About

STAIN KEDIRI

STAIN KEDIRI
USHULUDDIN

Kamis, 10 Desember 2015

Maqomat dan Akhwal




A.    Latar Balakang
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar. banyak pengertian tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh.
Perjalanan menuju Allah merupakan metode pengenalan (ma’rifat) secara rasa (rohaniah) yang benar terhadap Allah. Manusia tidak akan tahu banyak mengenai penciptanya apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah walaupun ia adalah orang yang beriman secara aqliyah. Hal ini karena adanya perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah  atau logis-teoritis (Al-Iman Al-aqli An-nazhari) dan iman secara rasa (al-iman Asy-syu’uri Ad-dzauqi).
Lingkup ‘Irfani tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam(tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal). Dua persoalan ini harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan.
Namun perlu dicatat, maqam dan hal tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi dalam satu mata uang. Keterkaitan antar keduanya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa maqam menjadi prasyarat menuju Tuhan dan dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal. Hal yang telah ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqam selanjutnya. Untuk itu penulis akan membahas tentang maqam dan ahwal dalam tasawuf.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan maqamat dan tahapan-tahapannya dalam tasawuf ?
2.      Apa yang dimaksud dengan ahwal dan tahapan-tahapannya dalam tasawuf?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    MAQAMAT
1.      Pengertian Maqamat
Al maqam berarti iqamah, sebagaimana kata al madkhal berarti idkhal dan al makhraj berarti al ikjraj. Maqam adalah tahapan adab seorang hamba dalam qushul kepadanya dengan macam upaya mewujudkannya dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Masing-masing maqamat berada dalam tahapannya sendiri.
Syaratnya, seorang hamba tidak akan naik dari satu maqam ke maqamat yang lainnya sebelum terpenuhinya maqama-maqamat tersebut. Barangsiapa yang belum sepenuhnya qana’ah, belum bisa mencapai tahap tawakal, dan barang siapa  yang belum tawakal tidak sah bertaslim. Siapa yang tidak bertaubat, tidak sah pula berinabatnya, dan barang siapa yang tidak wara’ tidak sah unutk berzuhud.

2.      Tingkatan-Tingkatan Maqamat
Dalam bukunya yang berjudul al luma’fit tashawwuf oleh Abu Nasr al Sarraj at Tusi, diketengahkan ada 7 maqam secara urut, yaitu maqam taubat, wara’, zuhud, fakir, sabar, tawakal dan ridho. Masing-masingn maqam diberi arti sesuai dengan cita penyucian hati secara sufi. Pada puncaknya, akan tercapai pembebasan hati dari segala ikatan dunia yaitu menciptakan suasana hati yang netral dan memandang sepele terhadap dunia. Dalam ajaran tasawuf dunia, diibaratkan wanita bahu laweyan yang molek tetapi siapa yang mengawini tentu akan binasa. Diantara maqam-maqam ketujuh itu adalah
a.       Maqam Taubat
Maqam Taubat ini berkembang dan mendapat berbagai macam pengertian yang membedakan antara taubat dalam syariat biasa dengan taubat dalam tasawuf diperdalam dan dibedakan antara taubatnya orang awam dengan taubatnya orang khawas. Dalam hal ini dzu al Nun an Mishri mengatakan:
توبة العوام من اذنوب وتوبة الخوا من الغفله
“taubatnya orang-orang awam adalah taubat dari dosa-dosa, taubatnya orang khawas adalah taubat dari ghaflah (lalai mengingat Tuhan)”.[1]
“menurut teori mistik yang tinggi, taubat semata-mata anugerah Tuhan, datang dari Tuhan kepada manusia, tidak dari manusia kepada Tuhan.”[2]
b.      Maqam Waara’
Dalam Risalah al Qusyairiyah banyak membahas tentang maqam wara’ beserta pandangan para sufi tentang hal ini. Wara’ adalah meninggalkan perkara yang syubhat, yakni menjauhi atau meninggalkan segala hal yang belum jelas hukumnya entah itu halal ataupun haram.
كن ورعاتكن اعبد الناس
“hendaklah kamu menjalankan laku wara’, agar kamu jadi ahli ibadah”.
Menjalani kehidupan dengan wara’ ini memang penting bagi perkembangan mentalitas keislaman, apalagi untuk tasawuf. Selainitu, juga merupakan langkah awal untuk membersihkan hati dari ikatan keduniawian.
c.       Maqam Zuhud
Zuhud pada dasarnya adalah tidak tamak ataupun tidak menginginkan  atau mengutamakan hal-hal yang merupakan kesenangan duniawi. Abu Ustman berkata, “Zuhud itu kamu meninggalkan duniawi, kemudian kamu tidak peduli siapa yang mnengambilnya”. Dalam maqam zuhud ini, dijadikan upaya melatih diri dan menyucikan hati untuk melepas ikatan hati dengan dunia. Abu Sulaiman al Darani mengatakan:
الزهد ترك ما يشغل عن الله تعالى
“Zuhud adalah meninggalkan segala yang melalaikan hati dari Allah”.
Juga seperti yang dikatakan Abd al Hakim Hassan, “demikian zuhud terkandung pada makna istilah yang dikenal asket. Yaitu mengasingkan diri dari kehidupan untuk tekun beribadah, menjalani latihan rohani, memerangi keinginan duniawi atau hawa nafsu dalam pengasingan dan dalam pengembaraan berpuasa, menyedikitkan makan dan memperbanyak zikir.[3]


