A. Pendahuluan
Beribukota
Naypyidaw yang diresmikan pada 6 November 2005 oleh pemerintahan junta militer
sebagai pengganti ibukota sebelumnya Yangon, negara Myanmar yang dahulu bernama
Burma memiliki komposisi penduduk terbesar 89% beragama Buddha dan etnis Burma
sebesar 68%.
Karena itu,
negara dengan jumlah penduduk 48.798.000 jiwa (Juli 2007) yang memiliki pagoda
Swedagon yang menjulang di kota Yangon sebagai identitas nasional Burma dapat
dikatakan sebagai negara Buddhis terbesar di Asia Tenggara, berdampingan dengan
negeri tetangganya yang juga berpenduduk mayoritas Buddhis seperti Laos,
Thailand, China..
Diperkirakan
negara yang dikenal juga sebagai negara seribu pagoda ini memiliki puluhan ribu
bhiksu/bhikkhu yang mendiami puluhan ribu vihara-vihara pada negara seluas
676.578 km2 yang memikiki perbatasan darat dengan Thailand, China, India, Laos
dan berhadapan dengan Samudera Hindia. Para bhiksu/bhikkhu di Myanmar yang
belum lama ini pada September 2007 lalu melakukan aksi perlawanan secara damai
terhadap junta militer merupakan strata social yang sejak dahulu kala memiliki
pengaruh luas dan telah berakar jauh dalam masyarakat Myanmar.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
sejarah masuknya agama Buddha di Myanmar?
2. Bagaimana
perkembangan agama Buddha di Myanmar?
3. Bagaimana
konflik di myanmar?
C. Sejarah
Masuknya Agama Buddha di Myanmar
1) Masuknya agama Buddha di Myanmar
:
a) Agama asli
masyarakat Myanmar (Burma) adalah Nat, yaitu kepercayaan terhadap roh.
b) Etnis Myanmar adalah:
i. Mon (Khmer)
ii. Pyu (orang
Tibet – Burma)
c) Komunitas india berdiam dibelakang
pantai Bengal sampai Kalimantan, sedangkan di Myanmar mereka berada di Thaton
(Suddhammapura/ Sudhanmawati), Pegu (Ussa/ Hamsavati), Yangon (Ukkala), dan
Arakan (Dhannavati) di sepanjang Tenasseri. Komunitas pedagang india di pantai
selatan Myanmar yang membawa budaya dan agama Hindu, berhubungan dengan etnis
Mon. Dengan demikian mereka terlebih dahulu mengenal agama hindu.
d) Sebelum agama Buddha Theravada telah
berkembang Ari Budhisme, yaitu sinkretisme dari agama Buddha Mahayana
(Vajrayana), Hindu, dan Nat.
e) Sejarah agama Buddha Myanmar
bersumber pada Sasanavamsa, yaitu babab yang ditulis dalam Bahasa Pali oleh
Bhikkhu Pannasami.
f) Dalam
Sasanavamsa diceritakan kunjungan Buddha ke Myanmar yaitu:
1. Kunjungan ke Aparanta
Punna,
Pedagang Sunaparanta menjadi Bhikkhu (dalam Punnovada Sutta), ketika kembali ke
negaranya ia membangun vihara cendana merah untuk Buddha, Punna mengundang
Bhikkhu beserta 500 pengikut-Nya dengan menaiki tandu yang dibuat dewa Sakka,
tetapi hanya terisi 499 karena satu tandu untuk petapa Saccabandha di gunung
Saccabandhadi pusat Myanmar. Dalam perjalanan pulang Buddha diundang raja naga
bernama Nammada di sungai Nammada dekat gunung Saccabandha. Beliau meninggalkan
jejak kaki (Siripada) yang dipuja oleh etnis Mon dan Pyu. Jejak kaki sempat tidak dikenal
pada abad ke-15, sampai ditemukan kembali pada tahun 1638 oleh Raja Thalun dan
menjadi tempat ziarah.
2.
Kunjungan ke Arakan
Raja
dari Dhannavati bernama Candrasuriya berniat mengunjungi Buddha, karena harus
melewati tempat berbahaya, akhirnya Buddha memutuskan untuk mengunjungi Raja.
Buddha memberi
peninggalan gambar pada logam yang disimpan di candi Mahamuni di Dhannavati.
