About

STAIN KEDIRI

STAIN KEDIRI
USHULUDDIN

Kamis, 10 Desember 2015

ADA APA DI PESANTREN GONTOR ?


Pondok pesantren modern Gontor saat ini bukan hal yang asing di masyarakat Indonesia, bahkan sudah sangat populer. Bagaimana sistem pendidikan di Gontor, Hal ini sering dipertanyakan para orang tua yang berminat menyekolahkan putra putrinya ke Pondok Gontor. Tentu saja akan lebih baik jika orang tua dan anak sama-sama setuju untuk memilih Gontor sebagai tempat menuntut ilmu.
Dari awal didirikannya, memang menerapkan sistem Pesantren yang jelas akan bertumpu pada pendidikan agama. Keunggulannya Pondok Gontor disebut modern dengan mengikut sertakan segi budaya, sosial dan teknologi di era modern ini, bukan dalam negri saja, bahkan dunia dengan ajaran Islam sebagai pondasinya, hal inilah yang menyebabkan banyak orang yang menyukainya.
Pondok Modern Gontor bukan cuma terkenal karena kurikulumnya yang unik. Pondok pesantren ini juga terkenal karena telah melahirkan beberapa tokoh bangsa. Siapa yang tak kenal Ketua Umum Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi yang disebut-sebut sebagai representasi dari Muslim tradisional? Siapa yang tak tahu Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Din Syamsuddin yang dikategorikan sebagai representasi Muslim modernis, atau cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid, sosok yang direpresentasikan sebagai Muslim modernis-progresif, Habib Hirzin sebagai President di Forum on Peace, Human Security and Development Studies, Hamid Fahmi sebagai Ketua Majlis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia, aflatun mukhtar sebagai rektor iain palembang, amin abdullah pernah jd rektor uin dan lain sebagainya..
Ada juga Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sosial Hidayat Nur Wahid, Menteri Agama Maftuh Basyuni, Budayawan Emha Ainun Najib. Beragam karakter dan pemikiran itu telah menjadi tokoh dalam komunitasnya. Mereka diakui tidak saja karena pemikirannya, tetapi juga karena gaya atau karakter kepemimpinan mereka yang sangat kuat.
Tetapi, siapa sangka mereka yang sangat jauh berbeda baik dari sisi karakter apalagi pemikirannya itu disatukan oleh sebuah ikatan yang kuat. Mereka sama-sama pernah nyantri di Pondok Modern Darussalam Gontor, Desa Mlarak, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.Mereka sama-sama melalui proses pendidikan dan pembentukan pribadi dalam paradigma yang sama. Sama-sama pernah belajar Kitab Kuning (kitab klasik standar pesantren), ilmu umum kontemporer, dan menguasai bahasa Arab serta bahasa Inggris.
Herannya, kendati berbeda, tidak ada satu pun dari mereka yang mempermasalahkan perbedaan itu, apalagi merasa paling benar. Mereka pun tak pernah mencoba memperalat pondok untuk suatu kepentingan.
panggung gembira santri KMI kelas 6
"Karena itu, hingga detik ini Gontor tetap Gontor. Gontor tidak pernah jadi Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, ataupun Islam sekuler. Gontor juga tidak pernah masuk dalam partai mana pun," papar Wakil Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor KH Ahmad Hidayatullah Zarkasyi.
Apa sebenarnya yang diajarkan di Gontor? Kurikulum seperti apa yang digunakan, metode apa yang diterapkan? Secara akademis, ada dua jenjang pendidikan yang diselenggarakan di Pondok Gontor, yaitu jenjang pendidikan menengah dengan nama Kulliyatul-Mu’allimin al-Islamiyah (KMI) dan jenjang perguruan tinggi dengan nama Institut Studi Islam Darussalam (ISID).
Di jenjang pendidikan menengah selain ada KMI, juga ada pengasuhan santri yang membidangi kegiatan ekstrakurikuler dan kurikuler. Pengembangan sistem pengajaran KMI berlangsung independen, kurikulum disusun secara mandiri sesuai dengan program pondok.
Misalnya, materi keterampilan, kesenian, dan olahraga tidak masuk dalam kurikulum, tetapi menjadi aktivitas ekstrakurikuler agar santri lebih bebas memilih dan mengembangkan diri sesuai dengan bakat dan minat.
