About

STAIN KEDIRI

STAIN KEDIRI
USHULUDDIN

Kamis, 10 Desember 2015

ISLAM INDONESIA



ISLAM INDONESIA

         
A. PENDAHULUAN
          Berbagai agama dan keyakinan hidup di Indonesia. Sebelum Islam masuk, Hindu dan Budha sempat menjadi kepercayaan mayoritas di Nusantara. Keduanya, beserta kepercayaan asli penduduk Nusantara (Kepercayaan Kapitayan, orang luar menyebutnnya Animisme dan Dinamisme) memberikan dasar sosio-budaya yang kuat di dalam masyarakat. Konteks sosio-budaya yang telah terbangun itu berbeda dengan konteks sosio-budaya yang berkembang di Arab. Sehingga warna Islam yang hidup di Indonesia pun memiliki perbedaan dengan Islam di Arab. Dalam konteks Madzhab, Islam Indonesia mayoritas menganut Syafi’i. Islam didedahkan sebagai agama kearifan yang ajarannya senantiasa kontekstual dalam altar kekinian dan kedisinian. Di sinilah proses reinventing ini dilakukan dalam konteks dialektika antara Islam dan budaya lokal mengalami proses take and give, saling memberi dan menerima, saling mengambil dan belajar sebagai momentum menemukan Islam keindonesiaan dalam proses reinventing secara simultan, bukan Arabisme.
Agama dan tradisi merupakan dua unsur penting dalam masyarakat yang saling mempengaruhi. Ketika ajaran agama masuk dalam sebuah komunitas yang berbudaya, akan terjadi tarik menarik antara kepentingan agama di satu sisi dengan kepentingan budaya di sisi lain. Demikian juga halnya dengan agama Islam yang diturunkan di tengah-tengah masyarakat Arab yang memiliki adat-istiadat dan tradisi secara turun-temurun. Mau tidak mau dakwah islam yang dilakukan Rasulullah harus selalu mempertimbangkan seg-segi budaya masyarakat Arab waktu itu. Bahkan, sebagian ayat al-Qur’an turun melalui tahapan penyesuaian budaya setempat.
          Pada perkembangan selanjutnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan umat Islam tentang hasil dari proses dialog tersebut. Sebagian berpendapat rumusan ketetapan dianggap sebagai ajaran final yang harus diterapkan di semua lapisan ummat Islam, sedangkan pendapat lain mengemukakan bahwa yang final bukanlah hasil dari proses dialog, tetapi nilai dasar yang ingin disampaikan dari ayat yang bersangkutan. Sehingga sangat mungkin terjadi perbedaan aplikasi dari ketentuan yang sudah ada. Hal ini karena masing-masing umat islam memiliki budaya yang berbeda, hasil akhirnya ditentukan oleh kreatifitas masyarakat dalam mendialogkan kebudayaan mereka dengan ajaran agama yang diyakininya.  Di sisi lain terdapat pendapat bahwa Islam tidak identik dengan Arab, sehingga tidak semua yang berbau Arab adalah Islam. Harus dibedakan antara Islam sebagai agama dan Arab sebagai budaya. Di sinilah perlunya memilah antara mana yang merupakan ajaran dasar Islam dan mana yang telah berakulturasi dengan budaya Arab. Islam adalah agama universal sehingga ajarannya harus bisa diterapkan di manapun dan pada waktu kapan pun.
          Salah satu problem dakwah pengembangan Islam, acapkali tradisi lokal dibenturkan dengan normativitas agama. Masyarakat di nusantara ini, memiliki religiusitas tinggi yang lahir dari kesadaran mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan tradisi lokal. Nyata tanpa benturan, justru transformasi dan akulturasi Islam dan tradisi lokal menjadi spirit dinamis. Islam Indonesia vis a vis Islam Arabis kembali atau Islam Global menemukan relevansinya di tengah derasnya arus purifikasi dan otentifikasi Islam yang bersifat Arabisme oriented. Implikasinya, masyarakat mengalami kegamangan beragama yang membiaskan dalam jubah fundamentalisme Islam. Bergeliatnya arus neo-Arabisme dari sayap Islam fundamental itu cenderung "memaksakan" budaya lokal Arab "didaratkan" di pelbagai belahan bumi Indonesia yang memiliki setting budaya yang berbeda dengan Arab. Jika demikian adanya, bentangan garis demarkasi Islam dan dimensi lokal tercerabut dan resisten menjadikan Islam tanpa identitas lokalitas.
Dalam altar pemikiran ini, maka wacana reinventing Islam lokal menjadi relevan, sehingga keberagamaan kita memiliki autensitas dan identitas yang berpijak pada keagungan wahyu ilahi tanpa pembiasan budaya arabnya. Sebab gerakan pemurnian kaum fundamental melalui formalisasi Islam hanya melahirkan arabisme. Misalkan, spirit ajaran Islam justru terabaikan seperti kearifan Islam pada nilai pluralitas dan multikulturalnya diberangus. Untuk itu, penting sekali, bagi mereka yang belum paham, untuk mempelajari kembali identitas lokalitas Islam. Pemaknaan identitas tidak hanya dibatasi pada simbolisasi keislaman, tetapi pada nilai-nilai yang tercermin dari pemahaman dan pengamalan keislaman secara arif dalam merespons tradisi lokal yang beramalgamasi dengan anasir-anasir Islam.
Atas dasar inilah, pemikiran akulturasi Islam dengan budaya lokal dan relasi ajaran agama (Islam) dengan nilai-nilai lokal muncul, termasuk di Indonesia. PMII merupakan salah satu representasi dari komunitas kultural ummat Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU) yang memiliki kecenderungan untuk senantiasa mensinergikan ajarana agama (Islam) dengan budaya lokal dengan mengusung terma al-muhâfazat ‘alâ qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlâh (menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). PMII sebagai bagian dari entitas Islam Indonesia sebagaimana NU selalu menjadi inspirasi bagi gerakan dan pemikiran ke-Islam-an yang berwawasan kebangsaan, respons terhadap perubahan dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal Nusantara. PMII senantiasa memposisikan diri sebagai ‘jangkar’ Nusantara. Memperbincangkan sikap akomodatif PMII terhadap tradisi atau budaya lokal sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru. Tema hubungan PMII dengan budaya atau tradisi lokal tetap aktual, mengingat dua hal berikut: pertama, sikap akomodatif PMII terhadap budaya atau tardisi lokal bersifat dinamis; kedua, saat ini banyak kalangan umat Islam di luar PMII, khususnya yang berideologi puritanisme ala Wahabi yang sangat gencar “menyerang” ritual keagaman yang dianut kaum Nahdliyyin.

B. ISLAM DAN TRADISI: AKAR KULTUR ISLAM INDONESIA
Sebagaimana dimaklumi, sudah lama terjadi gesekan antara kelompok Islam lokal dengan Islam Arab. Sejak era Perang Paderi yang awalnya dipicu ketegangan antara orang Islam yang pro-Arabis (Tuanku Imam Bonjol) dengan kelompok Islam Adat. Pada era berikutnya, kita melihat ada kalangan anggota jamaah tabligh yang menggunakan pakaian seperti pakaian orang Arab dan mereka menganggap itu adalah sunnah Nabi, dan menganggap orang yang tidak berpakaian seperti mereka dianggap tidak mengikuti sunnah Nabi. Kelompok ini membedakan diri dengan komunitas Islam tradisi yang berkembang di Indonesia, bahkan menilai tradisi keagamaan yang bersifat lokal sebagai yang tidak Islam. Dalam masyarakat kita, memang terdapat banyak tradisi keagamaan yang bersemai dalam tradisi lokal seperti sekaten, tahlilan, mauludan, ruwahan, nyadran, peringatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari hingga haul, dan lain-lain.