Gambar tersebut pada tahun1784 ketika Raja Bodawpaya menaklukan Arakan,
dipindahkan ke Pagoda Arakan di Mandalay.
g) Diyakini bahwa pedagang dari Ukkala
bernama Tapussa dan Bhallika bertemu Buddha setelah tujuh minggu setelah
pencapaian kebuddhaan-Nya mereka diberi delapan helai rambut Buddha yang
kemudian relik rambut tersebut dihormati di Pagoda Swedagon di Yangon, yang
dibangun setinggi 27 kaki namun sekarang menjadi 370 kaki
h) Setelah konsili ketiga, Raja Asoka
mengirim Bhikkhu Sona dan Uttara ke Suvannabhumi di Thaton dengan mengajarkan
Brahmajala Sutta.
i) Pada abad 11 bangsa mramas
(Tibet-Dravida) mengembangan agama Buddha Tantrayana, sedangkan di Thaton
berkembang agama Buddha yang berdampingan dengan agama Hindu.
j) Pada tahun 1044, Raja Anawrata
mempersatukan Mon dan Pyu menjadi Pegan, kemudian mengembangkan Buddhisme
Theravada setelah terjalinnya persahabatan antara dirinya dengan Raja Srilanka
bernama Vijayabahu.
D.
Perkembangan Agama
Buddha di Myanmar
Sejarah kehidupan
kebhiksuan di Myanmar tak lepas dari negeri Srilanka yang menjadi sumber dari
mana pergerakan agama Buddha menyebar ke Asia Tenggara, khususnya agama Buddha
bermashab Theravada. Dalam buku Edward Gonze, “A Short History Buddhism,” Allen
and Unwin, London-Boston, 1980, terungkap bahwa agama Buddha telah masuk ke Burma
sejak abad ke 5 dan abad ke 6, baik agama Buddha Theravada maupun agama Buddha
Mahayana.
Sedangkan adanya
suatu organisasi yang kuat bagi pejalan kebhikkhuan di Myanmar itu sendiri baru
terbentuk pada abad 9, yaitu yang menamakan dirinya “Ari” (dari kata arya yang
berarti mulia). Dikabarkan agama Buddha yang ada itu adalah agama Buddha Pala
yang berasal dari Bihar, India dan Bengal yang bermashab Mahayana dan juga
menyerap kepercayaan setempat. Baru awal periode tahun 1000 agama Buddha di
Burma ini berubah karakternya dengan mengambil inspirasi pada Buddha yang
berasal dari Srilanka, yang diprakarsai oleh Raja Anawrahta dari Pagan di tahun
1057 yang mendatangkan bhiksu-bhiksu dan kitab suci dari Ceylon, Srilanka.
Sejak itulah
kelompok bhiksu Mahayana dan juga Vajrayana memudar pengaruh dan dominasinya,
meski keberadaannya tidak lenyap bahkan hidup terus sampai akhir abad 18.
Kehidupan kebhikkhuan beralih kepada mashab Theravada yang mendapat
perlindungan istana, sehingga tumbuhlah kebudayaan Buddhis dengan
peninggalannya yang sangat bagus dan indah.
Pada tahun 1044
Anawratha (Aniruddha) menggantikan tahta di Pagan dan beralih menganut agama
Buddha Theravada melalui bhikkhu Dharma-darsi (Arhan). Raja dengan bantuan
bhikkhu Arhan serta beberapa bhikkhu dari Thaton memaksakan agama Buddha
Theravada untuk semua penduduk negeri. Dalam rangka itu diperlukan banyak
kitab-kitab agama Buddha dan raja Aniruddha meminta bantuan Manuha (raja
Thaton) untuk memperoleh naskah lengkap kitab suci Tipitaka. Permintaan itu ditolak
oleh Manuha yang menyebabkan Aniruddha mengirimkan pasukan serta dapat
mengalahkan dan menawan Manuha. Semua bhikkhu dan kitab-kitab agama Buddha
serta relik yang ada di Thaton diangkut ke Pagan dengan 32 ekor gajah.
Aniruddha dan
para penggantinya merupakan tokoh-tokoh yang menanamkan agama Buddha Theravada
di Pagan dan melalui kekuatan politik yang dimilikinya menyebar ke seluruh
wilayah Burma. Agama Brahma yang pernah ada di sini lama-kelamaan menjadi
pudar.
Aniruddha
membangun banyak pagoda dan vihara.
hal
yang sama juga dilakukan oleh para penggantinya. Aniruddha juga membawa lengkap
kitab Tripitaka ke Burma dari Ceylon dan bhikkhu Arhan kemudian menyatukannya
dengan naskah-naskah yang ada di Thaton. Kyatnzittha (putera Aniruddha)
meneruskan jejak ayahnya dengan vihara Ananda di Pagan.