d.      Maqam Fakir
Dengan wara’ berusaha meninggalkan syubhat agar hidup hanya mencari kejelasan halal dan haram, kemudian dengan zuhud mulai menjauhi keinginan terhadap halal-halal dan hanya menjalani hidup dengan perkara yang amat penting saja. Dalam maqam fakir ini sebagai puncaknya, yaitu mengosongkan seluruh hati dari ikatan dan keinginan terhadap apa saja selain Tuhan. Yang dituju dalam maqam ini adalah memutuskan ikatan diri dari keduniawiandan mengisi hatinya dengan keindahan penghayatan ma’rifat pada Dzat Tuhan.
e.       Maqam Sabar
Sabar merupakan tiang bagi akhlak mulia dan juga perintah suci agama. Penguasaan diri dan bersabar dalam waktu yang mengalami kesempitan, susah, penderitaan, tantangan dan perang merupakan mentalitas Islam. Seperti yang dikatakn oleh Ibnu ‘Atha
الصبر : الوقوف مع البلاء بحسن الأدب
"sabar adalah menerima segala bencana dengan laku sopan atau rela”[4]
Dengan maqam sabar para sufi memang telah menyangaja dan menyiapkan diri bergelimang dengan seribu atau kesulitan dan derita dalam hidupnya dengan sikap sabar, tanpa ada keluhan sedikitpun.
f.       Maqam Tawakal
Tawakal dijadikan salah satu dari maqam tasawuf sebagai wasilah atau sebagai tangga untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah.
التوكل هو الاعتصام بالله تعالى
“Tawakal itu berserah diri (mempercayakan diri) pada jaminan pemeliharaan Allah sepenuhnya.
g.      Maqam Ridla
Maqam ridla adalah untuk menangapi dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan dan kesusahan menjadi kegembiraan dan kemnikmatan. Seperti yang dikatakan oleh Imam al Ghazali “rela menerima apa saja”. Segala yang telah dan sedang dialami itulah yang terbaik baginya, tak ada yang lebih baik selain apa yang telah dan sedang dialaminya. jadi, dengan ridla segala derita dan percobaan Tuhan ditanggapinya sebagai rahmat Allah.al Nuri mengatakan:
الرضا : سرور القلب بمر القضاء
“Ridlo itu kegirangan hati menangapi kepedihan ketentuan Tuhan.”
Tasawuf mengubah citra Islam sebagai agama jihad untuk membina masyarakat dan negara yang Baldatun thayyibatun wa robbun ghofur, menjadi berwatak egois kerohanian, menciptakan orang-orang yang suka merenung dan berzikir yang merindukan kebahagiaan pribadi dalam penghayatan ma’rifat pada Tuhannya. Dalam kitabnya al Ghazali Ihya’ ‘Ulumuddin juz 3, “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabahu”, sebenarnya bisa diubah sedikit menjadi “man ‘arafa nafasahu ya’rifu rabbahu”. yakni barangsiapa telah mengenal jati dirinya, tentu akan lebih mengenal dan menghayati keagungan Tuhannya. Mawas diri dan pengendalian nafsu-nafsu adalah sarana yang paling efektif untuk laku (mujadalah) dan olahbatin dalam menata hidupnya untuk sabar dan tabah, rela menerima segala cobaan dan tantangan penderitaan hidup keimanan dan ketakwaan pada keagungan  Allah.