          1. Pengertian tradisi
          Secara terminologis, ”tradisi” mengandung suatu pengertian tersembunyi tentang adanya kaitan antara masa lalu dengan masa kini. Ia menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu, tetapi masih berwujud dan berfungsi pada masa sekarang. Sewaktu orang berbicara tentang tradisi Islam secara tidak sadar ia sedang menyebut serangkaian ajaran atau doktrin yang dikembangkan ratusan atau ribuan tahun yang lalu tetapi masih hadir dan tetap berfungsi sebagai pedoman dari kehidupan sosial pada masa kini. Tradisi dalam pengertian yang paling elementer adalah sesuatu yang ditransmisikan atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini. Pengertian tersebut cukup menolong, namun masih terlalu umum untuk dipakai sebagai alat analisa. Tidak terungkap dari pengertian tersebut apa yang diwariskan, sudah berapa lama diwarisi, dengan cara bagaimana, lisan ataukah tulisan. Tentunya kita dapat menerima bahwa Taj Mahal di India, Spinx di Mesir, atau Borobudur di Jawa Tengah adalah monumen-monumen tradisional. Namun tentunya sulit diterima kalau bangunan-bangunan tersebut dikatakan sebagai tradisi. Itu semua adalah produk dari suatu tradisi, tetapi bukan tradisi itu sendiri.        
          Dalam hal ini definisi dalam Ensiklopedi Britanica memberikan pengertian yang lebih jelas, yakni “kumpulan dari kebiasaan, kepercayaan dan berbagai praktek yang menyebabkan lestarinya suatu bentuk pandangan hidupnya.” Berangkat dari uraian tersebut kiranya cukup jelas bahwa tradisi adalah sesuatu yang diwariskan dari masa lalu ke masa kini berupa non-materi, baik kebiasaan, kepercayaan atau tindakan-tindakan. Semua hal tersebut selalu diberlakukan kembali, tetapi pemberlakuan itu sendiri bukan tradisi karena justru mencakup pola yang membimbing proses pemberlakuan kembali tersebut.
         
          2. Tradisi dan Sunnah
          Dalam bahasa Arab, kata tradisi diidentikkan dengan kata Sunnah yang secara harfiah berarti jalan, tabi’at, atau perikehidupan. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi yang artinya: “Barang siapa yang mengadakan suatu kebiasaan yang baik, maka bagi orang tua akan mendapat pahala, dan pahala bagi orang yang melaksanakan kebiasaan tersebut.” Para ulama umumnya mengartikan bahwa yang dimaksud dengan kebiasaan yang baik itu adalah segenap pemikiran dan kreativitas yang dapat membawa manfaat dan kemaslahatan bagi umat. Yang termasuk dalam tradisi tersebut adalah mengadakan peringatan maulid nabi Muhammad SAW, Isra’ Mi’raj, tahun baru hijriyah dan sebagainnya.
          Selanjutnya kata ”Sunnah” menjadi suatu istilah yang mengacu pada segala sesuatu yang berasal dari Nabi, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan Nabi. Para ulama Muhadditsin, baik dari kalangan modern (khalaf) maupun kuno (salaf) menyamakan pengertian Sunnah tersebut dengan al-hadits, al-akhbar dan al-atsar. Atas dasar pengertian ini kaum orientalis Barat menyebut sebagai kaum tradisionalis kepada setiap orang yang berpegang teguh kepada al-sunnah Rasulullah SAW bahkan juga kepada mereka yang berpegang teguh kepada Al-Quran  (makanya, kita yang dituduh sebagai kaum tradisionalis jangan khawatir karena ini hanya tuduhan Barat). Islam Tradisi merupakan model pemikiran yang berusaha berpegang pada tradisi-tradisi yang telah mapan di masyarakat. Sedangkan Islam post-tradisi, bemaksud mendialogkan tradisinya dengan zaman modern.
          Bagi PMII, tradisi adalah khazanah peradaban manusia. Tugas PMII adalah menyatakan kembali atau merujukkan dengannya agar tetap survive dalam konstelasi kehidupan masa kini, tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian seperlunya. Perbedaan kita dengan kaum fundamentalis terletak pada penerimaannya pada tradisi. Ataupun dengan kaum modernis yang membuang tradisi dan ingin meniru Barat. Bedanya, Islam Fundamentalis membatasi tradisi yang diterima hanya sampai pada khulafa' al-rasyidin, sedang Islam Tradisi melebarkan sampai pada salaf al-shalih, sehingga kita bisa menerima kitab-kitab klasik sebagai bahan rujukan. Resikonya, memang terkadang bisa mengarah pada keteguhan memegang prinsip. Orang luar menyebutnya ekslusif, subjektif dan diterminis. Sedangkan kaum modernis ingin menafsirkan al-Qur’an dengan kerangka rasionalitas dan metode modern. Sikap Islam Tradisi yang tetap memegang teguh tradisi dan kemampuannya berdialog dengan modernisasi sebagaimana yang ditunjukkan NU dan PMII membuktikan bahwa tuduhan orang luar mengenai kelompok Islam tradisi tidak terbukti, sebab kita tetap bisa berdialog dengan modernitas, Cuma beda dialognya dengan kaum fundamentalis dan kaum modernis.

