya itu, yang sepanjang tahun beriklim panas, tidak mengenakan
pakaian agak sehelai benangpun. Jemaat Jain itulah yang dipanggilkan dengan
sekta Digambara, yakni jemaat bertelanjang bugil bagaikan langit.
Masalah pakain itu lantas menjadi masalah keagamaan yang meruncing
sangat tajam antara kedua sekta. Sekta Digambara itu beralaskan sikap hidup
Mahavira di dalam pengembaraannya, yang tiada ambil mumet dan tiada ambil
perduli terhadap kebutuhan duniawi.
Tetapi semenjak abad ke 7 M, yakni semenjak anak benua India itu
berada di bawah kekuasaan Islam, demikian Robert E. Hume, Ph.D. di dalam
bukunya Wordl’s Living Religions edisi 1930 halaman 52, maka anggota jemaat Digambara itu mulai
dipaksakan mengenakan pakaian, setidak-tidaknya mengenakan cd.[11]
D.
Kitab Suci Agama Jain
Kitab suci di dalam agama Jain (Siddhanta) itu bermakna : pembahasan. Dan kitab suci Jain bisa disebut dengan nama Agamas yang bermakna : perintah, ajaran, dan bimbingan.[12]
Kitab suci Jain hanyalah sekumpulan 55 khotbah mahavra, beberapa
pidato dan wasiat yang berhubungan dengan para murid, pendeta, dan ahli ibadah
aliran tersebut. Warisan ini turun-temurun berpindah secara lisan yang baru
terkumpul pada abad ke-4. Pada waktu itu, para pemuka agama Jain berkumpul di
kota Paleopatra. Mereka berdiskusi perihal kodifikasi warisan mahavira tersebut
karena khawatir hilang dan tercampur dengan sesuatu yang lain. Mereka
mengumpulkan sebagian isi kitab dalam beberapa buku dan berselisih tentang
sebagian sumbernya. Namun, mereka belum berhasil menyatukan suara masyarakat
guna menyepakati rencana kodifikasi tersebut.
Oleh karena itu, penulisan undang-undang Jainisme ditunda sampai tahun 57 M. akhirnya, mereka membukukan sebagian naskah yang didapatkan setelah cukup banyak kehilangan warisan tersebut. Pada abad ke-5 M, mereka menyelenggarakan pertemuan lain di kota Welapehi yang menyepakati pendapat terakhir tentang warisan Jainisme yang mereka anggap suci. Kali pertama, buku tersebut ditulis dalam bahasa Ardaha Majdi,(bahasa kepustakaan sebelum masehi) kemudian ditulis dengan bahasa Sanskerta pada abad-abad Masehi. Selain itu orang Jain juga percaya dengan permata yakut yang tiga atau bisa disebut tiga ratna jiwa diantaranya yaitu,
1. Permata atau mutiara yang pertama adalah itikad yang sah, dialah puncak penyelamatan. Maksud mereka adalah percaya kepada para pemimpin Jain yang dua puluh empat itu. Itulah aturan yang dipuja dan jalan yang lurus. Itikad yang sah tidak ada kecuali setelah diri terlepas dari kotoran-kotoran dosa yang melekat padanya dan yang menghalangi sampainya ruh kepada itikad ini.
2. Permata
atau mutiara yang ke dua adalah ilmu yang benar, maksudnya adalah pengetahuan
mengenai alam dari kedua segi rohaninya dan kebendaan serta membedakan diantara
keduanya. Martabat pengetahuan ini berlainan menurut kekuatan penglihatan hati
dan kejernihan ruh. Seseorang yang memisahkan pengaruh dari kekuatan rohani
serta sinarnya dapat melihat alam dalam bentuk yang sebenarnya, segala hakikat
terbentang di depannya, tabir-tabir tebal tersingkap darinya yang
menyebabkannya dapat membedakan antara kebenaran dan kesalahan, antara sangkaan
dan keyakinan. Dia tidak diraguhkan oleh apapun . Ilmu pengetahuan yang benar
ada sesudah itikad yang sah.
3. Permata
atau mutiara yang ketiga adalah akhlak yang benar, maksudnya adalah bersifat
dengan akhlak Jain seperti melakukan kebaikan meninggalkan keburukan, tidak
membunuh, tidak berbohong, tidak melakukan pencurian, tidak melakukan
kecurangan dan berzuhud dengan barang-barang kepunyaan sendiri.