Pendidikan di Gontor dimulai pukul 05.00 saat salat subuh sampai pukul 22.00, yang terbagi dalam kegiatan pendidikan formal dari pukul 07.00 sampai 12.15 dan pengasuhan mulai pukul 13.00. Tiga pilar pendidikan, yakni sekolah (pendidikan formal), keluarga (santri dengan para guru dan pembimbing), serta masyarakat (lingkungan tempat mereka bermukim), dipenuhi seluruhnya dalam kehidupan pondok karena siswa juga menjadi santri yang menginap di pondok. Adapun guru, dosen, dan pengasuhnya adalah keluarga bagi santri.
Pendidikan formal yang diurus oleh KMI membagi siswanya dalam perjenjangan yang sudah diterapkan sejak tahun 1936. Ada dua program reguler dan intensif. Program reguler untuk lulusan sekolah dasar/ madrasah ibtidaiyah dengan masa belajar selama enam tahun ditempuh secara berurutan mulai kelas I-VI. Kelas I-III di KMI setingkat dengan pendidikan SMP/madrasah tsanawiyah (MTs) jika mengacu pada kurikulum nasional. Sementara kelas IV-VI setara dengan SMA/madrasah aliyah (MA).
Adapun program intensif di KMI untuk lulusan SMP/MTs ditempuh empat tahun. Kurikulum di KMI yang bersifat akademik dibagi beberapa bidang, yakni Bahasa Arab, Dirasah Islamiyah, Ilmu Keguruan dan Psikologi Pendidikan, Bahasa Inggris, Ilmu Pasti, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, dan Keindonesiaan/Kewarganegaraan. Komposisi kurikulum masing-masing sudah ditetapkan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Bahasa Arab dan bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa pergaulan dan bahasa pengantar pendidikan, kecuali mata pelajaran tertentu yang harus disampaikan dengan bahasa Indonesia. "Bahasa Arab dimaksudkan agar santri memiliki dasar kuat untuk belajar agama mengingat dasar-dasar hukum Islam ditulis dalam bahasa Arab. Bahasa Inggris merupakan alat untuk mempelajari pengetahuan umum," papar Ustadz Fadli, dosen di Pondok Gontor.
Sekarang Gontor menambah program pendidikan bahasa Mandarin sebagai bekal bagi siswanya kelak mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di China yang amat pesat.
Ilmu tanpa batas
Pondok tidak pernah membatasi akses ilmu agama maupun ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh santri. Bahkan, selain disediakan kursus komputer, juga ada warung internet dan perpustakaan di lingkungan pondok yang buka setiap saat. Menghadapi realitas perubahan tersebut, pesantren berpedoman pada al-muhafazatu ala al-qadim al salih wa al-akhdzu bi al-jadid al-aslah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil inovasi baru yang lebih baik). Dengan kata lain, ada strategi proyeksi dan proteksi yang dimaksudkan untuk mempertahankan kualitas luhur para santri dengan cara melindunginya dari pengaruh negatif lingkungan.
Ustadz Makruf mengungkapkan salah satu strateginya, yaitu dengan menyibukkan murid mengerjakan tugas sehingga ketika mereka membuka internet, secara otomatis akan berkonsentrasi untuk ilmu pengetahuan.Informasi dari media massa juga dibatasi. Siswa kelas I-IV dilarang menonton televisi. Setelah dianggap cukup dewasa, yakni saat mereka duduk di bangku kelas V dan VI, mereka diizinkan menonton televisi. Itu pun jamnya sangat terbatas.
"Kami sengaja hanya memberikan hal-hal yang positif kepada para santri
sampai dirasa mereka cukup dewasa berpikir baru, kemudian kami sodori hal-hal yang negatif, sebatas pengetahuan," papar Makruf.
Selain memberikan pendidikan agama dan ilmu pengetahuan, siswa diajarkan bersosialisasi dengan membentuk masyarakat sendiri, masyarakat pondok. Banyak organisasi di dalamnya, mulai dari ketua asrama, ketua kelas, ketua kelompok, organisasi intra maupun ekstra, sampai ketua regu pramuka.