          4. Sejarah Perkembangan dan Pertumbuhan Islam Tradisi
          Berbicara mengenai Islam tradisi adalah berbicara mengenai kaum salaf. Dalam sejarahnya, Islam tradisi merupakan hasil cipta rasa dari kaum sunni (aliran sunni atau ahlussunnah). Aliran ini muncul karena peristiwa-peristiwa berikut:
          a. Fitnah pada saat Rasulullah SAW wafat. Ketika Rasulullah Muhammad SAW wafat, maka terjadilah kesalahpahaman antara golongan Muhajirin dan Anshar siapa yang selanjutnya menjadi pemimpin kaum muslimin. Para sahabat melihat hal ini akan mengakibatkan perang saudara antar kaum muslimin Muhajirin dan Anshor. Setelah masing-masing mengajukan delegasi untuk menentukkan siapa Khalifah pengganti Rasulullah. Akhirnya disepakati oleh kaum muslimin untuk mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah.
          b. Fitnah masa khalifah ke-3. Pada masa kekhalifahan ke-3, Utsman bin Affan, terjadi fitnah yang cukup serius di tubuh Islam pada saat itu, yang mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman. Pembunuhnya ialah suatu rombongan delegasi yang didirikan oleh Abdullah bin Saba' dari Mesir yang hendak memberontak kepada Khalifah dan hendak membunuhnya. Abdullah bin Saba' berhasil membangun pemahaman yang sesat untuk mengadu domba umat Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam. Kemudian masyarakat banyak saat itu, terutama disponsori oleh para bekas pelaku pembunuhan terhadap Utsman, berhasil membunuh beliau dengan sadis ketika beliau sedang membaca al-Qur'an.
          c. Fitnah masa khalifah ke-4. Segera setelah bai'at Khalifah Ali mengalami kesulitan bertubi-tubi. Orang-orang yang terpengaruh Abdullah bin Saba' terus menerus mengadu domba para sahabat. Usaha mereka berhasil. Para sahabat salah paham mengenai kasus hukum pembunuhan Utsman. Yang pertama berasal dari janda Rasulullah SAW, Aisyah, yang bersama dengan Thalhah dan Zubair berhasil diadu domba hingga terjadilah Perang Jamal atau Perang Unta. Dan kemudian oleh Muawiyah yang diangkat oleh Utsman sebagai Gubernur di Syam, mengakibatkan terjadinya Perang Shiffin. Melihat banyaknya korban dari kaum muslimin, maka pihak yang berselisih mengadakan ishlah atau perdamaian. Para pemberontak tidak senang dengan adanya perdamaian diantara kaum muslimin. Kemudian terjadi usaha pembangkangan oleh mereka yang pada awalnya berpura-pura/munafik. Merekalah Golongan Khawarij.
          d. Tahun jama’ah. Kaum Khawarij ingin merebut kekhalifahan. Tapi terhalang oleh Ali dan Muawiyah, sehingga mereka merencanakan untuk membunuh keduanya. Ibnu Muljam dari Khawarij berhasil membunuh Khalifah Ali pada saat khalifah mengimami shalat subuh di Kufah, tapi tidak terhadap Muawiyah karena dijaga ketat. Bahkan Muawiyah berhasil mengkonsolidasikan diri dan umat Islam, berkat kecakapan politik dan ketegaran kepemimpinannya. Karena belajar oleh berbagai pertumpahan darah, kaum muslim secara pragmatis dan realistis mendukung kekuasaan de facto Muawiyah. Maka tahun itu, tahun 41 Hijriyah, secara khusus disebut tahun persatuan ('am al-jama'ah).
          e. Sunnah madinah. Kaum muslimin mendalami agama berdasarkan Al-Qur'an, dan memperhatikan serta ingin mempertahankan sunnah Nabi di Madinah. Akhirnya ilmu hadits yang berkembang selama beberapa abad, sampai tuntasnya masalah pembukuan hadis sebagai wujud nyata Sunnah pada sekitar akhir abad ke-3 hijriyah. Saat itu, lengkap sudah kodifikasi hadis dan menghasilkan al-Kutub al-Sittah (Buku Yang Enam) yakni oleh al-Bukhari (w. 256 H), Muslim (w. 261 H), Ibnu Majah (w. 273 H), Abu Dawud (w. 275), al-Turmudzi (w. 279 H), dan al-Nasa'i (w. 303 H).
          Kemudian masa perkembangan Ahlus-Sunnah pada masa kekuasaan Bani Umayyah masih dalam keadaan mencari bentuk, hal ini dapat dilihat dengan perkembangan empat mazhab yang ada di tubuh Sunni. Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi, hidup pada masa perkembangan awal kekuasaan Bani Abbasiyah. Yaitu madzab Hanafi, Maliki, Syafi’i serta Hambali. Selanjutnya praktek Islam tradisionalis juga dapat dijumpai di India, Mesir, turki, dan juga Indonesia.

          5. Karakteristik Islam Tradisi
          Karakteristik (ciri-ciri atau corak pemikiran) Islam tradisi adalah sebagai berikut:
          a. Memegang teguh pada prinsip. Karena keteguhanya ini, orang luar terkadang salah paham dengan menilainya eksklusif (tertutup) atau fanatik sempit, tidak mau menerima pendapat, pemikiran dan saran dari kelompok lain (terutama dalam bidang agama). Hal ini dikarenakan mereka mengganggap bahwa kelompoknya yang paling benar.
          b. Bersifat toleran dan fleksibel. Karena sifat tolerannya terhadap tradisi maka orang luar terkadang salah paham dengan menilainya tidak dapat membedakan antara hal-hal yang bersifat ajaran dengan yang non-ajaran. Dengan ciri demikian, Islam tradisionalis mengganggap semua hal yang ada hubungannya dengan agama sebagai ajaran yang harus dipertahankan. Misalnya, tentang ajaran menutup aurat dan alat menutup aurat berupa pakaian. Yang merupakan ajaran adalah menutup aurat, sedangkan alat menutup aurat berupa pakaian dengan berbagai bentuknya adalah bukan ajaran. Jika ajaran tidak dapat diubah, maka yang bersifat non-ajaran dapat dirubah. Kaum islam tradisionalis tidak dapat membedakan antara keduanya, sehingga alat menutup aurat berupa pakaian-pun dianggap ajaran yang tidak dapat dirubah.
          c. Berpijak masa lalu untuk masa depan. Islam tradisionalis menilai bahwa berbagai keputusan hukum yang diambil oleh para ulama di masa lampau merupakan contoh ideal yang harus diikuti. Hal demikian muncul sebagai akibat dari pandangan mereka yang terlampau mengagungkan para ulama masa lampau dengan segala atributnya yang tidak mungkin dikalahkan oleh para ulama atau sarjana yang muncul belakangan. Walau demikian, pemahaman sebagai manhaj al-fikr juga membuka kemungkinan untuk diadakan ijtihad baru terhadap permasalahan yang mengemuka di era sekarang.
          d. Hati-hati dalam melakukan penafsiran teks agama. Keteguhan pada teks membuat kelompok ini dituduh sangat tekstulis, padahal tuduhan itu tidak tepat karena apa yang dilakukan kaum sunni ini adalah sikap kehati-hatiannya dalam mengambil hukum. Sehingga orang luar sering menuduhnya memahami ayat-ayat al-Qur’an secara tekstual tanpa melihat latar belakang serta situasi sosial yang menyebabkan ayat-ayat al-Qur’an tersebut diturunkan, sehingga jangkauan pemakaian suatu ayat sangat terbatas pada kasus-kasus tertentu saja tanpa mampu menghubungkannya dengan situasi lain yang memungkinkan dijangkau oleh ayat tersebut.
          e. Cenderung tidak mempersalahkan tradisi yang terdapat dalam agama. Pada waktu Islam datang ke Indonesia, di Indonesia sudah terdapat berbagai macam agama dan tradisi yang berkembang dan selanjutnya ikut mewarnai tradisi dan paham keagamaan yang ada. Tradisi yang demikian itu kalau yang baik tidak dipermasalahkan yang penting dapat menentramkan hati dan perasaan mereka. Sedangkan tradisi yang bertentangan dengan Islam harus dihilangkan atau diganti dengan yang substansinya sesuai dengan ajaran Islam.
         
          6. Islam Tradisi di Indonesia
Islam Tradisi yang berkembang di Indonesia sudah lama sejak era Walisongo. Sekaten merupakan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW di Yogyakarta. Istilah Sekaten berasal dari kata syahadatain, yaitu dua kalimat syahadat. Pada tanggal 5 bulan Maulud, kedua perangkat gamelan, Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu, dikeluarkan dari tempat penyimpanannya di bangsal Sri Manganti, ke Bangsal Ponconiti yang terletak di Kemandungan Utara (Keben) dan pada sore harinya mulai dibunyikan di tempat ini. Antara pukul 23.00 hingga pukul 24.00 kedua perangkat gamelan tersebut dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta, iring - iringan abdi dalem jajar, disertai pengawal prajurit Kraton berseragam lengkap. Pada umumnya, masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya berkeyakinan bahwa dengan turut berpartisipasi merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. ini yang bersangkutan akan mendapat imbalan pahala dari Yang Maha Kuasa, dan dianugrahi awet muda. Sebagai “Srono” (Syarat). Mereka harus menguyah sirih di halaman Masjid Agung, terutama pada hari pertama dimulainya perayaan sekaten. Puncak perayaan Sekaten disebut Gerebeg Mulud diselenggarakan pada hari keduabelas bulan Mulud kalender Jawa. Festival dimulai pada pukul 7.30 pagi, didahului oleh parade pengawal kerajaan yang terdiri dari 10 unit: Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo,Prawirotomo, Nyutro, Ketanggung, Mantrijeron, Surokarso, dan Bugis. Setiap unit mempunyai seragam masing-masing. Parade dimulai dari halaman utara Kemandungan kraton, kemudian melewati Siti Hinggil menuju Pagelaran, dan selanjutnya menuju alun-alun utara.
Pada kemudian hari kaum tradisionalis ini identik dengan warga Nahdathul Ulama (NU) dimana akar kultur PMII berada.
           