Ketiga mutiara ini saling berkaitan. Tatkala seorang manusia itu telah
sempurna maka dia mendapati suatu kenikmatan dan kebahagiaan yang tidak dapat
ditandingi oleh kenikmatan dan kebahagiaan manapun.
v Prinsip-prinsip Utama untuk Pembersihan Ruh
Parah pengikut Jain meletakan tujuh asas utama untuk membersihkan ruh. Asas-asa ini adalah dianggap puncak atau sumber prinsip-prinsip Agama Jain. Asas-asas ini adalah sebagai berikut.
1. Membuat pengakuan dan perjanjian kepada para pemimpin dan pendeta-pendeta bahwa hendaklah murid itu berbudi pekerti baik dan membuang segala kelakuan yang buruk.
2. Bertakwa,
yaitu hendaklah senantiasa berhati-hati ketika berbicara dan bekerja, dan pada
segala gerak-gerik dan juga waktu berdiam. Tidak menyakiti atau membahayakan
makhluk apapun yang hidup walau hina sekalipun.
3. Mengurangi
gerakan badan, bicara, berfikir tentang hal-hal dunia yang jasmani sehingga
masa dan napas-napas yang berharga tidak terbuang pada perkara-perkara yang
kecil.
4. Menghiasi
diri dengan sepuluh perkara yang menjadi puncak kebaikan dan jalan kesempurnaan,
yaitu pemaaf, benar, lurus, merendahkan diri, bersih, menahan nafsu, berhemat
lahir dan batin, berzuhud, meninggalkan perempuan, dan tidak mementingkan diri
sendiri.
5. Pemikiran
terhadap hakikat utama mengenai alam dan jiwa. Sebagian masalah alam dan masalah
jiwa dapat dicapai dengan panca indra yang bersifat kebendaan, dan sebagiannya
dapat dicapai dengan kaca mata akal.
6. Mengatasi
kesulitan hidup dan segala kedukaannya yang timbul dari gejala-gejala jasmani
atau kebendaan, seperti rasa lapar, dahaga, sejuk, panas, dan segala hawa nafsu
yang bersifat kebendaan itu. Haruslah dia menegakkan suatu tembok yang kukuh
disekelilingnya agar terlepas dari gejala-gejala dan panca indra dan dari
pengaruhnya.
7. Kepuasan
yang sempurna, ketenangan, budi pekerti yang baik, kebersihan lahir dan batin.[13]
Agama Jain beranggapan bahwa prinsip-prinsip ini melepaskan manusia
dari ikatan yang mengikatnya dengan kehidupan serta merampas ketegangan pikiran
dan hatinya. Seandainya seseorang bersifat dengan sifat-sifat yang tujuh ini
maka dia sikeluarkan dari kegelapan yang menyelubunginya disebabkan kedukaan
hidup di dunia.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Agama Jain adalah agama yang termasuk tidak mengakui adanya system
kasta. Sebab sistem kasta telah
menciptakan benih permusuhan dan kebencian antar golongan.
Dan orang Jain mempercayai ajaran itu Tiga Ratna Jiwa (The Three
Jewels of Soul), yaitu : Pengetahuan yang benar, Kepercayaan yang benar, Tindakan
yang benar. Sehingga mereka akan mendapatkan suatu kesempurnaan dalam hidup
serta dapat melawan kebebasan itu yang terpendam di dalam diri
manusia sendiri.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. Dr. Shalaby Ahmad, , Agama-Agama besar di India, PT Bumi Aksara Jakarta, 1998.
2.
Sou’yb,
Joesoep, agama-agama besar di dunia, PT Al- Husna Zikra, Jakarta, 1996.
4.
Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI).
5.
Abdullah
al-Maghlaut, bin Sam, Atlas Agama-agama.
[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI)
[2]
Joesoep sou’yb, agama-agama besar di dunia, penerbit pt. Al Husna Zikra, h. 128
[3] Sami bin Abdullah al-Maghlaut, Atlas
Agama-agama, h. 563
[4]
Ibid
[5]
Sami bin Abdullah al-Maghlaut, Atlas Agama-agama, h. 564
[6]
Prof. Dr. Ahmad Shalaby, Agama-Agama besar di India, Bumi Aksara. h. 96
[7]
Ibid
[8]
Joesoep sou’yb, agama-agama besar di dunia, penerbit pt. Al Husna Zikra, h.
133-134
[9] http://anharululum.blogspot.com/2011/04/mengetahui-sekilas-tentang-agama.htm
[10]
Joesoep sou’yb, agama-agama besar di dunia, penerbit pt. Al Husna Zikra, h.136
[11]
Joesoep sou’yb, agama-agama besar di dunia, penerbit pt. Al Husna Zikra, h.
140-141
[12]
Ibid
0 komentar:
Posting Komentar