About

STAIN KEDIRI

STAIN KEDIRI
USHULUDDIN

Senin, 07 Desember 2015

ANTI-SEMITISME



ANTI-SEMITISME





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Antisemitisme adalah bentuk kebencian dan prasangka yang ditujukan pada orang yang beragama Yahudi atau orang-orang keturunan Yahudi.
Sejarah antisemitisme sudah dimulai sejak jaman kuno, dengan banyak contoh mengenai penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi bertebaran dalam sejarah. Terjadinya ketegangan di Timur Tengah sejak akhir abad ke-20 akibat pendirian negara Israel, membuat antisemitisme masih berlangsung hingga kini dimana prasangka dan diskriminasi secara luas diakui sebagai tidak dapat diterima.
Terdapat berbagai bentuk antisemitisme. Dalam konteks antisemitisme agama juga dikenal sebagai Anti-Yahudi. orang-orang yang beragama Yahudi diserang karena keyakinan agama mereka.
Orang Yahudi memiliki posisi kurang menguntungkan di banyak komunitas karena cenderung menjadi minoritas disertai dengan keyakinan agama yang dianggap asing oleh mayoritas. Untuk mengetahui perkembangan anti-semitisme dan hal-hal yang terkait dengannya, maka penulis ingin menyajikan sebuah makalah yang akan menjelaskan esensi dari antisemitisme. Akhirnya semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi pembaca.

B.     Rumusan masalah
1.      Apakah pengertian dari antisemitisme?
2.      Bagaimana sejarah dari antisemitisme?
3.      Bagaimana perkembangan antisemitisme?
4.      Bagaimana antisemitisme di Indonesia?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Anti-semitisme
Antisemitisme adalah suatu sikap permusuhan atau prasangka terhadap kaum Yahudi dalam bentuk-bentuk penganiayaan/penyiksaan terhadap agama, etnik, maupun kelompok ras, mulai dari kebencian terhadap individu hingga lembaga. Fenomena yang paling terkenal akan anti-semitisme adalah ideologi Nazisme dari Adolf Hitler, yang menyebabkan pemusnahan terhadap kaum Yahudi Eropa.[1]
 Antisemitisme memiliki beberapa bentuk sbb:
1. Antisemitisme Religius. Dikenal dengan sikap perlawanan dan kebencian terhadap Agama Yudaisme. Sikap-sikap ini meliputi pelarangan terhadap praktek ibadah Yudaisme dan pemaksaan agar seorang penganut Yudaisme mengganti keyakinannya dengan agama resmi yang dianut suatu masyarakat mayoritas. Contoh kasus adalah pemaksaan untuk berpindah Katholik terhadap orang-orang Yahudi Liberia di Abad 15-16 M dengan julukan “Maranos” (babi).
2. Antisemitisme Rasial. Sebuah penyebarluasan opini bahwa orang-orang Yahudi adalah ras yang rendah. Pada akhir Abad 19 dan awal Abad 20 muncul gerakan “Eugenics” yaitu suatu gerakan yang mengelompokkan diri bahwa orang-orang yang bukan berkulit putih dikategorikan sebagai kelas rendah (inferior). Dan mereka menyebut bahwa orang-orang Eropa Nordik adalah bangsa yang unggul (superior). Orang-orang Yahudi dianggap sebagai “Alien” (mahluk asing) di luar Eropa.
3. Antisemitisme Baru. Konsep baru yang yang berkembang pada Abad 21 secara serempak dari gerakan kiri, gerakan kanan, dan Islam radikal yang cenderung memusatkan pada tujuan yaitu perlawanan terhadap Zionisme dan rumah tinggal bagi Bangsa Yahudi di Negara Israel.[2]

B. Sejarah Anti-semitisme
Sepanjang sejarah kaum Yahudi telah menghadapi purbasangka dan diskriminasi, yang dikenal dengan istilah antisemitisme. Setelah hampir dua ribu tahun yang lalu diusir oleh bangsa Romawi dari tanah yang sekarang bernama Israel, mereka menyebar ke seluruh penjuru dunia dan berusaha mempertahankan kepercayaan dan budaya khas mereka sembari hidup sebagai kaum minoritas. Di beberapa negara kaum Yahudi disambut baik, dan mereka hidup berdampingan secara damai dengan tetangga mereka untuk kurun waktu yang lama. Di masyarakat Eropa yang mayoritas penduduknya Kristen, kaum Yahudi merasa menjadi semakin terisolasi sebagai orang luar. Kaum Yahudi tidak meyakini kepercayaan Kristen bahwa Yesus adalah Anak Tuhan, dan banyak kaum Kristen yang menganggap penolakan untuk menerima sifat ketuhanan Yesus ini sebagai sikap arogan. Selama berabad-abad Gereja mengajarkan bahwa kaum Yahudi bertanggung jawab atas kematian Yesus, tanpa mengindahkan fakta, sebagaimana yang diyakini para sejarawan hari ini, bahwa Yesus dieksekusi oleh pemerintah Romawi karena para petinggi menganggapnya sebagai ancaman politis terhadap kekuasaan mereka. Selain konflik bermuatan agama terdapat juga konflik ekonomi. Para penguasa memberlakukan pembatasan-pembatasan atas kaum Yahudi, yaitu dengan melarang mereka menduduki posisi-posisi tertentu dan menjadi pemilik tanah.
Dalam masa-masa yang lebih susah, kaum Yahudi menjadi kambing hitam atas banyak permasalahan yang mendera masyarakat. Sebagai contoh, mereka dipersalahkan atas "Kematian Hitam," wabah yang merenggut nyawa ribuan orang di seluruh Eropa pada Abad Pertengahan. Di Spanyol pada tahun 1400-an, kaum Yahudi dipaksa pindah ke agama Kristen, meninggalkan negara tersebut, atau dieksekusi. Di Rusia dan Polandia pada akhir tahun 1800-an pemerintah mengorganisasi atau tidak mencegah serangan-serangan kekerasan terhadap pemukiman Yahudi, yang dinamakan dengan pogrom, kala gerombolan orang membunuh kaum Yahudi dan menjarah rumah dan toko mereka.
Seiring dengan menyebarnya gagasan kesetaraan dan kebebasan politis di Eropa barat selama tahun 1800-an, kaum Yahudi hampir menjadi warga yang sederajat di hadapan hukum. Namun, pada saat yang sama muncul bentuk-bentuk baru antisemitisme. Para pemimpin Eropa yang bermaksud mendirikan koloni di Afrika dan Asia beralasan bahwa kaum kulit putih lebih unggul daripada ras lainnya dan oleh karena itu mesti menyebar dan berkuasa atas ras-ras yang "lebih lemah" dan "kurang beradab." Sejumlah penulis juga menerapkan alasan tersebut terhadap kaum Yahudi, dan secara keliru mendefinisikan kaum Yahudi sebagai sebuah ras orang-orang yang dinamakan Semit yang mempunyai kesamaan ciri keturunan darah dan fisik.

Jenis antisemitisme rasial seperti ini berarti bahwa orang Yahudi tetap menjadi orang Yahudi dalam hal ras terlepas apakah mereka telah pindah ke agama Kristen. Sejumlah politisi mulai menggunakan gagasan keunggulan rasial dalam kampanye-kampanye mereka sebagai cara untuk menjaring suara. Karl Lueger (1844-1910) adalah salah satu politisi tersebut. Dia menjadi Wali Kota Wina, Austria, di pengujung abad tersebut dengan memanfaatkan antisemitisme dia menarik simpati para pemilih dengan menyalahkan kaum Yahudi atas keterpurukan ekonomi pada masa itu. Lueger adalah pahlawan bagi seorang pemuda bernama Adolf Hitler, yang lahir di Austria pada tahun 1889. Gagasan-gagasan Hitler, termasuk pandangannya mengenai kaum Yahudi, dibentuk selama tahun-tahun dia menetap di Wina, tempat dia mempelajari taktik Lueger dan koran-koran serta pamflet antisemitisme yang menjamur selama masa jabatan Lueger yang cukup panjang itu.[3]

Hal Hal Yang Penting Dalam Sejarah Anti-Semitisme
1. Persekongkolan Yahudi (1890-An) 
                Di Prancis, seorang anggota kepolisian rahasia Rusia merekayasa Protokol Para Tetua Sion. Isi Protokol tersebut menyatakan bahwa ada suatu persekongolan Yahudi yang bertujuan menguasai dunia. Dokumen palsu tersebut dibuat seolah-olah merupakan berita acara suatu pertemuan antar pemimpin dunia Yahudi tempat mereka mematangkan rencana untuk mendominasi dunia, dan yang menyatakan bahwa kaum Yahudi telah membentuk organisasi dan lembaga rahasia yang bertujuan mengontrol dan memanipulasi partai politik, dunia ekonomi, media massa, dan opini publik. Protokol tersebut diterbitkan di negara-negara di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat, dan digunakan oleh kalangan antisemitisme untuk menyokong tuduhan tentang adanya persekongkolan Yahudi. Pada tahun 1920-an dan 1930-an, Protokol tersebut digunakan untuk menggalang dukungan atas ideologi dan kebijakan antisemitisme partai Nazi.[4]



2. Prancis Terbelah Kasus Dreyfus (1894)
               Kapten Alfred Dreyfus, seorang perwira AD Prancis keturunan Yahudi, ditangkap dan secara curang dituduh telah menyerahkan kepada Jerman dokumen-dokumen yang menyangkut pertahanan nasional Prancis. Menyusul 'summary trial' di hadapan mahkamah militer, Dreyfus diputus bersalah atas makar dan dihukum kurungan penjara seumur hidup di Pulau Setan, yang berlokasi di lepas pantai Guiana Prancis. Kasus tersebut membelah bangsa Prancis menjadi dua kelompok yang bertentangan: mereka yang bersikeras bahwa Dreyfus bersalah (kalangan konservatif, nasionalis, dan antisemitisme), dan mereka yang bersikeras bahwa Dreyfus mesti memperoleh persidangan yang adil (liberal dan intelektual). Pada tahun 1899, Dreyfus disidang kembali, tapi mahkamah militer kembali memutus dia bersalah. Akan tetapi, presiden Republik Prancis melakukan intervensi dan memberikan grasi kepadanya. Tidak lama sebelum Perang Dunia I, nama baik Dreyfus dipulihkan kembali sepenuhnya oleh pengadilan sipil. Kontroversi yang menyelimuti kasus Dreyfus mencerminkan antisemitisme laten yang hidup dalam korps perwira Prancis dan golongan konservatif Prancis lainnya.[5]

3. Karl Lueger, Wali Kota Wina Yang Beraliran Antisemitisme (April 1897)
              Karl Lueger terpilih sebagai wali kota Wina. Dia menjabat posisi tersebut selama 13 tahun, yaitu sampai dia meninggal pada tahun 1910. Lueger, salah seorang pendiri partai Sosialis Kristen, menggunakan sentimen antisemitisme dalam bidang ekonomi untuk menggalang dukungan dari kalangan pengusaha kecil dan artisan yang menderita menyusul lonjakan kapitalisme selama revolusi industri di Austria. Dia berpendapat bahwa kaum Yahudi memonopoli kapitalisme dan oleh karena itu mereka bersaing secara tidak adil dalam kancah ekonomi. Bentuk antisemitisme tersebut dimanfaatkan oleh partai sayap kanan lainnya di Austria dan Jerman pada awal abad ke-20 sebagai ikhtiar untuk memperluas dukungan. Adolf Hitler, yang tinggal di Wina semasa Lueger berkuasa, sangat dipengaruhi oleh antisemitisme Lueger dan kemampuannya meraih dukungan publik. Gagasan-gagasan Lueger tercermin dalam platform partai Nazi pada tahun 1920-an di Jerman.[6]



C.    Perkembangan Anti-semitisme
Pembahasan perkembangan antisemitisme dimulai dengan memaparkan akar sejarah munculnya antisemitisme melalui sejarah kaum Yahudi. Sikap anti-Yahudi berakar dari sentimen religi yang kemudian dikuatkan oleh gereja Katolik Roma sebagai sumber legitimasi kekaisaran. Seiring dengan jatuhnya kekaisaran Roma maka kekuasaan gereja turut memudar. Nasionalisme muncul untuk menggantikan kekosongan kekuasaan dengan berdirinya negara-negara yang mengatasnamakan bangsa. Antisemitisme turut mengalami perubahan bentuk saat nasionalisme bangsa-bangsa Eropa identik dengan nasionalisme biologis yang mengagungkan superioritas ras. Nasionalisme biologis bangsa Eropa khususnya Jerman kemudian menciptakan antisemitisme yang diusung secara politis guna menyamarkan kepentingan imperialismenya. Antisemitisme terwujud melalui peristiwa-peristiwa seperti Pogrom Rusia, Kasus Dreyfus, dan berujung pada Holocaust yang dipercaya sebagai pembantaian enam juta Yahudi di Eropa. Nasionalisme Yahudi tumbuh melalui gerakan Zionis sebagai respon atas antisemitisme. Zionisme berhasil mendirikan negara Yahudi melalui dukungan bangsa-bangsa Barat dan Yahudi yang hidup dalam diaspora. Meskipun zionisme pada awalnya merupakan gerakan nasionalisme sekuler namun Israel didirikan di tanah Palestina dengan klaim agama "tanah yang dijanjikan".
               Meskipun Israel telah berhasil berdiri demi menjaga keamanan dan kelangsungan bangsa Yahudi namun antisemitisme tetap digunakan sebagai komoditas politik bagi kepentingan pihak-pihak yang berupaya menyamarkan kepentingan imperialisme dan status quo mereka. Dalam penelusurannya, tulisan mi menemukan bahwa sebenamya bangsa-bangsa Barat dan Yahudi merupakan pelaku-pelaku antisemitisme. Selain itu, Inggris dan Amerika Serikat sebagai pendukung Israel dan Israel sendiri memakai dalih antisemitisme untuk membalas setiap kritik terhadap kebijakan-kebijakan Israel. Di lain pihak, setiap pengkritik kebijakan Israel menolak untuk disebut sebagai pelaku antisemitisme. Mereka mengemukakan sikap anti-zionisme berbeda dengan antisemitisme. Mereka memandang Israel dan gerakan zionisme sebagai bentuk imperialisme modern dan status quo bangsa-bangsa Barat yang pantas untuk ditentang.[7]



D.    Anti-semitisme di Indonesia
             Bagi kebanyakan orang di Indonesia, Bangsa Yahudi-lah yang sering disebut sebagai biang keladi dari semua bencana dan masalah yang terjadi.