C. PRIBUMISASI ISLAM: EPISTEMOLOGI ISLAM INDONESIA
Dalam altar revitalisasi Islam dan kearifan lokal (local genius atau local wisdom) sejatinya dibaca dalam frame pemaknaan Islam secara substantif. Dialektika Islam sebagai ajaran universal dengan budaya lokal yang partikular mengharuskan ada dialog secara mutual dalam "membumikan" idealitas nilai-nilai Islam dalam realitas lapisan budaya lokal. Maksud menyemai aspirasi Islam ke dalam aspirasi keindonesiaan, maka Islam dibaca dalam optik sebagai sistem dari kultur Indonesia. Perspektif ini menjadi urgen dalam mengasimilasikan ajaran Islam dengan produk-produk kultur lokal. Proses ini menjadi penyeimbang "langitanisasi" dan "pribumisasi", misalkan Islamisasi Jawa dan Jawanisasi Islam. Dialektika kultur lokal ini niscaya saling memperkaya, bukan sebaliknya.  
Menempatkan Islam sebagai sistem kultur merupakan cerminan autentisitas Islam keindonesiaan dengan varian lokalitasnya. Membaca artikulasi Islam lokal dalam konteks pengusungan identitas Islam keindonesiaan, tentu dalam optik reinventing ini menjadikan Islam bergelit-kelindan dengan budaya lokal secara adaptif. Meski begitu, ide dan prinsip dasar Islam tidak berarti hilang tetapi terakomodasi secara dialektik dengan tradisi-tradisi lokal. Autentitas beragama dengan penguatan identitas lokalitas menjadi pijakan dakwah kultural dan multikultural ini menjadi cerminan karakteristik keberagamaan di Indonesia. Dialektika Islam dan kearifan budaya lokal menjadi isu yang relevan didedahkan dalam lanskap pencarian identitas Islam keindonesiaan (Firdaus Muhammad, Reinventing Islam Keindonesiaan, 2009).
Di aras pemikiran ini, menyemai Islam dan budaya lokal meniscayakan Islam untuk dibaca sebagai agama wahyu di satu sisi dan pada sisi lain Islam sebagai agama yang merawat tradisi lokal yang dimultitafsirkan secara artikulatif dengan nuansa lokalitas tadi. Bacaan ini tidak mereduksi Islam sebagai Agama langit tetapi juga dimaknai sebagai agama yang dibumikan dalam realitas yang multi-kompleks. Di sinilah Islam menemukan relevansinya sebagai ajaran langit dan bumi sekaligus, mempertemukan antara idealitas dan realitas dalam menjawab berbagai problematika kehidupan manusia. Islam yang rahmatan lil alamin sebagai sistem yang memberi solusi bukan sebaliknya, sebab selama ini bagi sebagian kalangan Islam justru menjadi problem. 
Kehadiran Islam di tengah-tengah realitas multikultur Indonesia meniscayakan kearifan "memperlakukan" nilai-nilai lokalitas disemaikan (tradisi) Islam. Interaksi Islam dan tradisi lokal lahir ketika Islam secara sosial telah menjadi kekuatan yang tangguh, dipertemukan tradisi lokal sebagai nilai-nilai yang mengakar dalam masyarakat secara akulturatif.
          Dalam konteks Islam lokal ini tidak lagi mengenal vonis atau stigma teologis terhadap sistem sosial dan ritus keagamaan yang telah mengakar di masyarakat lokal, misalnya dalam tradisi Barzanji. Proses reinventing Islam lokal ini sekaligus membendung arus puritanitas dan stigmatisasi Islam lokal sebagai Islam tidak otentik. Justru yang hendak diupayakan adalah proses penyemaian Islam dan tradisi lokal sebagai pilar Islam Indonesia yang senafas dengan gagasan pribumisasi Islam yang disampaikan KH. Abdurrahman Wahid.
          Proses adaptasi antara ajaran Islam (wahyu) dengan kondisi masyarakat dapat dilihat dengan banyaknya ayat yang memiliki asbâb al-nuzûl. Asbâb al-nuzûl merupakan penjelasan tentang sebab atau kausalitas sebuah ajaran yang diintegrasikan dan ditetapkan berlakunya dalam lingkungan sosial masyarakat. Asbâb al-nuzûl juga merupakan bukti adanya negosiasi antara teks al-Qur’an dengan konteks masyarakat sebagai sasaran atau tujuan wahyu. Hubungan antara agama dengan kebudayaan merupakan sesuatu yang ambivalen. Agama (Islam) dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya memiliki wilayah yang tumpang-tindih. Di sisi lain, kenyataan tersebut tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya (Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, agama dan Kebudayaan, Depok: Desantara, 2001, hal. 117).
Hal ini merupakan wujud kesadaran kultural guna menyemai Islam dan kearifan lokal dalam proses saling mempengaruhi antara Islam dan budaya lokal. Relevansi reinventing Islam lokal vis a vis wabah purifikasi dan otentifikasi Islam post-Wahabiyah di Indonesia yang mengusung Arabisasi. Kesadaran historis juga perlu dibangun bahwa proses transmisi Islam di Indonesia lebih didominasi faktor kultural sehingga tidak bisa dipandang sebagai Islam murni ala Arab, Islam murni tanpa pengaruh budaya lokalnya. Implikasi sosialnya, ekspresi keagamaan tidak bisa lepas dari proses transformasi dengan pemaknaan ulang melalui optik lokalitasnya. Dialektika tradisi kultural dipijakkan pada akar historis dan antropologis guna menjelaskan (posisi) Islam di tengah kompleksitas budaya lokal yang multikultur.
          Proses lokalitas kultural Islam di wilayah non-Arab menggiring kita untuk tidak lagi memandang Islam Arab sebagai Islam ideal (murni) sebab Islam di sana tidak terlepas dari pengaruh lokalitas Arab. Bacaan ini bukan tidak mengundang polemik, paling tidak dalam optik otentitas (Islam timur tengah) dan pribumisasi Islam (lokal-keindonesiaan). Terutama di tengah maraknya arus fundamentalisme (neo-Arabisme) Islam yang ditengarai menggiring Islam otentik yang hendak melepaskan varian lokalitas keindonesiaan dengan (pemurnian) arabisme yang menggeliat. Fenomena ini menjadi cerminan resistensi identitas Islam keindonesiaan kita.
KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur amat dikenal dengan gagasan pribumisasi Islam dalam konteks lokal yang telah lama dikumandangkan oleh sejumlah sarjana Muslim Indonesia. Gus Dur adalah salah seorang pemikir dan ulama yang pertama mengemukakan gagasan tersebut. Gagasan pentingya pribumisasi Islam dalam konteks lokal ini sangat penting dilakukan. Dengan demikian Muslim Indonesia dapat tetap mempertahankan identitas ke-Indonesia-annya yang khas. Tetapi pada saat yang sama dapat mengejawantahkan nilai-nilai Islam dalam praktik kehidupannya.
Menjadi seorang Muslim Indonesia tidak harus menjadi Arab. Lebih dari itu, kekhasan potret Islam Indonesia juga bukan mustahil dapat memberikan inspirasi bagi wilayah lain. Juga mengubah imej tentang Islam yang di kalangan Barat sering diasosiasikan dengan keras atau radikalnya Islam di Timur Tengah.
Kultur Islam Indonesia jelas memiliki keunikan tersendiri. Di Indonesia beragam tipe penafsiran atau aliran Islam ada, mulai dari yang disebut sebagai moderat, liberal, sampai pada corak Islam yang puritan dan radikal, semuanya tumbuh subur dan saling mengkampanyekan idenya masing-masing. Tak pelak, dari percaturan berbagai corak ke- Islaman itu, Indonesia bak lahan subur bagi timbulnya dinamisasi pemikiran. Sebagaimana dulu Geertz melihat dinamisasi tersebut dan berkesimpulan bahwa Indonesia adalah Islam yang tumbuh dari proses ketekunan (Geertz: 1968).
Meskipun ketekunan yang dimaksud Geertz tersebut adalah derivasi dari kultur agraria, pertanian masa lalu. Tapi tentunya sebagai watak atau karakter, hal tersebut bisa pula mengejawantah pada era industri sekarang ini. Hal itu berbeda dengan Maroko sebagaimana ia bandingkan. Kalau Indonesia adalah Islam yang tumbuh dari ketekunan, maka Maroko adalah Islam yang tumbuh dari keberanian. Faktor kultur dan geografislah yang membedakan. Bagaimana pun, kultur Islam Timur Tengah tidak memiliki pengalaman keragaman sosi-kultural-antropologis sebanyak Indonesia.
Seyogyanya semangat pribumisasi, kontekstualisasi atau apapun namanya di Indonesia, hendaklah tidak berhenti disuarakan. Para cendikiawan Muslim Indonesia hendaknya terus menggali semangat dan nilai-nilai Islam yang sering dikesampingkan penerapannya di Negeri ini.
Jujur harus diakui, sekarang ini kalaupun ada semangat menerapkan syariat Islam, yang menonjol adalah masih dalam level ‘cangkang’ luarnya, dan belum mengutamakan implementasi syariat yang langsung bersentuhan dengan kepentingan serta kesejahteraan masyarakat luas, baik muslim maupun non-Muslim.
Ada keyakinan, ke depan, agenda pribumisasi atau kontektualisasi Islam Indonesia yang Gus Dur ‘canangkan’ bisa benar-benar mewakili ruh dan esensinya. Yang dibutuhkan saat ini adalah aksi riil umat Islam bagi kepedulian sosial dan pendalaman demokrasi, bukan sekedar simbol, ucapan dan bahasan yang melelahkan.

1. Islam Indonesia: Argumentasi Normatif
          Secara normatif, Islam Indonesia merupakan bentuk penyemaian normatifitas Islam dalam tradisi lokal. Menurut KH. Muchid Muzadi, Mustasyar PBNU, Nahdlatul Ulama (NU) adalah entitas paling penting bagi Islam Indonesia termasuk organisasi Islam yang bisa menerima tradisi lokal. Bahkan bisa dikatakan lebih bisa menerima tradisi lokal ketimbang beberapa organisasi Islam yang lain. Sebab, menurutnya belum ada agama yang bisa diterapkan tanpa pengaruh dan percampuran dengan tradisi lokal atau budaya lokal. Karena agama itu untuk manusia dan manusia di mana pun selalu dipengaruhi oleh lingkungannya. Pengaruh lingkungan itulah, menurut KH. Muchid Muzadi, yang menumbuhkan tradisi atau budaya lokal.
Bagaimana teks-teks keislaman dikontekkan dalam masyarakat Indonesia? Seperti bagaimana memaknai pelaksaan syariat Islam bagi umat Islam, apakah dijalankan scara kultural ataukah melalui struktur negara? Bagi, Islam Indonesia, Islam akan lebih indah dan kosmopolit ketika dilaksanakan secara kultural, tidak harus melalui negara, misalnya, dalam bentuk undang-undang. Islam cukup sebagai idea moral atau sumber etika sosial untuk kehidupan, sebagaimana yang digagas Gus Dur dengan pribumisasi Islamnya maupun KH. Sahal Mahfudz dengan Fiqih Sosialnya.
Dalam pada itu, isi al-Qur’an lebih menunjuk kepada konsep dasar dan bukan pada sistem, sehingga memberi peluang yang sangat besar untuk adanya sistem lokal ('urf) yang pada gilirannya memberi kontribusi yang sangat kaya terhadap bentuk dan perkembangan pemikiran Islam. Contoh dalam hal ini dapat ditunjuk tentang hal-hal yang berkaitan dengan hubungan sosial antarmanusia, hubungan manusia dengan Tuhan, serta tentu hubungan antara manusia dan alam. Oleh karena itu, Islam Indonesia dalam berdakwah selalu menonjolkan sikap jalan tengah (tawassuth), sikap toleransi (tasamuh), bersikap adil (i’tidal) dan menyeru kebaikan, menahan kemunkaran (amar ma’ruf nahi munkar). Bersikap terlalu ketat (al-ghulugh fid din) juga tidak bisa. Terlalu longgar (tasahul fid din) juga tidak boleh.
Sekadar contoh, selama ini di kalangan masyarakat dan kaum intelektual, muncul pertanyaan-pertanyaan berikut: Apakah hukum Tahlilan itu? Tahlilah itu sunnah Nabi atau tradisi masyarakat? Boleh atau tidak? Jika tidak, bukankah tahlilan merupakan asimilasi budaya lokal yang dimasukkan ajaran Islam sebagai media dakwah para penyebar Islam di Indonesia untuk menyebarkan Islam pada zaman Hindu-Budha?” Pasti sering kita dengar pertanyaan tersebut disekitar kita. Tahlilan hanyalah salah satu dari permasalahan yang kadang sebagian orang mengganggapnya sepele tapi bagi sebagian orang hal itu merupakan permasalahan yang serius. Berawal dari hadits Rasul, yang berbunyi, Idza Mata Ibnu Adam, FanQotho’a ’Amaluhu Illa Min Tsalatin; Shodaqotin Jariyatin, Au Ilmin Yantafa’u Bihi, Aua Waladin Sholihin Yad’u Lahu (Ketika mati anak cucu Adam, maka terputus amalnya kecuali tiga hal; shodaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak sholih yang mendoakannya). Bagaimana memaknai dan mengimplementasikan “waladin shalihin yad’u lahu” (anak shaleh yang mendoakan orang tuanya)?
Di Indonesia, waladin shalihin yad’u lahu ini dirangkaikan dengan tradisi yang ada di Indonesia. Misalnya di Jawa, kalau ada orang mati, orang-orang biasanya jagongan (berbincang). Dengan jagongan itu, mereka membicarakan orang, terus kedinginan. Mereka mencari minuman yang hangat-hangat sambil main kartu dan lain-lain. Tradisi itu berlangsung lama. Hingga ketika para mubaligh Islam, Walisongo dan para kiai sesudahnya, menerapkan yad’u lahu ini dirangkaikan dengan jagongan dan mele’an (begadang) tersebut. Ini prosesnya cukup lama, hingga kemudian muncul apa yang dikenal saat ini dengan tradisi tahlilan. Hal ini jangan dianggap gampang karena itu memerlukan perjuangan panjang dan tidak mudah. Mengubah jagongan menjadi tahlilan. Kalau kemudian ada yang mempersoalkan dari aspek ekonomi, karena pembiayaannya yang boros, itu juga tidak beralasan karena adanya snak dalam tahlilan tidak menjadi syarat. Orang NU biasa tahlilan tanpa ada makanannya seperti kalau ziarah ke makam keluarga atau wali tidak memakai makanan, tetapi kalau memakai makanan juga tidak masalah sebagai bentuk penghormatan kepada tamunya dan ini menjadi hak yang punya cara. Di sisi lain, masih banyak kegiatan yang lebih boros dananya ketimbang tahlilan, bahkan untuk hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan agama.
Kemudian ada yang mempersoalkan, apakah tahlil ini merupakan transfer pahala? Misalnya, dengan membaca surat al-fatihah kita mendapatkan pahala, dan pahala itu ditransfer pada orang yang meninggal? Menurut KH. Muchid Muzadi, dengan membaca surat al-fatihah, membaca Al-Qur’an, membaca subhanallah, kalimat-kalimat thayyibah, dll itu, belum tentu dapat pahala. Soal pahala ini urusan Allah SWT. Kita, ketika membaca tahlil itu bermaksud memohon untuk mendapat pahala, dan kalau Allah mengabulkan bacaan tahlil kita mendapat pahala, maka dimohonkan kepada Allah mudah-mudahan pahala itu diberikan juga kepada orang yang telah meninggal. Tentu saja itu merupakan bentuk permohonan dan jangan dianggap sebagai transaksi. Kalau kita memastikan bahwa tahlilan itu mendapat pahala justru tidak boleh dalam akidah Islamiyah, karena soal pahala ini hak Allah. Sama halnya dengan orang menjalankan ibadah shalat, puasa, haji, dan lainnya. Tidak boleh orang shalat, puasa, haji atau yang lainnya terus memastikan bahwa dirinya sudah pasti mendapat pahala. Apalagi klau berani memastikan dirinya dengan ini semua sudah terbebas dari api neraka. Jadi, semuanya masih dalam kategori permohonan kepaad Allah. Namun, karena tidak semua orang bisa cerita tentang alur pemikiran dan perasaan ketika dia bertahlil, maka muncul kontroversi yang sebetulnya berangkat dari ketidaktahuannya.
          Salah satu contoh yang baik, Islam mengajarkan shalat dengan cara menutupi aurat. Di Indonesia, khususnya oleh yang perempuan, menutupi aurat itu diolah dengan mengenakan rukuh atau mukena. Kalau toh di negara lain sekarang juga mengenakan mukena padahal itu budaya Indonesia, itu artinya bahwa mukena itu merupakan produksi Indonesia yang biasa digunakan untuk melaksanakan shalat.
Dalam pandangan KH. Muchid Muzadi, persoalan ini sempat menjadi masalah besar yang yang sulit dijelaskan bukan hanya kepada orang-orang awam di kampung-kampung, tapi juga intelektual-intelektual. Bahkan intelektual-intelektual itu justru lebih sulit untuk diluruskan. Seharusnya kalau ingin melakukan pemurnian ajaran, harus dilakukan sama dengan ketika menyapu lantai. Debunya yang dihilangkan, jangan lantainya. Mislanya, orang melakukan tahlil atau ziarah kubur, kalau diniati meminta pada orang yang sudah mati, itu tidak boleh, bahkan bisa syirik. Ini yang harus dibetulkan. Jadi bukan tahlil atau ziarah kuburnya yang dilarang. Persis kayak kita ketika sikat gigi. Kotoran yang menempel di gigi yang dihilangkan, bukan giginya yang dihilangkan. Ini yang sering kali orang kebablasan. Dan ini pula yang perlu untuk selalu kita perhatikan.

2. Islam Indonesia: Argumentasi Historis
          Dari perspektif historis, Islam Indonesia tidak bisa dilepaskan dari metode dakwah yang dilakukan oleh para penyebar Islam di nusantara, khususnya para Walisongo. Telah masyhur di kalangan sejarawan, ulama, dan tokoh lainnya bahwa Islam tersebar luas di Indonesia atas jasa Walisongo dan murid-muridnya. Walau sebelumnya, usaha dakwah telah dilakukan sejumlah orang, tapi lingkupnya sangat terbatas. Berdasarkan literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M (di era Rasulullah masih hidup) sudah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Kemudian Marcopolo menyebutkan, saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H/1292 M, telah banyak orang Arab menyebarkan Islam. Begitu pula Ibnu Bathuthah, pengembara muslim, yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H/1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafii. Tapi baru abad 9 H (abad 15 M) penduduk pribumi memeluk Islam secara massal (Duta Masyarakat, 28-30 Maret 2007). Masa itu adalah masa dakwah Walisongo.
Berbeda dengan dakwah Islam di Asia Barat, Afrika, dan Eropa yang dilakukan dengan penaklukan, Walisongo berdakwah dengan cara damai. Yakni dengan pendekatan pada masyarakat pribumi dan akulturasi budaya (percampuran budaya Islam dan budaya lokal). Dakwah mereka adalah dakwah kultural. Banyak peninggalan Walisongo menunjukkan, bahwa budaya dan tradisi lokal mereka sepakati sebagai media dakwah. Hal ini dijelaskan—baik semua atau sebagian—dalam banyak sekali tulisan seputar Walisongo dan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Misalnya, dalam Ensiklopedi Islam; Târikhul-Auliyâ’ karya KH Bisri Mustofa; Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia karya KH Saifuddin Zuhri; Sekitar Walisanga karya Solihin Salam; Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya karya Drg H Muhammad Syamsu As.; Kisah Para Wali karya Hariwijaya; dan Kisah Wali Songo: Para Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa karya Asnan Wahyudi dan Abu Khalid MA.
Dahulu di Indonesia mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha, dan terdapat berbagai kerajaan Hindu dan Budha, sehingga budaya dan tradisi lokal saat itu kental diwarnai kedua agama tersebut. Budaya dan tradisi lokal itu oleh Walisongo tidak dianggap “musuh agama” yang harus dibasmi. Bahkan budaya dan tradisi lokal itu mereka jadikan “teman akrab” dan media dakwah agama, selama tak ada larangan dalam nash syariat.
Pertama-pertama, Walisongo belajar bahasa lokal, memperhatikan kebudayaan dan adat, serta kesenangan dan kebutuhan masyarakat. Lalu berusaha menarik simpati mereka. Karena masyarakat Jawa sangat menyukai kesenian, maka Walisongo menarik perhatian dengan kesenian, di antaranya dengan menciptakan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan, dan pertunjukan wayang dengan lakon islami. Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca syahadat, diajari wudhu’, shalat, dan sebagainya.
Walisongo sangat peka dalam beradaptasi, caranya menanamkan akidah dan syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat. Misalnya, kebiasaan berkumpul dan kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian keluarga tidak diharamkan, tapi diisi pembacaan tahlil, doa, dan sedekah. Bahkan Sunan Ampel—yang dikenal sangat hati-hati—menyebut shalat dengan “sembahyang” (asalnya: sembah dan hyang) dan menamai tempat ibadah dengan “langgar”, mirip kata sanggar.
Bangunan masjid dan langgar pun dibuat bercorak Jawa dengan genteng bertingkat-tingkat, bahkan masjid Kudus dilengkapi menara dan gapura bercorak Hindu. Selain itu, untuk mendidik calon-calon dai, Walisongo mendirikan pesantren-pesantren yang—menurut sebagian sejarawan—mirip padepokan-padepokan orang Hindu dan Budha untuk mendidik cantrik dan calon pemimpin agama.
Sebagian pihak mempermasalahkan metode dakwah Walisongo tersebut. Sebagian mempertanyakan kesesuaiannya dengan dalil syar’i. Sebagian lagi bahkan berani menyalahkan peninggalan para ulama-wali itu. Hal ini terutama dilakukan kaum modernis yang dipengaruhi pemikiran Wahabi yang kaku.
Bila mau berpikir jernih dan bijak, metode dakwah Walisongo tidak selayaknya dipertanyakan. Bahkan semestinya dipuji, karena terbukti kesuksesannya. Untuk dapat memahami mengapa Walisongo menerapkan metode dakwah semacam itu, beberapa hal perlu dilakukan.
Pertama, mempelajari sejarah mereka secara mendalam. Sebagaimana disebut di atas, banyak bacaan tentang sejarah Walisongo. Bacaan-bacaan tersebut bersumber dari kitab, babad, dan serat kuno, di antaranya Kitâb Kanzul Ulûm Ibnul Bathuthah; Babad Tanah Jawi; Babad Majapahit lan Para Wali; Hikayat Hasanuddin; Wali Sanga Babadipun Para Wali; dan Serat Centhini. Tulisan di masjid dan makam Walisongo juga dijadikan sumber. Beberapa buku orientalis juga dijadikan sumber, tapi para sejarawan Islam bersikap selektif dan hati-hati dalam mengutip keterangan dari non muslim ini.
Kedua, selalu mengingat bahwa Walisongo ulama yang alim, yang tak akan sembarangan dalam berbuat. Menurut Kitâb Kanzul Ulûm Ibnul Bathuthah, Walisongo adalah sembilan ulama berilmu agama tinggi serta mempunyai karamah, yang diutus Sultan Muhammad I Turki untuk menyebarkan Islam di Jawa. Bila salah satu pergi atau meninggal, maka segera digantikan wali lain.
Sunan Bonang meninggalkan Primbon Wejangan Sunan Bonang berisi Fikih, Tauhid, dan Tasawuf, di antaranya berdasarkan Ihyâ’ Ulûmid-dîn al-Ghazali, al-Anthâki dari Dawud al-Anthaki, dan kitab Syekh Abdul Qodir al-Jailani. Menurut Muhammad Syamsu As., ajaran Sunan Bonang mengikuti akidah Ahlusunah wal Jamaah dengan mazhab Syafii, dan mewakili ajaran semua Walisongo.
Masih menurut ia, Sunan Giri dinamai Sultan Abdul Faqih, karena Ilmu Fikihnya sangat mendalam, ia mengajar Ilmu Fikih, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Nahwu, dan Sharaf; Sunan Kudus dijuluki Waliyul Ilmi, menguasai Ilmu Ushul Hadits, Ilmu Tafsir, Ilmu Sastra, Manthiq, dan terutama Ilmu Fikih; dan Sunan Gunung Jati mempelajari Ilmu Syariat, Hakikat, Thariqat, dan Ma’rifat.   
Ketiga, mempelajari metode dakwah Nabi Muhammad, sahabat, dan ulama salaf sebagai perbandingan. Setelah diteliti, ternyata dakwah Walisongo yang bijak dan halus sesuai dengan dakwah Nabi. Dakwahnya sesuai ayat, “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (QS an-Nahl [16]: 125). Dan ayat, “Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu” (QS Ali Imran [3]: 159). Juga pesan Nabi saat mengutus Abu Musa dan Mu’adz berdakwah, “Mudahkanlah, jangan mempersulit. Berilah kabar gembira, jangan membuat (objek dakwah) lari!” (HR Muslim). Dan Hadits dari Siti Aisyah, “Rasulullah memerintah kami menempatkan (memperlakukan) manusia sesuai keberadaan (akal) mereka.” (HR Abu Dawud).
Tentang Walisongo membuat tembang dan puji-pujian Jawa, hal ini sebagaimana sahabat dan ulama salaf membuat syair-syair keagamaan Arab. Bahasanya saja beda. Tentang membuat dan menggunakan gamelan serta beduk, kemungkinan besar berpedoman pada pendapat al-Ghazali dalam Ihyâ’ Ulûmid-dîn bahwa alat musik yang dilarang hanya yang disebut dalam Hadits.
Tentang pertunjukan wayang, awalnya Sunan Giri tak setuju, tapi akhirnya beliau dan wali lainnya menyetujui setelah Sunan Kalijogo mengusulkan wayang diubah bentuknya: tangan lebih panjang dari kaki, hidung panjang-panjang, kepala agak menyerupai binatang, dan lain-lain agar tak serupa persis dengan manusia. Tentang membakar kemenyan, bukan untuk arwah orang mati, tapi untuk mengharumkan ruangan dan karena Nabi suka wangi-wangian.
Keempat, selalu husnudh-dhan (berbaik sangka) pada Walisongo. Apabila ada metode dakwah mereka yang tampak kurang sesuai syariat, sebaiknya menganggap (1) mungkin sumber/penulis sejarahnya yang keliru, bukan Walisongo; dan (2) mungkin diri kita yang belum memahami/menemukan dalil dan pendapat ulama salaf yang mereka gunakan.  Jika tidak husnudh-dhan, kita akan menyalahkan mereka seperti kaum Wahabi dan modernis menyalahkan para ulama. KH Hasyim Asy’ari dalam Risâlah Ahlussunah wal Jamâ’ah mengutip ucapan Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi’i, “Mereka (Wahabi dan yang sealiran) golongan yang bermain-main dengan agama, mereka mencela para ulama salaf dan khalaf, dan mengatakan, ‘Mereka itu tidak ma’shum (terjaga dari dosa seperti Nabi), maka tidak selayaknya mengikuti mereka.’” Na’ûdzu billâh. Walisongo memang tidak ma’shûm, tapi bukan muqashshir (orang sembrono), apalagi jâhil (orang bodoh). Mereka mahfûdz (terjaga dari dosa, sebagai wali Allah) dan ulama yang alim.
Dan kelima, selalu menghormati Walisongo sebagai penyebar Islam dan guru. Seandainya bukan karena mereka, mungkin kita saat ini beragama Hindu atau Budha seperti nenek moyang kita. Walisongo guru kita, karena nenek moyang kita belajar pada mereka atau murid-murid mereka; dan kiai serta guru kita masa sekarang—utamanya di pesantren—belajar pada gurunya, gurunya belajar pada gurunya lagi, terus sampai Walisongo. Karena itulah para ulama dan habaib mengamalkan ajaran Islam tradisionalis Walisongo, bahkan beberapa menulis kitab/buku untuk membelanya. Masyarakat umum juga ikut mengamalkannya.
Walhasil, Walisongo adalah ulama-wali yang alim dan bijak. Mereka dan metode dakwah serta peninggalannya seyogianya dihormati. Nabi bersabda pada Sayidina Ali, “Demi Allah, sungguh Allah memberi petunjuk pada seseorang (hingga masuk Islam) melalui kamu itu lebih baik bagimu daripada memperoleh unta merah” (HR Bukhari-Muslim). Nabi juga bersabda, “Barangsiapa memberi petunjuk pada kebaikan, dia mendapat pahala sebagaimana orang yang melakukannya” (HR Muslim). Hadits terakhir ini, menurut Sayid Alawi bin Abbas al-Maliki, menunjukkan keutamaan ilmu dan bahwa Nabi mendapat pahala seperti pahala seluruh umatnya, sejak diutus sampai Kiamat. Maka begitu pula Walisongo, sebagai penyebar Islam “pertama”, mereka mendapat pahala seperti pahala semua umat Islam Indonesia, sejak dakwahnya sampai Kiamat