Sedikitnya ada 1.500 jabatan ketua yang harus diisi para santri. Jabatan itu selalu berputar setiap pertengahan tahun atau setiap tahun. Dengan demikian, setiap santri pasti pernah menjadi pemimpin satu kali.
Setiap siswa wajib menjadi guru untuk kegiatan pengasuhan pada saat ia kelas V dan VI. Jika ingin melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi di ISID, mereka tidak akan dipungut biaya, tetapi diwajibkan mengajar kelas I-VI di luar jam kuliah. Ada pelatihan tambahan bagi guru dengan materi yang sesuai dengan standar pendidikan nasional.
praktik mengajar santri akhir KMI
Biaya pendidikan bagi siswa di KMI Rp 215.000 per bulan, terdiri dari Rp 115.000 untuk uang makan dan Rp 100.000 untuk biaya pendidikan. Pengasuh berharap biaya yang murah bisa dijangkau masyarakat dari berbagai golongan. Jika selama ini mahasiswa ISID masih terbatas pada alumni KMI Gontor, rencananya tahun akan dibuka universitas sehingga masyarakat umum bisa menuntut ilmu di sana.
Pondok Gontor berkembang berdasar rencana induk "Panca Jangka" meliputi pendidikan dan pengajaran, sarana dan prasarana, sumber pembiayaan, kederisasi dan kesejahteraan keluarga. "Karena itulah perkembangan pondok modern bisa kontinyu," tulis Habib Chirzin, tokoh Muhammadiyah alumnus Pondok Pesantren Gontor.
Untuk menjamin arah yang pasti, keutuhan sistem, memandu setiap langkah gerakan atau menjadi etos kedirian, Pondok Gontor memiliki "Pancajiwa": keihlasan, kesederhanaan, mandiri, ukhuwah Islamiyah, dan kebebasan. "Mengapa para ustad mau mengajar dan mengurus koperasi padahal tidak digaji? Semua ini karena ikhlas. Di sini orang merasa berjasa saja pasti akan terpental karena itu bukti kurang ikhlas," ujar Muhammad Almighwar, ustad asal Lampung.
Perkembangan pondok bukan cuma dalam hal fisik. Ada yang lebih berarti dan memberikan kontribusi yang besar bagi umat, masyarakat serta bangsa. Hadirnya 135 pondok alumni yaitu pondok model Darussalam Gontor yang dikembangkan oleh sebagian dari sekitar 18.000 alumni.
Sistem Gontor telah menjadi fenomena dalam khazanah dunia pendidikan Indonesia. Kehadirannya layak disejajarkan dengan Muhammadiyah, Taman- siswa. Sosialisasi sistem Gontor bukan cuma melalui pondok alumni, tapi juga karena diadopsi oleh pondok pesantren lainnya, keseluruhan atau sebagian.
Contoh saja, pondok pesantren dengan menggunakan sistem klasikal, mengutamakan pelajaran bahasa Arab dan Inggris, mengajarkan pelajaran umum di samping pelajaran agama Islam dengan mengacu pada kitab-kitab kuning (kitab standar pesantren), semua itu diintrodusir oleh Gontor. Diterimanya pakaian celana di lingkungan pesantren juga berasal dari Gontor walau pada mulanya sangat dikritik kalangan pesantren salaf (tradisional). Demikian pula pengembangan koperasi pesantren, Gontor telah puluhan tahun lalu mengembangkannya.
Kontribusi lain yang tak kalah pentingnya adalah pengembangan sistem budaya di kalangan santri dan umat Islam. Dr Nurcholish Madjid, alumnus Gontor, menunjuk kebebasan berpikir dan sikap toleransi sebagai kontribusi besar. Dalam kebebasan berpikir itulah alumni Gontor terus terpanggil melakukan ijtihad (pembaruan), tidak mudah terpola secara jumud (lamban). Sekaligus mendobrak tradisi sami'na wa atha'na (mendengar dan patuh) pada kiai. "Sami'na wa atha'na para santri adalah kepada aturan, sistem pondok modern. Santri tidak dididik mengkultuskan individu, sekalipun itu kiainya," ujar Amal Fathullah Zarkasyi MA, anggota Dewan Wakaf Gontor.
Gontor telah memberi makna bagi masyarakat sekitarnya. Bupati Ponorogo Markum Singodimejo mengakui, Gontor membawa Ponorogo go internasional. Mengalirnya uang ke Ponorogo melalui kiriman untuk para santri ikut mendinamisasi perekonomian dan menambah pendapatan warga sekitar pondok. Pemda bisa bekerja sama untuk pelbagai macam kegiatan pelatihan. Sumbangan paling nyata, Gontor menyumbagkan sumber daya manusia yang menjadi pionir pembangunan

2 komentar: