About

STAIN KEDIRI

STAIN KEDIRI
USHULUDDIN

Minggu, 13 Desember 2015

AGAMA SHINTO

A.       Pendahuluan
Wilayah Jepang terdiri dari empat pulau besar, yaitu Hondo (Honsyu) dan Hokkaido (Ezo) dan Shikoku dan Kyushu, beserta ribual pulau kecil.Penduduk asal kepulauan itu sepanjang arkeologi dan atropologi, era berkaitan dengan suku Tunggus dan suku Korea berdasarkan pembuktian lingguistik.Sepanjang pembuktian ethnografis dan mythologis[1], kedalamnya unsur belahan selatan Tiongkok beserta unsur Melayu belahan dari Asia Tenggara dan unsur Polysnesia.Pada masa sebelumnya unsur Ainu, (Mungkin proto-Caucassoiids), Sepertinya agak berdominan di tempat itu. Suatu suku dari pulau Kyushu yang terletak pada belahan selatan, dan suku itu belakangan membentuk imperium, menyeberang ke utara menuju lembah Yamato (Nara) dipulau Honsyu.Ia memperoleh kemenangan dalam persaingan kekuasaan dengan suku Izumo yang punya pertalian darah dengan suku Korea. Melalui peperangan dengan berbagai suku lainnya.Termasuk dengan suku Kaisar Jepang pertama-tama pada tahun 660 SM, yaitu kaisar Jimmu Tenno. 
 
Bentuk susunan social di Jepang dewasa itu terdiri atas himpunan berbagai suku (Uji), yang satu persatu suku itu dibawah pimpinan seorang kepala suku (Uji No Kami).Anggota suatu suku itu menyatakan turunan satu bertindak sebagai datu (high priest) dalam upacara pemujaan terhadap dewa suku (ujigami), dan suku kekuasaan bersifat kepadrian (sacerdotal).Kepala suku dan keluarganya seringkali beroleh berbagai gelaran (kabana), yang dalam perkembanganya bersifat hitaraki. Di dalam lingkungan suku selalu berkelompok-kelompok kerja yang bersifat warisan (tomo), yang serupa dengan kedudukan (guilds ) di Barat. Suku yang memeganag pusat kekuasaan didalam imperium, maka membuat dewa suku menjadi dewa nasional.Dua suku yang punya kedudukan penting ialah suku Omi dan suku Muraji.Semua ketua ari suku Kumo, Otomo, Mononobe, Menempati Imube (Imibe atau Imbe) menjabat urusan upacara-upacara keagamaan.
Negara Jepang itu sepanjang sejarah sering berbenturan dengan Korea dan Tiongkok dan pertempuran itu meniggalkan jejeak pengaruh di Jepang[2]. Agama Shinto di Jepang itu tumbuh dan hidup dan berkembang dalam lingkungan penduduk, bukan datang dari luara.Nama asli bagi agama itu ialah Kami no Michi, yang bermakna “jalan dewa”. Pada saat Jepang berbenturan dengan kebudayaan Tiongkok maka nama asli itu terdesak kebelakang oleh nama baru yaitu Shin-To. Nama baru itu perubahan dari Tien-Tao, yang bermakna “jalan langit”.Perubahan bunyi kata itu seperti halnya dengan aliran Chan, sebuah sekte agama Budha mazhab Mahayana di Tiongkok, menjadi aliran Zen sewaktu berkembang di Jepang.
Agama Shinto itu berkenyakinan pada mythos bahwa bumi di Jepang itu diciptakan dewata yang pertama-tama dan bahwa Jimmu Tenno (660 SM), Kaisar Jepang yang pertama itu, adalah turunan langsung dari Amaterasu Omi Kami, yaitu dewi matahari, dalam perkawinannya dengan Taouki Lomi, yakni dewa bulan. Sekalian upacara dan kebaktian terpusat seluruhnya pada pokok keyakinan tersebut. Sejarah perkembangan agama Shinto di Jepang dapat dibagi menjadi beberapa tahap massa :
a.       Masa perkembangannya dengan pengaruh yang mutlak sepenuhnya di Jepang, Yitu dari tahun 660 SM – 552 M. kira-kira 12 abad lamanya.
b.      Masa agama Budha dan ajaran Konfusianisme dan ajaran Taoisme masuk ke Jepang, yaitu tahun 552 M sampai tahun 800 M, yang dalam masa dua setengah abad itu agama Shinto memperoleh persainga berat, pada tahun 645 M kaisar Kotoku merestui agama Buddha dan menyampingkan Kami no Michi. Sedangkan pada tahun 671 M sang Kaisar membelakangi dunia dan mengenangkan pakaian rahib.
c.       Masa sinkronisasi secara berangsur-angsur antara agama Shinto dengan tiga ajaran lainnya, yaitu dari tahun 800 M sampai 1700 M, yang masa dalam Sembilan abad itu pada akhirnya lahir Ryobu Shinto yang didirikan oleh Kubo Daishi (774-835 M) dan Kita Batake Chikafuza (1293 – 1354 M) dan Ichijo Kanoyoshi (1465-1500 M)[3].
Agama Jepang biasanya disebut dengan agama Shinto.Sebagai agama asli bangsa Jepang, agama tersebut memiliki sifat yang cukup unik. Proses terbentuknya, bentuk-bentuk upacara keagamaannya maupun ajaran-ajarannya memperlihatkan perkembangan yang sangat ruwet. Banyak istilah-istilah dalam agama Shinto yang sering dialih bahasakan dengan tepat ke dalam bahasa lainnya. Kata-kata Shinto sendiri sebenarnya berasal dari bahasa China yang berarti “jalan para dewa”, “pemujaan para dewa”, “pengajaran para dewa”, atau “agama para dewa”. Dan nama Shinto itu sendiri baru dipergunakan untuk pertama kalinya untuk menyebut agama asli bangsa Jepang itu ketika agama Buddha dan agama konfusius (Tiongkok) sudah memasuki Jepang pada abad keenam masehi.
Pertumbuhan dan perkembagan agama serta kebudayaan Jepang memang memperlihatkan kecenderungan yang asimilatif.Sejarah Jepang memperlihatkan bahwa negeri itu telah menerima berbagai macam pengaruh, baik kultural maupun spiritual dari luar.Semua pengaruh itu tidak menghilangkan tradisi asli, dengan pengaruh-pengaruh dari luar tersebut justru memperkaya kehidupan spiritual bangsa Jepang. Antara tradisi-tradisi asli dengan pengaruh-pengaruh dari luar senantiasa dipadukan menjadi suatu bentuk tradisi baru yang jenisnya hampir sama. Dan dalam proses perpaduan itu yang terjadi bukanlah pertentangan atau kekacauan nilai, melainkan suatu kelangsungan dan kelanjutan. Dalam bidang spiritual, pertemuan antara tradisi asli Jepang dengan pengaruh-pengaruh dari luar itu telah membawa kelahiran suatu agama baru yaitu agama Shinto, agama asli Jepang.
B.     Pembahasan Shintoisme (Agama Shinto)
                I.   Pengertian
Shinto adalah kata majemuk daripada “Shin” dan “To”. Arti kata “Shin” adalah “roh” dan “To” adalah “jalan”. Jadi “Shinto” mempunyai arti lafdziah “jalannya roh”, baik roh-roh orang yang telah meninggal maupun roh-roh langit dan bumi. Kata “To” berdekatan dengan kata “Tao” dalam taoisme yang berarti “jalannya Dewa” atau “jalannya bumi dan langit”. Sedang kata “Shin” atau “Shen” identik dengan kata “Yin” dalam taoisme yang berarti gelap, basah, negatif dan sebagainya ; lawan dari kata “Yang”. Dengan melihat hubungan nama “Shinto” ini, maka kemungkinan besar Shintoisme dipengaruhi faham keagamaan dari Tiongkok. Sedangkan Shintoisme adalah faham yang berbau keagamaan yang khusus dianut oleh bangsa Jepang sampai sekarang.Shintoisme merupakan filsafat religius yang bersifat tradisional sebagai warisan nenek moyang bangsa Jepang yang dijadikan pegangan hidup.Tidak hanya rakyat Jepang yang harus menaati ajaran Shintoisme melainkan juga pemerintahnya juga harus menjadi pewaris serta pelaksana agama dari ajaran ini[4].
    II.            Sejarah
Shintoisme (agama Shinto) pada mulanya adalah merupakan perpaduan antara faham serba jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam.Shintoisme dipandang oleh bangsa Jepang sebagai suatu agama tradisional warisan nenek moyang yang telah berabad-abad hidup di Jepang, bahkan faham ini timbul daripada mitos-mitos yang berhubungan dengan terjadinya negara Jepang.Latar belakang historis timbulnya Shintoisme adalah sama-sama dengan latar belakang historis tentang asal-usul timbulnya negara dan bangsa Jepang.Karena yang menyebabkan timbulnya faham ini adalah budidaya manusia dalam bentuk cerita-cerita pahlawan (mitologi) yang dilandasi kepercayaan animisme, maka faham ini dapat digolongkan dalam klasifikasi agama alamiah.
Nama Shinto muncul setelah masuknya agama Buddha ke Jepang pada abad keenam masehi yang dimaksudkan untuk menyebut kepercayaan asli bangsa Jepang.Selama berabad-abad antara agama Shinto dan agama Buddha telah terjadi percampuran yang sedemikian rupa (bahkan boleh dikatakan agama Shinto berada di bawah pengaruh kekuasaan agama Buddha) sehingga agama Shinto senantiasa disibukkan oleh usaha-usaha untuk mempertahankan kelangsungan “hidupnya” sendiri.
Pada perkembangan selanjutnya, dihadapkan pertemuan antara agama Budha dengan kepercayaan asli bangsa Jepang (Shinto) yang akhienya mengakibatkan munculnya persaingan yang cukup hebat antara pendeta bangsa Jepang (Shinto) dengan para pendeta agama Buddha, maka untuk mempertahankan kelangsungan hidup agama Shinto para pendetanya menerima dan memasukkan unsur-unsur Buddha ke dalam sistem keagamaan mereka. Akibatnya agama Shinto justru hampir kehilangan sebagian besar sifat aslinya.Misalnya, aneka ragam upacara agama bahkan bentuk-bentuk bangunan tempat suci agama Shinto banyak dipengaruhi oleh agama Buddha. Patung-patang dewa yang semula tidak dikenal dalam agama Shinto mulai diadakan dan ciri kesederhanaan tempat-tempat suci agama Shinto lambat laun menjadi lenyap digantikan dengan gaya yang penuh hiasan warna-warni yang mencolok.
Tentang pengaruh agama Buddha yang lain nampak pada hal-hal seperti anggapan bahwa dewa-dewa Shintoisme merupakan Awatara Buddha (penjelmaan dari Buddha dan Bodhisatwa), Dainichi Nyorai (cahaya besar) merupakan figur yang disamakan dengan Waicana (salah satu dari dewa-dewa penjuru angin dalam Budhisme Mahayana), hal im berlangsung sampai abad ketujuh belas masehi. Setelah abad ketujuh belas timbul lagi gerakan untuk menghidupkan kembali ajaran Shinto murni di bawah pelopor Kamamobuchi, Motoori, Hirata, Narinaga dan lain-lain dengan tujuan bangsa Jepang ingin membedakan “Badsudo” (jalannya Buddha) dengan “Kami” (roh-roh yang dianggap dewa oleh bangsa Jepang) untuk mempertahankan kelangsungan kepercayaannya.
Pada abad kesembilan belas tepatnya tahun 1868 agama Shinto diproklamirkan menjadi agama negara yang pada saat itu agama Shinto mempunyai 10 sekte dan 21 juta pemeluknya. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa paham Shintoisme merupakan ajaran yang mengandung politik religius bagi Jepang, sebab saat itu taat kepada ajaran Shinto berarti taat kepada kaisar dan berarti pula berbakti kepada negara dan politik negara.
                      III.   Madzhab/ Sekte-Sekte Agama Shinto
1.   Imperial Shinto (Kyūchū Shinto atau Koshitsu Shinto)
Shinto kelompok ini sangat eksklusif dan tidak umum ditemukan. Memiliki beberapa kuil saja yang kalau tidak salah 5 buah di seluruh negeri. Nama kuil ini biasanya berakhir dengan nama Jingu, misalnya Heinan Jingu, Meiji Jingu, Ise Jingu dll. Kuil Shinto kelompok ini selain berfungsi sebagai tempat untuk memuja Kami juga berfungsi sebagai tempat memuja leluhur khususnya keluarga kerajaan. Salah satu dari kuil ini dibangun khusus untuk menghormati dewa Matahari.
2.   Folk Shinto (Minzoku Shinto)
Mithyologi tentang Kojiki, cerita terbentuknya pulau Jepang dan cerita tentang dewa dewa lain adalah ciri khas dari Shinto kelompok ini. Jadi Folk Shinto adalah kepercayaan Shinto yang meliputi cerita tua, legenda, hikayat dan cerita sejarah. Kuil Kibitsu Jinja yang terletak di daerah Okayama, Jepang tengah adalah salah satu contoh menarik karena dibangun untuk menghormati tokoh utama dalam cerita rakyat yaitu Momo Taro. Disamping itu Shinto kelompok ini juga mendapat pengaruh yang kuat dari agama Buddha, Konfucu, Tao dan ajaran penduduk local seperti Shamanism, praktek penyembuhan dll. Kuil kelompok ini biasanya mudah dibedakan dengan kuil lainya karena adanya sejarah pendirian kuil yang unik. Jadi jangan kaget kalau Anda menemukan kuil yang penuh dengan ornament dan pernak pernik kucing atau binatang dan benda lainya karena sejarah pendiriannya yang memang berkaitan dengan binatang tersebut.
3.   Sect Shinto (Kyoha atau Shuha Shinto)
Shinto kelompok ini mulai muncul pada abad ke 19 dan sampai saat ini memiliki kurang lebih 13 sekte. Dua diantara sekte ini yang cukup banyak pengikutnya adalah Tenrikyo atau Kenkokyo. Keberadaan dari Sect Shinto ini cukup unik karena memiliki ajaran, doktrin, pemimpin atau pendiri yang dianggap sebagai nabi dan yang terpenting biasanya menggolongkan diri dengan tegas sebagai penganut monotheisme. Shinto golongan ini sepertinya jarang dibahas ataupun kurang dikenal oleh kebanyakan orang.sehingga konsep monotheisme dari shinto aliran baru nyaris luput dari tulisan kebanyakan orang.
4.   Shrine Shinto (Jinja Shinto)
Dari semua kelompok kuil Shinto yang ada, kelompok inilah yang sepertinya paling mudah untuk ditemukan. Diperkirakan saat ini ada sekitar 80 ribuan kuil yang ada di seluruh negeri dan semuanya tergabung dalam satu organisasi besar yaitu Association of Shinto Shrines[5].
IV.    Kepercayaan Agama Shinto
A.    Kepercayaan kepada “Kami”
Dalam agama Shinto yang merupakan perpaduan antara faham serba jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam mempercayai bahwasanya semua benda baik yang hidup maupun yang mati dianggap memiliki ruh atau spirit, bahkan kadang-kadang dianggap pula berkemampuan untuk bicara, semua ruh atau spirit itu dianggap memiliki daya kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka (penganut Shinto), daya-daya kekuasaan tersebut mereka puja dan disebut dengan “Kami”.
Istilah “Kami” dalam agama Shinto dapat diartikan dengan “di atas” atau “unggul”, sehingga apabila dimaksudkan untuk menunjukkan suatu kekuatan spiritual, maka kata “Kami” dapat dialih bahasakan (diartikan) dengan “Dewa” (Tuhan, God dan sebagainya). Tradisi Shinto mengenal beberapa nama Dewa yang bagi Shinto bisa juga berarti Tuhan yang dalam bahasa Jepang disebut dengan istilah Kami atau Kamisama. Kamisama ini bersemayam atau hidup di berbagai ruang dan tempat, baik benda mati maupun benda hidup. Pohon, hutan, alam, sungai, batu besar, bunga sehingga wajib untuk dihormati. Penamaan Tuhan dalam kepercayaan Shinto bisa dibilang sangat sederhana yaitu kata Kami ditambah kata benda. Tuhan yang berdiam di gunung akan menjadi Kami no Yama, kemudian Kami no Kawa (Tuhan Sungai), Kami no Hana (Tuhan Bunga) dan Dewa/Tuhan tertingginya adalah Dewa Matahari (Ameterasu Omikami) yang semuanya harus dihormati dan dirayakan dengan perayaan tertentu.[6]
Jadi inti dari konsep Tuhan dalam kepercayaan Shinto adalah sangat sederhana yaitu ”semua benda di dunia, baik yang bernyawa ataupun tidak, pada hakikatnya memiliki roh, spirit atu kekuatan jadi wajib dihormati” . konsep ini memiliki pengaruh langsung didalam kehidupan masyarakat Jepang. Misalnya seperti, seni Ikebana atau merangkai bunga yang berkembang pesat di Jepang karena salah satunya dilandasi konsep Shinto tentang Spirit atau Tuhan yang bersemayam pada bunga serta tumbuhan yang harus dihormati. Disamping mempercayai adanya dewa-dewa yang memberi kesejahteraan hidup, mereka juga mempercayai adanya kekuatan gaib yang mencelakakan, yakni hantu roh-roh jahat yang disebut dengan Aragami yang berarti roh yang ganas dan jahat. Jadi dalam Shintoisme ada pengertian kekuatan gaib yang dualistis yang satu sama lain saling berlawanan yakni “Kami” versus Aragami (Dewi melawan roh jahat) sebagaimana kepercayaan dualisme dalam agama Zarathustra. Dari kutipan di atas dapat dilihat adanya tiga hal yang terdapat dalam konsepsi kedewaan agama Shinto, yaitu :
1.      Dewa-dewa yang pada umumnya merupakan personifikasi dari gejala-gejala alam itu dianggap dapat mendengar, melihat dan sebagainya sehingga harus dipuja secara langsung.
2.      Dewa-dewa tersebut dapat terjadi (penjelmaan) dari roh manusia yang sudah meninggal.
3.      Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit (mitama) yang beremanasi dan berdiam di tempat-tempat suci di bumi dan mempengaruhi kehidupan manusia.
Uraian utama dalam mite suku yamato tersebut adalah tentang asal-usul alam dan dunia ini, khususnya kepulauan jepang. Pada mulanya, disebutkan langit dan bumi masih dalam keadaan menyatu dan belum dapat dibeda-bedakan. Kemudian mulailah muncul perbedaan-perbedaan : unsur-unsur ringan yang membentuk langit dan unsure-unsur berat yang membentuk bumi. Dari awan putih yang terletak diantara kedua unsure tersebut muncul 3 dewa, yang disebut 3 kami pencipta. Kemudian muncul pula 2 dewa yang selanjutnya memeperoleh perhatian dan tempat istimewa dalam agama Shinto, yaitu dewa Izanagi dan dewi Izanami. Keduanya menciptakan kepulauan jepang lengkap dengan dewanya, seperti:
·         Dewa bumi
·         Dewa air
·         Dewa gunung
·         Dewa api, dsb[7]
Dan alat-alat penting lainnya yang terdapat di alam ini. Setelah melahirkan dewa api, Izanami meninggal dunia, kemudian menjadi dewi Tanahyomi, tempat orang-orang yang telah mati. Ketika Izanagi pergi mengunjungi istrinya yang sudah mati itu, ia melanggar suatu pantangan sehingga menjadi kotor dan berdosa. Oleh karena itu ia kemudian pergi ke laut untuk melakukan upacara pensucian. Ketika sedang membersihkan diri di air, dari matanya sebelah kiri terjadi dewi matahari, Amaterasu, dan dari air matanya sebelah kanan terjadi dewu bulan, Tsukiyomi, sementara dari yang dipergunakan untuk membersihkan hidungnya terjadi dewa laut dan gelombang.
Dewi Amaterasu memiliki seorang cucu yang bernama Ninigimikoto, yang ditugaskannya untuk memerintah dunia disertai jaminan bahwa ia akan memerintah dunia untuk selama-lamanya. Ia turun didaerah Kyushu. Putranya, Jimmutenn, adalah kepala suku Yamato yang pertama dan juga kaisar jepang pertama kali. Dari garis inilah kemudian agama Shinto menanamkan kepercayaan diakalangan rakyat jepang bhwa negeri mereka senantiasa diperintah oleh satu dinasti kekaisaran tunggal sejak awal mula sejarahnya sampai sekarang. Dalam garis ini pula para kaisar jepang menyatakan asal-usul mereka. Dengan demikian, kira-kira mulai saat suku yamato tersebut berkuasa, kultus dan tradisi keagamaan bangsa jepang yang beraneka ragam sedikit demi sedikit mulai dibersatukan dan diorganisasikan kedalam suatu bentuk pemerintahan agama dengan suatu system ritus yang dipusatkan pada Dewi Matahari, meskipun masih dalam keadaan tanpa nama.[8]
B.     Hubungan antara Manusia dengan Tuhan (Dewa)
Hubungan antara Kami dengan manusia menurut konsep Shinto juga cukup unik kaerna polanya cenderung tidak bersifat Vertikal, namun lebih banyak bersifat horizontal. Kami hidup dan berada dibawah gunung, hutan, laut, atau di tengah perkampungan penduduk yang ditandai dengan berdirinya kuil penjaga desa. 
Jadi konsep Tuhan di atas atau langit dan manusia di bumi sepertinya kurang tepat untuk kepercayaan Shinto. Mikoshi atau Dashi sebagai perwujudan dari kereta bagi Kami, yang digotong beramai-ramai selam festival di kuil mungkin salah satu contoh menarik. ”Kereta Tuhan” ini tidaklah diarak dengan hormat dan khidmad namun diguncang guncangkan, dibentur-benturkan. Dinaiki beramai-ramai bahkan tidak jarang diduduki pada bagian atapnya oleh beberarapa orang selama proses prosesi.
C.     Konsep Dosa
Salah satu tokoh Shinto Shimogamo Shrine mengatakan bahwa, Shinto tidak mengajarkan adanya perbuatan dosa. Jika melakukan perbuatan tertentu yang menciptakan dosa seseorang harus mau dibersihkan semata-mata untuk ketenangan pikiran sendiri dan nasib baik, dan bukan karena dosa yang salah dalam dan dari dirinya sendiri. Perbuatan jahat dan salah disebut "Kegare",. "cerah" atau hanya "baik". Membunuh apa pun untuk dapat bertahan hidup harus dilakukan dengan rasa syukur dan melanjutkan ibadah. Jepang Modern terus menempatkan penekanan pada pentingnya "aisatsu" atau ritual frasa dan salam. Sebelum makan, orang harus mengucapkan "itadakimasu",. "Saya akan dengan rendah hati menerima", dalam rangka untuk menunjukkan rasa syukur dari makanan pada khususnya dan umumnya kepada semua makhluk hidup yang kehilangan nyawa mereka untuk membuat makanan. Kegagalan untuk menunjukkan rasa hormat yang tepat adalah tanda kebanggaan dan kurangnya kepedulian terhadap orang lain. 
D.    Konsep surga dan neraka ataupun ajaran tentang kehidupan alam akhirat 
Sepertinya adalah hal yang umum ditemukan pada ajaran agama ataupun kepercayaan primitif sekalipun. Shinto sepertinya memiliki tradisi yang sedikit menyimpang. Konsep surga dan neraka hampir tidak disentuh sama sekali dalam kepercayaan Shinto. Hal ini bisa dilihat dari hampir tidak ditemukannya ritual upacara kematian pada tradisi Shinto. Ritual dan tata cara pemakaman di Jepang sepenuhnya dilakukan dengan tata cara agama Budha dan sisanya menggunakan ritual agama Kristen. Kuburan dan tempat makam juga umumnya berada di bawah organisasi kedua agama tersebut. Sepertinya ritual Shinto lebih difokuskan pada kehidupan pada kehidupan duniawi atau kehidupan sekarang terutama yang berhubungan dengan alam khususnya keselarasan antara manusia dengan alam sekitarnya.
E.   Kitab suci agama Shinto 
Kitab suci yang tertua dalam agama Shinto itu ada dua buah, akan tetapi disusun sepuluh abad setelah meninggalnya Jimmu Tenno sang Kaisar Jepang yang pertama, dan dua buah lagi disusun pada masa belakangan, keempat kitab itu adalah :
1.      Kojiki, yang bermakna : catatan peristiwa purbakala disusun pada tahun 712 M, setelah Kekaisaran Jepang berkedudukan di Nara yang pada waktu itu ibu kota Nara dibangun pada tahun 710 M, arsitek ini seperti ibukota Changan di Tiongkok.
2.      Nihonji, yang bermakna : riwayat Jepang, disusun pada tahun 720 M oleh penulis yang sama dengan dibantu sang pangeran di istananya.
3.      Yengishiki, yang bermakna : berbagai lembaga pada masa Yengi. Kitab itu disusun pada abad ke 10 M terdiri atas lima puluh bab. Dan sepuluh bab yang pertama berisikan ulasan kisah-kisah purbakala yang bersifat kultus. Dan dilanjutkan dengan kisah selanjutnya sampai abad ke 10 M, tetapi inti dari kitab ini ialah mencatat 25 buah Nurito, yakni do’a-do’a, atau pujaan yang sangat panjang pada berbagai macam upacara keagamaan.
4.      Manyoshiu, yang bermakna : himpunan sepuluh ribu daun, berisikan bunga rampai, terdiri dari atas 4496 buah sajak, disusun antara abad ke 5 dengan abad ke 8 M.
Kitab pertama dan ke dua  itu menguraikan tentang alam kayangan kehidupan para dewa dan dewi sampai kepada Amaterasu Omi Kami (dewa matahari) dan Tsukiyomi (dewa bulan). Diangkat untuk menguasai langit dan putranya Jimmu Tenno diangkat untuk menguasai tanah yang subur (bumi Jepang) lalu disusul dengan sisilah turunan Kaisar Jepang itu beserta riwayat hidup satu persatuanya.Selanjutnya upacara-upacara keagamaan yang dilakukan dalam masa yang panjang itu, dan berkenaan dengan pemujaan terhadap Kaisar beserta para dewa dan dewinya. Dan didalam kata pendahuluan itu dalam kitab Kojiki, penulisnya menyatakan bahwa dia seorang bangsawan tingkat lima di istana, yang menerima perintah Kaisar untuk menyusun riwayat hidupnya dan silsilah keturunan Kaisar.  Dan kitab 3 dan 4 berisikan tentang kisah-kisah legendaris, nyanyian-nyanyian kepahlawanan, beserta sajak-sajak tentang asal usul kedewaan, asal usul kepulauan Jepang dan kerajaan Jepang.Ragam hal-hal kisah yang berkaitan tentang kehidupan para dewa dan para dewi dalam kayangan dilangit. Catatan peristiwa pada masa-masa terakhir barulah dilanjutkan dengan kisah sejarah[9].
F.      Peribadatan agama Shinto
Agama Shinto sangat mementingkan ritus-ritus dan memberikan nilai sangat tinggi terhadap ritus yang sangat mistis.Menurut agama Shinto watak manusia pada dasarnya adalah baik dan bersih.Adapun jelek dan kotor adalah pertumbuhan kedua, dan merupakan keadaan negatif yang harus dihilangkan melalui upacara pensucian (Harae).Karena itu agama Shinto sering dikatakan sebagai agama yang dimulai dengan dengan pensucian dan diakhiri dengan pensucian. Upacara pensucian (Harae) senantiasa dilakukan mendahului pelaksanaan upacara-upacara yang lain dalam agama Shinto. Ritus-ritus yang dilakukan dalam agama Shinto terutama adalah untuk memuja dewi Matahari (Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang pertanian (beras), yang dilakukan rakyat Jepang pada Bulan Juli dan Agustus di atas gunung Fujiyama[10].
G.  Upacara pemujaan dan keagamaan 
Pada setiapa hari kelahiran kaisar, seluruh lembaga pendidikan di Jepang, atas perintah resmi, melakukan uapacara yang kidmat dengan menundukan diri di depan gambar sang Kaisar. Kaisar itu dipandang suatu syang sangat sakral, Kaisar tidak menampakan diri didepan umum. Dalam upacara-upacara tertentu, pada saat kendaraan Kaisar melintas di jalan besar, seorang yang boleh memandang dari atas kepala Kaisar dibawah.Segala jendela pada setiap tingkatan atas itu mesti ditutup rapat.
Akan tetapi sehabis perang dunia kedua, maka perubahan besar terjadi pada kekuasaan Kaisar yang absolut itu telah digantikan kekuasaan rakyat melalui sitem pemilihan umum, dan kaisar sudah ditempatkan pada lambang belaka, yang kini bukan lagi suatu yang sakral akan tetapi dipandang sebagai manusia biasa, yang saat ini sudah bias bergaul dengan masyarakat umum, sebuah keyakinan asazi dalam agama Shinto itu telah menghilang tempat untuk berpijak[11]. Selain itu juga ada beberpa peryaan yang biasnya di peringati oleh pemeluk agam Shinto dan perayaan itu diadakan untuk tujuan tujuan yang berkenaan dengan pusaka leluhur, pengudusan, pengusiran roh jahat atau pertanian, puncak puncak perayaan diadakan pada tahun baru, saat menanam padi pada musim semi dan pada saat panen pada musim gugur, musim semi dan musim gugur adalah saat untuk menghormati leluhur dan mengunjungi makamnya, selama perayaan kami sering diarak melewati jalan jalan dalam tempat pemujaan yang bisa dibawa bawa untuk membuat setiap orang yakin bahwa kami sedang mengunjungi masyarakat untuk memberikan perlindungan.[12]
H.  Festival Matsuri
Matsuri berasal dari kata matsuru (menyembah, memuja) yang berarti pemujaan terhadap Kami atau ritual yang terkait. Dalam teologi agama Shinto dikenal empat unsur dalam matsuri: penyucian (harai), persembahan, pembacaan doa (norito), dan pesta makan. Matsuri yang paling tua yang dikenal dalam mitologi Jepang adalah ritual yang dilakukan di depan Amano Iwato.
Matsuri dalam bentuk pembacaan doa masih tersisa seperti dalam bentuk Kigansai (permohonan secara individu kepada jinja atau kuil untuk didoakan dan Jichinsai (upacara sebelum pendirian bangunan atau konstruksi). Pembacaan doa yang dilakukan pendeta Shinto untuk individu atau kelompok orang di tempat yang tidak terlihat orang lain merupakan bentuk awal dari matsuri. Pada saat ini, Ise Jingū merupakan salah satu contoh kuil agama Shinto yang masih menyelenggarakan matsuri dalam bentuk pembacaan doa yang eksklusif bagi kalangan terbatas dan peserta umum tidak dibolehkan ikut serta.
Sesuai dengan perkembangan zaman, tujuan penyelenggaraan matsuri sering melenceng jauh dari maksud matsuri yang sebenarnya. Penyelenggaraan matsuri sering menjadi satu-satunya tujuan dilangsungkannya matsuri, sedangkan matsuri hanya tinggal sebagai wacana dan tanpa makna religius. Kebanyakan festival dilaksanakan pada musim panas sekitar bulan July dan Agustus dan jatuh pada hari minggu sesuai dengan kalender masehi. Bulan ini juga merupakan bulan liburan anak sekolah, jadi festival dipastikan akan dipenuhi oleh para remaja dan anak anak. Matsuri Terbesar adalah :
·      Gion Matsuri (Yasaka-jinja, Kyoto, bulan Juli)
·      Tenjinmatsuri (Osaka Temmangu, Osaka, 24-25 Juli)
·      Kanda Matsuri (Kanda Myōjin, Tokyo, bulan Mei)
a)      Gion Matsuri
 
Adalah tradisi yang berasal dari sekitar 1.100 tahun yang lalu. Pada tahun 869 konon terjadi wabah penyakit menular yang mengganas di seluruh Jepang, sehingga perlu diadakan upacara yang disebut Goryō-e untuk menenangkan arwah orang yang meninggal karena wabah penyakit menular. Pendeta Shintō bernama Urabe Hiramaro membuat 66 pedang dengan mata di dua sisi (hoko) untuk persembahan kepada penjaga dari penyakit menular yang disebut dewa Gozutennō. Jumlah Hoko yang dibuat sesuai dengan jumlah negara-negara kecil (kuni) yang terdapat di Jepang pada saat itu. Upacara ini kemudian dikenal sebagai Gion Goryō-e, yang kemudian penyebutannya disingkat menjadi Gion-e.
Berbeda dengan Gion Matsuri yang dikenal sekarang ini, prosesi Yamaboko yang menjadi puncak perayaan Gion Matsuri pada tahun 1966 dilakukan dalam dua tahap:
  • Zensai (prosesi Yama dan Hoko pada tanggal 17 Juli)
  • Ato Matsuri (prosesi Yama saja pada tanggal 24 Juli).
Yamaboko adalah istilah untuk Yama dan Hoko. Yama adalah kendaraan beroda (float) besar dari kayu dengan hiasan megah dan ditarik oleh banyak orang. Hiasan kendaraan (kenshōhin) pada Yama berupa benda-benda keagamaan dan benda-benda seni seperti karpet yang didatangkan dari Eropa dan Tiongkok melalui Jalan Sutra. Perdagangan dengan Dinasti Ming mencapai puncaknya pada zaman Muromachi, sehingga motif dari luar negeri banyak dipamerkan dalam Gion Matsuri. Masing-masing Yama mempunyai tema yang biasanya merupakan cerita dongeng yang berasal dari Tiongkok.
Hoko adalah jenis Yama dengan menara menjulang tinggi yang di ujung paling atasnya terdapat hoko (katana dengan mata di dua sisi) walaupun ada juga Hoko yang tidak bermenara. Hoko juga dijadikan panggung untuk kelompok orang berpakaian Yukata yang terdiri dari pemain musik Gionbayashi dan peserta yang berkesempatan naik karena memenangkan undian hasil membeli Chimaki atau Gofu (semacam jimat). Musik Gionbayashi yang menurut telinga orang Jepang berbunyi "Kon-chi-ki-chin" baru menjadi tradisi Gion Matsuri pada zaman Edo.
b)     Tenjin matsuri
Perayaan Tenjinmatsuri dimulai pada tanggal 1 Juni tahun 951. Pada saat itu, perayaan dibuka dengan ritual menghanyutkan kamihoko (pedang dengan mata di kedua sisi) di sungai Ōkawa. Lokasi perayaan ditentukan berdasarkan tempat tersangkutnya kamihoko yang dihanyutkan air sungai. Penghanyutan kamihoko merupakan asal-usul ritual Hokonagashi yang dilakukan sampai sekarang ini. Puncak perayaan berupa prosesi perahu berasal dari ritual Hokonagashi yang menentukan lokasi perayaan di tengah sungai.[13]
Dalam sepanjang sejarah agama Shinto, matsuri merupakan hala yang amat penting. Kehidupan yang soleh dan taat adalah Matsuri dan hiddup itu sendiri sama dengan matsuri. Upacara-upacara keagamaan juga disebut matsuri. Oleh karena didalam pemikiran bangsa jepang lama kehidupan politik harus mengikuti keinginan para dewa, maka tidak ada pemerintahan tanpa matsuri. Dari sini timbul konsep Saise-itchi yaitu konsep kesatuan antara agama dan Negara ; dan matsuri-goto,  yang berarti pemerintahan, adalah sinonim dari kata matsuri. Sebagai suatu festival keagamaan, dunia matsuri sangat banyak, yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi 4 macam :
·         Haru-matsuri – festival musim semi – yang bertujuan memohon rahmar dewa agar mendapat panen yang melimpah.
·         Aki-matsuri – festival musim gugur – sebagai pernyataan terimakasih pada dewa atas hasil panen yang diperoleh.
·         Reisai –. festial tahunan yang diselenggarakan pada bulan-bulan tertentu
·         Shinko-shiki – festival arak-arakan dewa, yaitu untuk memuja dewa tertentu agar memperoleh keselamatan dari berbagai macam penyakit.[14]
I.       Ritual Keagamaan
Mengenai tata cara sembahyang atau doa dalam kuil Shinto sangat sederhana yaitu melemparakan sekeping uang logam sebagai sumbangan di depan altar, mencakupkan kedua tangan di dada dan selesai. Jadi semua proses berdoa yang dilakukan dengan berdiri ini tidak lebih dari sepuluh detik. Doa dilakukan tidak mengenal hari atau jam khusus jadi bebas dilakukan kapan saja. Sedikit catatan, bisa saya sebutkan bahwa tata cara doa di kuil Shinto dengan kuil Buddha sangatlah mirip. Yang sedikit berbeda adalah di kuil Buddha tangan dicakupkan ke depan dada dengan pelan, hening dan tanpa suara, sedangkan kuil Shinto adalah sebaliknya yaitu mencakupkan tangan dengan keras sehingga menghasilkan suara sebanyak dua kali (mirip tepuk tangan).
Walaupun aturan tata cara berdoa ini bisa disebut baku namun sama sekali tidaklah bersifat mengikat. Berdoa tepat di depan altara utama, dari halaman kuil, dari luar pintu gerbang, dilakukan tidak dengan mencakupkan tangan namun membungkukan badan atau bahkan tidak berdoa sama sekali bukanlah masalah sama sekali.  Agama Shinto ada beberapa proses ritual atau ibadah ynag bertujuan untuk mensucikan diri mereka, Agama Shinto sangat mementingkan ritus-ritus dan memberikan nilai sangat tinggi terhadap ritus yang sangat mistis. Menurut agama Shinto watak manusia pada dasarnya adalah baik dan bersih. Adapun jelek dan kotor adalah pertumbuhan kedua, dan merupakan keadaan negatif yang harus dihilangkan melalui upacara pensucian (Harae). Karena itu agama Shinto sering dikatakan sebagai agama yang dimulai dengan dengan pensucian dan diakhiri dengan pensucian. Upacara pensucian (Harae) senantiasa dilakukan mendahului pelaksanaan upacara-upacara yang lain dalam agama Shinto. Ritus-ritus yang dilakukan dalam agama Shinto terutama adalah untuk memuja dewi Matahari (Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang pertanian (beras), yang dilakukan rakyat Jepang pada Bulan Juli dan Agustus di atas gunung Fujiyama.[15]
J.       Pendeta Shinto 
Pendeta dalam agama Shinto disebut kannushi (shinshoku). Istilah kannushi sudah dikenal sejak zaman kuno untuk orang yang menjalankan ritual di kuil. Di antara tugas utama kannushi termasuk mengelola kuil dan melaksanakan berbagai upacara, namun tidak memberi ceramah dan tidak menyebarluaskan agama.Kepala pendeta disebut gūji, tugasnya memimpin upacara, mengelola manajemen keuangan kuil, dan bertanggung jawab atas keseluruhan urusan kuil.Miko adalah sebutan untuk wanita asisten kannushi dalam melaksanakan upacara atau pekerjaan administrasi kuil. Istilah miko dulunya dipakai untuk wanita yang memiliki kekuatan magis untuk menerima ramalan (takusen) dalam keadaan raga dirasuki Kami (kamigakari).
K.       Mitologi Jepang
Folklor yang sekarang disebut mitologi Jepang, hampir seluruhnya berdasarkan cerita yang terdapat dalam Kojiki, Nihonshoki, dan Fudoki dari berbagai provinsi di Jepang. Dalam kata lain, mitologi Jepang sebagian besar berkisar pada berbagai kami penghuni Takamanohara (Takaamahara, atau Takamagahara), dan hanya sedikit sumber literatur tertulis yang dapat dijadikan rujukan. Di zaman kuno, setiap daerah di Jepang diperkirakan memiliki sejenis kepercayaan dalam berbagai bentuk dan folklor. Bersamaan dengan meluasnya kekuasaan Kekaisaran Yamato, berbagai macam kepercayaan diadaptasi menjadi Kunitsugami atau "dewa yang dipuja" yang bentuknya menjadi hampir seragam, dan semuanya dikumpulkan ke dalam "mitologi Takamanohara". Sementara itu, wilayah dan penduduk yang sampai di abad berikutnya tidak dikuasai Kekaisaran Yamato atau pemerintah pusat Jepang yang lain, seperti Suku Ainu dan orang Kepulauan Ryūkyū masing-masing juga memiliki mitologi sendiri
I.           KESIMPULAN
1.      Agama Shinto timbul pada zaman Prasejarah dan siapa pembawanya tak dapat dikenal dengan pasti. Nama asli agama itu ialah Kami no Michi yang bermakna jalan dewa. Pada saat Jepang berbenturan dengan kebudayaan Tiongkok maka nama asli itu terdesak kebelakang oleh nama baru, yaitu Shin-To. Nama baru itu perubahan bunyi dari Tien-Tao, yang bermakna jalan langit.
2.       Konsep Tuhan dalam kepercayaan Shinto adalah sangat sederhana yaitu : " Semua benda di dunia, baik yang bernyawa ataupun tidak, pada hakikatnya memiliki roh, spirit atau kekuatan jadi wajib dihormati" Sejak awal sebenarnya secara natural manusia sudah menyadari bahwa mereka bukanlah mahluk kuat dan di luar mereka ada kekuatan lain yang lebih superior yang langsung ataupun tidak langsung berpengaruh terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Pengakuan, kekaguman, ketakutan dan juga kerinduan pada Spirit atau "Kekuatan Besar" yang disebut dengan nama Kami atau Kami Sama itu diwujudkan dalam bentuk tarian, upacara dan festival budaya.
3.      Kitab Suci Agama Shinto adalah Kojiki, Nihonji, Yengisiki, Manyoshiu.
4.      Aliran-aliran dalam agama Shinto adalah Imperial Shinto (Kyūchū Shinto atau Koshitsu Shinto), Folk Shinto (Minzoku Shinto), Sect Shinto (Kyoha atau Shuha Shinto), Shrine Shinto (Jinja Shinto).
5.      Mengenai tata cara sembahyang atau doa dalam kuil Shinto sangat sederhana yaitu melemparakan sekeping uang logam sebagai sumbangan di depan altar, mencakupkan kedua tangan di dada dan selesai. Jadi semua proses berdoa yang dilakukan dengan berdiri ini tidak lebih dari sepuluh detik. Doa dilakukan tidak mengenal hari atau jam khusus jadi bebas dilakukan kapan saja.
6.      Ritus-ritus yang dilakukan dalam agama Shinto terutama adalah untuk memuja dewi Matahari (Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang pertanian (beras), yang dilakukan rakyat Jepang pada Bulan Juli dan Agustus di atas gunung Fujiyama.
7.      Beberapa perayaan yang biasanya di peringati oleh pemeluk agama Shinto dan perayaan itu diadakan untuk tujuan yang berkenaan dengan pusaka leluhur, pengudusan, pengusiran roh jahat atau pertanian, puncak puncak perayaan diadakan pada tahun baru, saat menanam padi pada musim semi dan pada saat panen pada musim gugur, musim semi dan musim gugur adalah saat untuk menghormati leluhur dan mengunjungi makamnya, selama perayaan kami sering diarak melewati jalan jalan dalam tempat pemujaan yang bisa dibawa bawa untuk membuat setiap orang yakin bahwa kami sedang mengunjungi masyarakat untuk memberikan perlindungan.
8.      Matsuri berasal dari kata matsuru (menyembah, memuja) yang berarti pemujaan terhadap Kami atau ritual yang terkait. Dalam teologi agama Shinto dikenal empat unsur dalam matsuri: penyucian (harai), persembahan, pembacaan doa (norito), dan pesta makan. Matsuri yang paling tua yang dikenal dalam mitologi Jepang adalah ritual yang dilakukan di depan Amano Iwato.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muhammad, H, Prof, M.Ed, Mengguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, GT. Press, Jakarta.
Huston Smith, Agama-agama manusia, Yayasan Obor Indonesia; Jakarta, cet ke-6, 2001.
Sou’yb. Joesoef.Agama-agama besar di dunia.PT. Al-Huzna Zikra. Jakarta, cet. Ke-3 1996
Michael keene . Agama-agama dunia. (Jakarta: kanisius,2006)
William L. Langer di dalam Encyclopedia of worldhistory edisi 1956 (Internet)
Mukti Ali, H.A.. Agama-Agama Di Dunia. Yogyakarta: 1988. IAIN Sunan Kalijaga Press.


[1]William L. Langer di dalam Encyclopedia ofworldhistory edisi 1956 halaman 138-137
[2] Joesoef Sou’yb. Agama-agama besar di dunia.Hal. 207
[3] Ibid 209
[4] Prof. H.M. Arifin. M.Fd. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar.Hal. 47
[6] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia,hal.241-246
[7] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia,hal.254-255
[8] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia,hal.233-235
[9] Joesoef Sou’yb. Agama-agama besar di dunia.Hal. 212
[10]Huston Smith, Agama-agama manusia, Yayasan Obor Indonesia Hal.
[11] Joesoef Sou’yb. Agama-agama besar di dunia.Hal. 213
[12] Michael keene . Agama-agama dunia. (Jakarta: kanisius,2006), hal 176.
[13] http://sofiswa.blogspot.com/2011/12/agama-shinto.html  dikutip Maret 16,2013, pada 15:44
[14] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia,hal.259
[15] http://thoriqs.blogspot.com/2011/03/makalah-agama-shinto.html. diakses pada 2 April 2013 pada jam 11.30

0 komentar:

Posting Komentar