3. Islam Indonesia: Argumentasi Sosiologis
          Secara sosiologis, potret Islam Indonesia sangat toleran dengan tradisi dan komunitas lain yang berbeda keyakinan, menerima Bhineka Tunggal Ika. Islam Indonesia menghargai pluralitas etnis, agama dan gender. Membela kaum minoritas, kaum mustad’afin, dan kaum terpinggirkan lainnya. Islam Indonesia sangat memahami sosio-kultural kebangsaan, ketimbang memaksakan normatifitas teks yang verbalisitik. Dalam masalah praktik sosial kemasyarakatan, Islam Indonesia bisa menerima Pancasila sebagai Dasar Negara guna memersatukan segenap entitas bangsa Indonesia. NKRI sudah final bagi Islam Indonesia. Peningkatan Sumberdaya Manusia dan kedisiplinan yang perlu ditingkatkan, punctuality (ketepatan), keteraturan, social justice, pengorganisasian, kepekaan sosial, etos kerja, kompetisi positif, sportivitas, komitmen, trust, dan lain-lain.
          Islam Indonesia juga inhern dengan nasionalisme. Bahkan NU sebagai cerminan Islam Indonesia terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan dari penjajahan dan delegasinya KH. Wahid Hasyim, menjadi tokoh kunci terbangunnya bangsa Indonesia, ketika terjadi perdebatan apakah negara Indonesia akan berlandaskan Pancasila atau Islam. Ketika sekelompok delegasi dari Islam Modernis menginginkan negara Islam, dan Soekarno yang ingin Pancasila. Ketika perdebatan menegang, tiba-tiba warga di Indonesia Timur bermaksud merdeka ketika Indonesia menjadikan Islam sebagai dasar negara. KH. Wahid Hasyim, selaku anggota perumus dari NU, pulang ke rumah menemui KH, Hasyim Asy’ari, dan hasilnya diterima Pancasila sebagai dasar negara demi utuhnya NKRI yang baru didirikan. Kelompok Islam Modernis walau jengkel dengan sikap tersebut tetapi tidak bisa berbuat banyak karena yang akhirnya bisa menegangkan perdebatan dasar negara.
          Dari kejadian itu, ditemukanlah bagaimana komunitas NU mendefinisikan kekuasaan, negara dan bangsa. Betapa nasionalisme NU sudah terbukti. Bahkan, pada Muktamar NU tahun 1938 di Menes, Banten, ada dua pertanyaan searah yang jawabannya saling kontradiksi. Pertanyaan pertama adalah, bahwa penjajah Belanda menawari NU untuk masuk menjadi anggota Volskraad, dengan itu maka NU akan menjadi bagian dari struktur kekuasaan dan pemerintahan Belanda di Hindia-Belanda. Namun ketika diadakan voting, hasilnya 54 menolak dan 4 setuju masuk Volksraad. Jadi NU menolak masuk lembaga perwakilan rakyat versi penjajah itu.        Pertanyaan kedua adalah, apakah Hindia-Belanda wajib dipertahankan dari serangan luar? Jawabannya adalah wajib karena Hindia-Belanda, menurut hasil Muktamar itu, merupakan dar al-islam (bukan daulah Islam). Yaitu, kawasan yang mayoritas penduduknya pemeluk Islam, pernah dikuasai kerajaan-kerajaan Islam dan umat Islam tidak dibatasi dan dilarang untuk menjalankan ibadahnya. Dari sini bisa disimpulkan bahwa, keikutsertaan NU dalam Volksraad adalah masalah politik dan kekuasaan, oleh karena itu bisa ditolak dan bisa juga diterima seandainya hasil voting itu menghasilkan sebaliknya. Tetapi masalah kawasan Hindia-Blanda adalah masalah negara dan bangsa, karena itu harus dipertahankan dengan basis argumen Islam. Dalam konteks inilah bisa dipahami ketika KH Hasyim Asy’ari sebagai Rois Akbar PBNU mengeluarkan fatwa “resolusi jihad” pada Oktober 1945 yang mewajibkan kepada seluruh umat Islam dan bangsa Indonesia sebagai wajibain dalam jarak tertentu dari Surabaya yang sedang berperang untuk mempertahankan kemerdekaan seiring dengan masuknya tentara seklutu (NICA) yang diboncengi Belanda. Masuknya tentara sekutu tersebut tentu membahayakan Indonia yang baru belum ada dua bulan merdeka. Maka terjadilah Perang 10 Nopember 1945 di Surabaya.
Dari uraian tersebut, jelaslah NU sebagai bagian penting dari Islam Indonesia sudah mampu membangun definisi hubungan agama, bangsa dan negara dalam Islam Indonesia yang kosmopolit. Dari catatan ini pula adanya keterkaitan erat antara berdirinya NU dan proses terbangunnya negara-bangsa Indonesia. Di era Gus Dur, Islam Indonesia jugamampu menyeimbangkan ketegangan antara pemerintah rakyat, militer – sipil, mayoritas – minoritas. Islam Indonesia juga sangat perhatian dengan isu-isu demokrasi, HAM, gender, kemiskinan, ekonomi neo-liberal, civil society, advokasi, misalnya, yang sudah dikembangkan oleh NU sejak masa otoritarianisme Orde Baru, yang waktu itu gerakannya bahkan dilakukan secara “undergorund.” Topik-topik tersebut tidak hanya menjadi gerakan pemikiran tetapi juga gerakan praktis. Demikian juga dengan masalah hak-hak perempuan, korupsi, dan hak-hak minoritas muncul menjadi pergulatan intensif saat ini, sehubungan dengan kian derasnya arus fundamentalisme yang anti kesetaraan perempuan dan anti pluralisme dan multikulturalisme serta maraknya korupsi sejak Orde Baru. Dengan kata lain, evolusi pemikiran Islam Indonesia akan terus mengikuti arus perkembangan bangsa Indonesia itu sendiri. Sejumlah isu juga sedang diyang belum terangkum dalam disertasi ini, misalnya, gerakan tentang pertanian, lingkungan, pengelolaan seumber daya alam dan tradisi lokal. Semua ini menanti sebuah karya lanjutan berikutnya.

D. PENUTUP
          Demikianlah penjelasan seputar Islam Indonesia. Istilah Islam Indonesia muncul sebagai peristilahan untuk menunjuk identitas keislaman masyarakat nusantara dalam menghadapi penetrasi kaum Arabis ataupun Barat. Islam Indonesia memang hasil persemaian agama dan tradisi yang jika kita angkat ke permukaan pasti tidak akan ada habisnya dan akan selalu terjadi pro dan kontra antara kaum modernis dengan kaum tradisionalis. Sunnah dan tradisi lokal adalah sebuah fenomena pro dan kontra yang menghiasi pemikiran orang Islam sehjak zaman masa lalu. Intinya Dua pihak yang pro-dan kontra tersebut memiliki landasan sendiri-sendiri yang mereka anggap benar dan sesuai dengan Al-Quran. Oleh karena itu, perbedaan pendapat bukanlah sebuah permasalahan selama ada toleransi dengan saling menghormati satu sama lain, tetapi perbedaan itu akan menjadi masalah manakala tidak ada rasa saling menghormati satu sama lain. Islam Indonesia akan mampu memimpin peradaban dunia Islam ketika mampu memperkokoh eksistensinya dalam mengarungi kehidupan modern yang kompetetif.[]

           

0 komentar:

Posting Komentar