Kemudian semasa
kekuasaan Narapatisithu (1173-1210) banyak vihara dibangun dibawah para sponsor
seperti Sulamani, Gawdawpalin juga untuk penulisan kitab suci Pali. Chapata
yang juga dikenal sebagai Saddhammajotipala menulis suatu seni karya mengenai tata
bahasa Pali, disiplin vinaya dan filsafat seperti: Suttanidesa,
sankhepavannana, Abhidhammatthasangha. Sementara pujangga lainnya yang bernama
Sariputra menulis karya yang merupakan koleksi pertama mengenai komposisi hukum
kesunyataan yang dikenal sebagai Dhammavilasa atau Dhammathat.
Kebudayaan
Buddhis yang tumbuh semarak pada masa itu dikabarkan tercermin dengan tumbuhnya
9000 pagoda dan vihara yang memenuhi tanah seluas delapan mil, diantaranya yang
paling terkenal adalah Vihara Ananda dari abad ke 11. Dalam Vihara ini terdapat
547 cerita Jataka yang dikisahkan di atas tanda peringatan atau piagam yang
dibuat dari lapisan kaca. Hal ini berlangsung selama 3 abad sebelum kekuasaan
Pagan itu dihancurkan oleh Bangsa Mongol pada tahun 1287.
Meski, setelah
runtuhnya dinasti Pagan ini, dan selama 500 tahun ke depan Burma terbagi-bagi
dalam kerajaan-kerajaan yang saling berperang, namun tradisi Theravada tetap
berlanjut walau tidak semerbak periode sebelumnya, bahkan raja Dhammaceti dari
Pegu di akhir abad 15 memperkenalkan kembali pergantian pimpinan vihara yang
sesuai kitab suci dari Ceylon.
Pada tahun 1752,
Burma mengalami penyatuan kembali, dan setelah tahun 1852 Sangha memperoleh
perlindungan, dan sebuah dewan di Mandalay memperbaiki teks Tipitaka pada tahun
1868-1871 yang kemudian diukir
di atas 729 lempengan pualam. Pada
tahun 1886 ketika Burma masih memiliki kerajaan merdeka (sebelum dijajah
inggris) agama Buddha menempati posisi yang baik. Negeri terkenal dengan perhatian
terhadap Tipitaka, khususnya Abhidhamma. Kota Mandalay merupakan pusat
pendidikan dan keagamaan Buddha di Burma. Vihara-vihara di Burma banyak
menyimpan manuskrik-manuskrik langka. Di Negri ini Abhiddhamma dipelajari oleh
hampir semua pemeluk agama Buddha. Seorang tokoh abhidhamma pada awal abad ke-20
bernama Ledi Sayadaw. Dia menuulis “ yamaka” dan Phisolophy of Relation” yang
diterbitkan oleh pali teks society pada tahun 1914-1916. Pada waktu itu ada dua
tokoh lainnya adalah Abi-Dhaja maha ratta – guru Nyaungyan sayadaw (
1874-1955), ia seorang bikhu yang telah mencapai tingkat maha tera dan terpilih
sebagai mahayaka, yang menulis kitab tidak kurang dari 150 manual agama buddha,
beberapa diantaranya; maha samaya sutta, “Brahmanajala sutta” serta sutta-sutta
yang lainya. Ada juga tokioh lain misalnya Bhikkhu Mingun Sayadaw (1868-1955)
dari Taton yang menulis “Milindhapanha” (1949).
Setelah birma
lepas dari inggris dan memperoleh kemerdekaan, pemerintah berusaha untuk
membangun kembali Agama Buddha dan melaksanakan studi Budddha Dhammma dan mendirikan
suatu lembaga yaitu “ Buddha Sasana Causil”. Selain itu pemerintah Burma juga
ingin mendapatkan naskah Tripitaka asli dan bekerjasama dengan para Bhikkhu/kaum
terpelajar Agama Budddha dari India, Pakistan, caylan, Tailand, kamboja dan
Laos.
Sangha yang
merupakan komunitas bhiksu tidaklah asing bagi rakyat Burma. Rakyat disamping
masih memiliki kepercayaan leluhurnya yakni para Nat atau “roh” yang diminta
menolong mereka juga memiliki kepercayaan tentang cara utama untuk memperoleh
kebajikan yaitu dengan membangun pagoda atau vihara. Bisa dimengerti bila Burma
memiliki banyak pagoda, dan vihara-vihara selalu berada di pusat-pusat tempat
tinggal mereka, dimana vihara-vihara itu juga berfungsi sebagai tempat pendidikan
tempat rakyat melek huruf.
Bersama Sangha
yang mendapat tempat di hati rakyat, agama Buddha menjadi kekuatan yang
memberikan karakteristik peradaban Burma. Sesungguhnya, agama Buddha yang
dibabarkan oleh Sang Buddha ini sepanjang sejarahnya telah memicu kehidupan
social yang demokratis dan non-materialistis bagi bangsa Burma, disamping
membawa keindahan pengetahuan, etika kehidupan yang menekankan kesederhanaan
yang semuanya itu merupakan sumber nilai untuk terciptanya perdamaian dan
kebahagiaan.
Kejadian penting
lainnya dalam agama Buddha di Burma adalah diselenggarakannya pasamuan Sangha
(Sanghayana) yang dinyatakan oleh Burma sebagai pasamuan sangha ke-4 sesudah
tiga Sanghayana di India dan Sanghayana di Ceylon. Pasamuan tersebut diadakan
di kota Mandalay pada tahun 1871 pada masa pemerintahan raja Min-don-min serta
dihadiri oleh 2.400 orang bhikkhu dan guru. Sidang dipimpin secara bergantian
oleh bhikkhu Jagavibhivamsa, Naeindda-bhidhaya dan Sumangala. Pada pasamuan ini
isi kitab Tipitaka Pali dibaca secara dituliskan dan 729 lembar batu pualam.
E. Konflik di Myanmar
Semenjak berkuasanya junta militer,
sudah banyak terjadi aksi demonstrasi dari rakyat Myanmar baik itu yang
dimotori oleh para aktivis mahasiswa maupun tokoh agama yaitu biksu. Para demonstran
mengecam kekuasaan militer di kursi pemerintahan yang seharusnya dijalankan
oleh sipil. Aksi demonstrasi ini disikapi oleh pemerintah militer dengan tindak
kekerasan dan tidak sedikit memakan korban. Demontrasi terbesar sepanjang
sejarah berkuasanya militer di Myanmar terjadi pada 8 Agustus 1988. Demonstrasi
ini dikenal dengan generasi 88 yang melibatkan banyak pelajar dan biksu sebagai
bentuk perlawanan terhadap Ne Win dan menuntut sistem demokrasi. Perjuangan
rakyat Myanmar melalui aksi demostrasi ini berhasil membuat Jenderal Ne Win
sebagai pemimpin junta militer mengundurkan diri, meskipun telah mengorbankan
sekitar kurang lebih 3.000 orang meninggal akibat tindakan keras dari tentara
pemerintah.
Junta militer di Myanmar dapat
dikatakan sangat bersifat Rasial. Bagaimana tidak, kudeta yang dilakukan oleh
militer didominasi oleh etnis Burma atau Bama yang juga merupakan etnis
mayoritas di Myanmar. Itu berarti kekuasaan atas pemerintahan Myanmar dikuasai
oleh satu etnis yaitu etnis Burma atau Bama. Hal tersebut pasti akan berdampak
pada kebijakan junta militer yang lebih bersifat memihak dan menguntungkan
etnis Bama. Kondisi inilah yang memicu terjadinya perlawanan dari rakyat
Myanmar terhadap pemerintah militer terutama dari etnis non-Bama yang merasa
tertindas dan adanya ketidakadilan.
Selama 46 tahun berkuasanya junta
militer di Myanmar, ada beberapa hal menarik terkait kebijakan-kebijakan junta
militer terhadap Myanmar. Diantaranya perubahan nama Negara dari Burma menjadi
Myanmar dan Pemindahan ibu kota negara ke Naypyidaw.
Seperti yang diketahui oleh semua
orang bahwa Burma adalah salah satu negara yang berada dikawasan Asia Tenggara.
Namun nama negara Burma tidak lagi terdapat di dalam daftar negara-negara
kawasan Asia Tenggara. Terdapat nama lain yang menggantikan nama Burma, yaitu
Myanmar. Perubahan nama negara dari Burma menjadi Myanmar dilakukan oleh
pemerintahan junta militer dibawah kepemimpinan Jenderal Saw Maung pada tanggal
18 Juni 1989. Perubahan nama negara menjadi Myanmar ditujukan untuk
menghilangkan kesan rasial yang melekat pada nama Burma. Berdasarkan data dari
CIA, 68% dari total penduduk negara ini adalah etnis Burma atau Bama. Itu
berarti nama Burma hanya mewakili etnis Bama dan terkesan negara ini adalah
milik etnis Bama, sementara Burma merupakan negara dengan penduduk yang multi
etnis, terdapat etnis minoritas lainnya. Maka dari itu perubahan nama tersebut
bertujuan agar etnis non-Burma mempunyai rasa menjadi bagian dari negaranya.
Nama negara baru (Myanmar) diikuti
dengan ibu kota negara baru yaitu Naypyidaw. Ibu kota negara baru ini bukan
perubahan nama dari Yangon menjadi Naypyidaw namun terjadi pemindahan lokasi
ibu kota. Pemindahan ibu kota negara ini dilakukan oleh junta militer pada 7
November 2005 ke Naypyidaw yang mempunyai arti “tempat tinggal para raja”.
Naypyidaw adalah sebuah kota di distrik Mandalay yang terletak ditengah dari
negara ini. Diantara beberapa alasan terkait pemindahan ibu kota negara
Myanmar, ada sebuah alasan klasik yaitu pemindahan tersebut dilakukan untuk
mengikuti sebuah tradisi Myanmar pada masa dinasti yang gemar memindahkan ibu
kota. Namun tentunya pemindahan ibu kota negara tersebut telah menghabiskan
biaya yang cukup besar dan berpengaruh terhadap anggaran belanja negara.
Selain dua kebijakan diatas, ada hal
lain yang menarik dari Myanmar yaitu nama negara bagian Myanmar yang mewakili
nama sebuah etnis. Myanmar adalah sebuah negara federal yang memiliki 7 negara
bagian diantaranya negara bagian Chin, Kachin, Kayah, Kayin, Mon, Rakhine dan
Shan. Jika melihat nama dari ke-7 negara bagian tersebut maka akan sama dengan
nama-nama etnis yang ada di Myanmar seperti etnis Chin, Shan, Karen, Rakhine
dan Mon. Hal ini menjadi sebuah keunikan yang dimiliki oleh Myanmar.
Pemerintahan Myanmar memberikan sebuah
hak istimewa kepada beberapa etnis mayoritas yang ada di beberapa wilayah
Myanmar untuk mendirikan sebuah negara bagian sendiri. Misalnya negara bagian
Mon yang didirikan oleh etnis Mon yang juga merupakan etnis mayoritas disana,
begitu pula dengan Negara Bagian Chin oleh etnis Chin, Kahcin, Kayah dan Shan.
Namun hak istimewa tersebut tidak berlaku bagi etnis Rohingya, dimana etnis ini
merupakan etnis mayoritas di negara bagian Rakhine (dulu Arakan) namun hak
tersebut diberikan kepada etnis minoritas Rakhin yang beragama Budha dengan
jumlah penduduk kurang dari 10%, sehingga negara bagian ini bernama Rakhine
bukan Rohang.
Myanmar telah tercatat di dalam
sejarah sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang pemerintahannya dikuasai
oleh Junta Militer selama 46 tahun. Entah kapan kekuasaan otoriter junta
militer di Myanmar akan berakhir dan diganti oleh sebuah kehidupan demokratis
untuk menciptakan kehidupan yang layak serta kesejahteraan bagi rakyat
Myanmar. Akan sangat sulit tercipta kehidupan yang demokratis apabila
kekuasaan tertinggi masih dikuasai oleh militer.
E.
Kesimpulan
1. Sejarah
kehidupan kebhiksuan di Myanmar tak lepas dari negeri Srilanka yang menjadi
sumber dari mana pergerakan agama Buddha menyebar ke Asia Tenggara, khususnya
agama Buddha bermashab Theravada
2. Agama
Buddha di Myanmar (juga dikenal sebagai Burma) didominasi oleh tradisi
Theravada, dipraktekkan oleh 89% dari penduduk negara tersebut. TheravÄda Burma
memiliki pengaruh besar pada praktik vipassana modern, baik bagi para praktisi
awam di Asia.
3. Semenjak berkuasanya junta militer, sudah banyak
terjadi aksi demonstrasi dari rakyat Myanmar baik itu yang dimotori oleh para
aktivis mahasiswa maupun tokoh agama yaitu biksu. Para demonstran mengecam
kekuasaan militer di kursi pemerintahan yang seharusnya dijalankan oleh sipil.
Aksi demonstrasi ini disikapi oleh pemerintah militer dengan tindak kekerasan.
E. Daftar Pustaka
E. Daftar Pustaka
http://anakbuddhis.blogspot.co.id/2013/05/perkembangan-agama-buddha-di-myanmar.html
(diakses pada 4 November 2015)
https://yasodharaputeri.wordpress.com/2009/02/08/sejarah-agama-buddha-di-myanmar
(diakses pada 4 November 2015)
http://id.netlog.com/ksubho/blog/blogid=12686
(diakses pada 4 November 2015)
https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha_di_Myanmar
(diakses pada 4 November 2015)
0 komentar:
Posting Komentar