B.   Ahwal
Secara bahasa, ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti keadaan sesuatu (keadaan rohani). Menurut Syeikh Abu Nashr as-Sarraj, hal adalah sesuatu yang terjadi secara mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak mampu bertahan lama, sedangkan menurut al-Ghazali, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata. Sehubungan dengan ini, Harun Nasution mendefinisikan halsebagai keadaan mental, seperti perasaan senang, persaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya.
Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi di atas, maka tidak ada perbedaan, yang pada intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci. Hal berlainan dengan maqam, hal tidak menentu datangnya, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaih dan ada pula yang datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih.[5] Jika maqam diperoleh melalui usaha, akan tetapi hal bukan diperoleh melalui usaha, akan tetapi anugerah dan rahmat dari Tuhan. Maqam sifatnya permanen, sedangkan hal sifatnya temporer sesuai tingkatan maqamnya.[6] Sebagaimana halnya dengan maqamat, dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi. Adapun al- hal yang paling banyak disepakati adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’ninah, al-musyahadah, dan Uns.[7] Penjelasan tentang ahwal tersebut adalah sebagai berikut:
1.   Muraqabah
Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Sesungguhnya manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya.
Kehati-hatian (mawas diri) adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya.
Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, “Jalan kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari”.[8]
2.   Khauf
Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdianya. Takut dan kawatir kalau Allah tidak senang kepadanya. Menurut  Imam Ghozali Khauf adalah rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak disenangi.
Menurut Imam Ghozali Khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga derajat, diantaranya adalah:
a.   Tingkatan Qashir (pendek), Yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang dimiliki wanita, perasaan ini seringkali dirasakan tatkala mendengarkan ayat-ayat Allah dibaca.
b.   Tingkatan Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati batas kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa, khauf tingkat ini menyebabkan hilangya kendali akal dan bahkan kematian, khauf ini dicela karena karena membuat manusia tidak bisa beramal.
c.   Tingkatan Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji, ia berada pada khauf qashir dan mufrith.[9]
Rasulullah SAW bersabda: "Apabila tubuh hamba menggigil karena takut kepada Allah SWT, dosa-dosanya berguguran seperti daun-daun yang berguguran dari pohon".
Abû al-Layts r.a. berkata, "Allah memiliki para malaikat di langit ketujuh. Mereka bersujud sejak Allah menciptakan mereka hingga hari kiamat. Mereka menggigil ketakutan karena takut kepada Allah SWT Apabila hari kiamat tiba, mereka mengangkat kepala dan berkata, Mahasuci Engkau, kami menyembah-Mu dengan penyembahan yang sebenar-benarnya".

3.   Raja’
Raja’ dapat berarti berharap atau optimisme, yaitu perasaan senang hati karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’ atau optimisme ini telah ditegaskan dalam al-Qur’an:
¨bÎ) šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä z`ƒÉ©9$#ur (#rãy_$yd (#rßyg»y_ur Îû È@Î6y «!$# y7Í´¯»s9'ré& tbqã_ötƒ |MyJômu «!$# 4 ª!$#ur Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇËÊÑÈ 
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Al-Baqarah: 218).
Orang yang harapan dan penantiannya mendorongnya untuk berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapannya benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya angan-angan, semenatara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan, harapannya sia-sia.
Raja’ disebabkan tiga perkara, yaitu:
a.       Cinta kepada apa yang diharapkannya.
b.      Takut bila harapannya hilang.
c.       Berusaha untuk mencapainya.
raja’ yang tidak dibarengi dengan tiga perkara itu hanyalah ilusi atau hayalan. Setiap orang yang berharap adalah juga orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai di suatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Dan karena takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu pula orang yang mengharap rida atau ampunan Tuhan, diiringi pula dengan rasa takut akan siksaan Tuhan.[10]

4.  Thuma’ninah
Thuma’ninah adalah rasa tenang, tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Seseorang yang telah mencapai tingkatan thuma’ninah, ia telah kuat akalnya, kuat imannya dan ilmunya serta bersih ingatannya. Jadi, orang tersebut merasakan ketenangan, bahagia, tentram dan ia dapat berkomunikasi langsung dengan Allah. Thuma’ninah dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, ketenangan bagi kaum awam. Ketenangan ini didapatkan ketika seorang hamba berzikir, mereka merasa tenang karena buah dari berzikir adalah terkabulnya doa-doa. Kedua, ketenangan bagi orang-orang khusus. Mereka di tingkat ini merasa tenang karena mereka rela, senang atas keputusan Allah, sabar atas cobaan-Nya, ikhlas dan takwa. Ketiga, ketenangan bagi orang-orang paling khusus. Ketenangan di tingkat ini mereka dapatkan karena mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa tentram kepada-Nya dan tidak bisa tenang kepada-Nya, karena kewibawaan dan keagungan-Nya.[11]

5.  Uns
Uns (suka cita) dalam pandangan sufi adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Dalam keadaan seperti ini, seorang sufi merasakan tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwa terpusat bulat kepada-Nya, sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan seperti itulah yang disebut al-Uns. Ada sebuah ungkapan yang menggambarkan al-Uns sebagai berikut: “Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya, sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Ada pula orang yang bising dalam kesepian. Ia adalah orang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau selalu berteman di manapun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah. Artinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah.
Seorang hamba yang merasakan Uns dibedakan menjadi tiga kondisi. Pertama, seorang hamba yang merasakan suka cita berzikir mengingat Allah dan merasa gelisah di saat lalai. Merasa senang di saat berbuat ketaatan dan gelisah berbuat dosa. Kedua, seorang hamba yang merasa senang dengan Allah dan gelisah terhadap bisikan-bisikan hati, pikiran dan segala sesuatu selain Allah yang akan menghalanginya untuk dekat dengan Allah. Ketiga, yaitu kondisi yang tidak lagi melihat suka citanya karena adanya wibawa, kedekatan, kemuliaan dan mengagungkan disertai dengan suka cita.[12]
6.   Musyahadah
Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Secara terminologi, tasawuf adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya (Allah) atau penyaksian terhadap kekuasaan dan keagungan Allah. Seorang sufi telah mencapai musyahadah ketika sudah merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah berada dalam hatinya dan seseorang sudah tidak menyadari segala apa yang terjadi, segalanya tercurahkan pada yang satu, yaitu Allah, sehingga tersingkap tabir yang menjadi senjangan antara sufi dengan Allah. Dalam situasi seperti itu, seorang sufi memasuki tingkatan ma’rifat, di mana seorang sufi seakan-akan menyaksikan Allah dan melalui persaksiannya tersebut maka timbullah rasa cinta kasih.
            Perpaduan antara pengetahuan dan rasa cinta yang mendalam lagi dengan adanya perjumpaan secara langsung, maka tertanamlah dalam qalb perasaan yang mantap tentang Allah. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang dinamakan al-yaqin. Jadi, al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya.


BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan



[1] Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 51
[2] R.A. Nicholson, Ibid, hlm. 52
[3] Ibdi, hlm. 60
[4] Ibid, hlm. 65
[5] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011) h.262-263
[6] Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h.200
[7] Ibid h.263-264
[8] http://httpahmadbudiyonoblogspotcom.blogspot.com/2012/04/pengetian-dan-tahapan-maqamat-dan-ahwal.html di akses tgl 20/03/2015
[9] Ibid h.266-267
[10] Rosibon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu..., h.75-76
[11] Ibid h.269-270
[12] Ibid, h.270-271


0 komentar:

Posting Komentar