               Segera setelah Peristiwa 11 September, sebuah surat kabar terkemuka di ibukota memuat berita utama yang menyatakan bahwa ada sebuah konspirasi besar Yahudi di belakang rubuhnya Menara Kembar WTC - sebuah kesimpulan yang ditarik dari fakta bahwa lebih dari 4,000 pegawai keturunan Yahudi absen tidak masuk kerja pada hari yang sangat naas tersebut.
                 Konspirasi Yahudi bahkan dianggap bertanggung jawab atas kejatuhan rezim Orde Baru. Presiden Soeharto sendiri mempersalahkan sebuah konspirasi internasional Yahudi sebagai penyebab keruntuhan rezim Orde Baru. Sebuah majalah Muslim bernama Siar menerbitkan sebuah wawancara dengan Soeharto dimana di dalamnya Soeharto secara eksplisit menyebutkan bahwa konspirasi Zionis berada di balik kerusuhan sosial dan politik yang mendorongnya untuk mundur dari jabatan presiden.
                Bagi sebagian kelompok orang Islam di Jakarta, sebuah konspirasi besar Yahudi yang sama telah yang bertanggung jawab atas segala permasalahan yang membelit masyarakat kita, mulai dari berubahnya pola makan, kemunduran ekonomi, kemunculan penyakit-penyakit misterius sampai bahkan berubahnya kurikulum pendidikannasional.
             Bulan Desember tahun 2009 lalu, anggota dari kelompok ini, yang menamakan dirinya sebagai Kajian Zionisme International mengadakan pertemuan yang dinamakan sebagai Konferensi Internasional untuk membahas tentang akibat-akibat buruk yang ditimbulkan oleh konspirasi Yahudi serta merumuskan cara-cara praktis untuk mengatasinya. Salah seorang pembicara, seorang kandidat doktor yang belajar filosofi Islam di Universitas Kebangsaan Malaysia mengeluarkan sebuah pernyataan yang - tidak terlalu mengejutkan memang - menghujat sekularisme serta upaya untuk memahami agama secara ilmiah (demistifikasi) . Menurut sang pembicara, kedua hal tersebut adalah sebuah upaya jahat yang diciptakan oleh pemikir-pemikir Yahudi untuk membuat agama, Islam terutama, menjadi tidak suci dan tidak berguna lagi.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Antisemitisme adalah suatu sikap permusuhan atau prasangka terhadap kaum Yahudi dalam bentuk-bentuk penganiayaan/penyiksaan terhadap agama, etnik, maupun kelompok ras, mulai dari kebencian terhadap individu hingga lembaga. Antisemitisme memiliki beberapa bentuk yaitu Antisemitisme Religius, Rasial, dan Baru.
Sepanjang sejarah kaum Yahudi telah menghadapi purbasangka dan diskriminasi, yang dikenal dengan istilah antisemitisme. Setelah hampir dua ribu tahun yang lalu diusir oleh bangsa Romawi dari tanah yang sekarang bernama Israel, mereka menyebar ke seluruh penjuru dunia dan berusaha mempertahankan kepercayaan dan budaya khas mereka sembari hidup sebagai kaum minoritas. Di beberapa negara kaum Yahudi disambut baik, dan mereka hidup berdampingan secara damai dengan tetangga mereka untuk kurun waktu yang lama. Di masyarakat Eropa yang mayoritas penduduknya Kristen, kaum Yahudi merasa menjadi semakin terisolasi sebagai orang luar. Kaum Yahudi tidak meyakini kepercayaan Kristen bahwa Yesus adalah Anak Tuhan, dan banyak kaum Kristen yang menganggap penolakan untuk menerima sifat ketuhanan Yesus ini sebagai sikap arogan. Selama berabad-abad Gereja mengajarkan bahwa kaum Yahudi bertanggung jawab atas kematian Yesus, tanpa mengindahkan fakta, sebagaimana yang diyakini para sejarawan hari ini, bahwa Yesus dieksekusi oleh pemerintah Romawi karena para petinggi menganggapnya sebagai ancaman politis terhadap kekuasaan mereka. Selain konflik bermuatan agama terdapat juga konflik ekonomi. Para penguasa memberlakukan pembatasan-pembatasan atas kaum Yahudi, yaitu dengan melarang mereka menduduki posisi-posisi tertentu dan menjadi pemilik tanah.
             Bagi kebanyakan orang di Indonesia, Bangsa Yahudi-lah yang sering disebut sebagai biang keladi dari semua bencana dan masalah yang terjadi. 



[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Antisemitisme, diakses tanggal 23 Oktober 2015
[4] http://www.ushmm.org/outreach/id/article, diakses tanggal 23 Oktober 2015

[5]  Ibid, Paragraf ke-6
[6]  Ibid, Paragraf ke-7

1 komentar: