Secara etimologi, psikologi memiliki arti ilmu-ilmu tentang jiwa. Dalam Islam, istilah jiwa memiliki padanan dengan kata nafs, meski ada juga yang menyamakan dengan istilah ruh. Namun begitu, istilah nafs lebih populer penggunaannya daripada istilah ruh. Dan dengan demikian, psikologi dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al nafs atau ilmu al ruh.[1]
Selanjutnya, istilah ilmu al nafs banyak dipakai dalam literatur psikologi Islam, meskipun sebenarnya term al nafs tidak dapat disamakan dengan istilah-istilah psikologi kontemporer seperti soul atau psyche. Hal demikian dikarenakan al nafs merupakan gabungan substansi jasmani dan ruhani, sedangkan soul dan psyche hanya berkaitan dengan aspek psikis manusia.[2]
Sebagai
sebuah disiplin ilmu yang relatif baru, psikologi baru dikenal pada
akhir abad ke-18 M, meskipun akarnya telah menghujam jauh ke dalam
kehidupan primitive umat manusia sejak zaman dahulu kala. Plato sudah
mengatakan bahwa manusia adalah jiwanya, sedangkan badannya hanyalah
sekedar alat saja. Aristoteles, berbeda dengan Plato, juga pernah
mengatakan bahwa jiwa adalah fungsi dari badan seperti halnya
penglihatan adalah fungsi dari mata.[3]
Meskipun kajian tentang jiwa sudah
ada sejak zaman Plato di Yunani, namun kajian tentang jiwa tersebut
selanjutnya “menghilang” bersama dengan runtuhnya peradaban Yunani.
Kemudian ketika pemikir-pemikir Islam mengisi panggung sejarah melalui
gerakan penterjemahan dan kemudian komentar serta karya orisinil yang
dilakukan pada masa Daulah Abbasysyiyah, esensi dari pemikiran Yunani
diangkat dan diperkaya.[4]
Namun begitu, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa pemahaman jiwa (nafs) oleh
Islam para Ulama’ generasi pertama tidaklah diilhami dari pemikiran
Yunani, tetapi dari al Qur’an dan Hadits. Hal ini bisa kita lihat dalam
al Qur’an yang menyebut kata nafs tidak kurang dari 300 kali. Demikian pula dalam hadits, kata nafs banyak sekali di sebut.
Dalam perkembangannya, kaitannya dengan upaya membangun kesehatan mental manusia, kajian nafs ternyata bukan psikologi seperti yang kita kenal saat ini, tetapi tasawuf dan akhlak, yakni ilmu yang menekankan nafs sebagai sifat yang tercela yang perlu disucikan (tazkiyah al nafs) agar menjadi nafs yang sehat (nafs al muthma’innah).[5]
Terlepas dari itu semua, ilmu psikologi seharusnya dilihat sebagai upaya manusia untuk membuka rahasia sunnatullah yang bekerja pada diri manusia (ayat-ayat nafsaniyah) dalam arti menemukan berbagai asas, unsur, proses, fungsi, dan hukum-hukum di seputar kejiwaan manusia.
Berangkat
dari asumsi di atas, kiranya “PR” yang perlu dikerjakan adalah
menjadikan psikologi agar dapat digunakan untuk menerangkan berbagai
problem yang dihadapi oleh kaum Muslimin dalam kehidupan kesehariannya,
melakukan telaah kritis terhadap konsep-konsep dan teori-teori psikologi
yang dipandang menyimpang dari ajaran Islam, kemudian menawarkan konsep
alternatif tentang psikologi yang lebih sesuai dengan ajaran Islam
sehingga dapat disebut Psikologi Islami atau Psikologi Islam, meskipun sampai sejauh ini belum ada kesepakatan tentang penyebutan nama, apakah menggunakan nama Psikologi Islami atau Psikologi Islam.
Dari
kenyataan tersebut dapat dipahami bahwa ilmu Psikologi Islam seperti
halnya Sosiologi Islam masih dalam proses pembangunan, dan belum mewujud
sebagai sains. “Kebaruan” ini bukan berarti topik tentang psyche, nafs, atau jiwa belum dijamah oleh dunia keilmuan Islam, melainkan karena sejarah keilmuan yang berbeda.[6]
Perbedaan
yang lain adalah dalam rumusan konsep manusia dan cara mendekatinya.
Psikologi Barat semata-mata menggunakan kemampuan intelektual untuk
menemukan dan mengungkapakan asas-asas kejiwaan, sementara Psikologi
Islam mendekatinya dengan memfungsikan akal dan keimanan sekaligus.[7]
Walaupun
demikian, sebagai ilmu yang masih dalam proses pembangunan, jika ingin
menghasilkan suatu pendekatan baru dalam khasanah Psikologi Islam, maka
langkah yang paling tepat bukan memulainya dari nol, melainkan dimulai
dari penemuan dan teori psikologi Barat kontemporer.
Berangkat dari asumsi demikian, kiranya ada dua model pendekatan, Pertama, psikologi sebagai pisau analisis dalam menghadapi masalah-masalah yang berkembang di kalangan Umat Islam. Kedua, Islam dijadikan sebagai alat untuk menilai konsep-konsep psikologi Barat kontemporer.[8]
Diatas itu semua, semangat pengembangan Psikologi Islam hendaknya tetap mengacu pada beberapa hal, diantaranya:
1) Psikologi
Islami adalah merupakan ilmu yang berbicara tentang manusia, terutama
masalah kepribadian manusia, yang bersifat filsafat, teori, metodologi
dan pendekatan problem dengan didasari sumber-sumber formal Islam (al
Qur’an dan Hadits), akal, indera dan intuisi.[9]
2) Psikologi Islami adalah konsep psikologi modern yang telah melalui proses filterisasi dan didalamnya terdapat wawasan Islam.[10]
3) Psikologi
Islami adalah perspektif Islam terhadap psikologi modern dengan
membuang konsep-konsep yang tidak sesuai atau bertentangan dengan Islam.[11]
4) Psikologi
Islami ialah ilmu tentang manusia yang kerangka konsepnya benar-benar
dibangun dengan semangat Islam dan bersandarkan pada sumber formal (al
Qur’an dan Hadits) yang dibangun dengan memenuhi syarat-syarat ilmiah.[12]
5) Psikologi
Islam merupakan corak psikologi yang berlandaskan citra manusia menurut
ajaran Islam, yang mempelajari keunikan dan pola perilaku manusia
sebagai ungkapan pengalaman interaksi dengan diri sendiri, lingkungan
sekitar dan alam kerohanian dengan tujuan meningkatkan kesehatan mental
dan kualitas keberagamaan.[13]
Dengan
demikian, jika psikologi mempunyai tugas mencakup, menguraikan,
memprediksi dan mengendalikan tingkah laku manusia, maka psikologi Islam
masih memiliki tugas tambahan, yaitu pengembangan psikologi Islam.
Dalam hal ini psikologi Islam harus menempatkan agama sebagai pijakan
ilmu.
Selain
itu, psikologi Islam juga harus mampu merumuskan asas-asas kejiwaan
dari al Qur’an dan Hadits, yaitu yang berkaitan dengan karakter manusia
sebagaimana yang telah banyak disebutkan dalam al Qur’an, seperti dlaif (lemah), jahl (bodoh), halu’ (terburu-buru), zhulm (sewenang-wenang), kaffar (banyak menentang), kanud (tindak pandai berterimakasih), ghalidl al qalbi (keras dan kasar hati), qalbun salim (hati yang bersih), fi qulubihim maridl (penyakit hati), lahiyah al qulub (hati yang lalai), ru’fah wa rahmah (cinta dan kasih saying) dan lain-lain.[14]
Psikologi
Islami juga harus mengkaji amalan-amalan yang telah dilaksanakan umat
Islam yang disinyalir memiliki pijakan psikologis. Dalam bidang
konseling misalnya, meski para Ulama’ tidak mengenal teori Bimbingan dan
Konseling modern, tetapi terapi psikologi bukanlah sesuatu yang asing
bagi para kiai. Boleh jadi paradigma yang digunakan oleh para kiai
tersebut berbeda dengan paradigma psikologi modern, melainkan paradigma
tasawuf dan akhlak, tetapi tidak bisa dibantah bahwa tujuan tausiyah para kiai tersebut adalah memberikan solusi atas problem-problem psikologi yang dihadapi.
Jadi,
jika ruang lingkup psikologi modern terbatas pada tiga dimensi;
fisik-biologi, kejiwaan dan sosio-kultural, maka ruang lingkup psikologi
Islami di samping tiga dimensi tersebut juga mencakup dimensi
keruhanian, dimensi spiritual, suatu wilayah yang tidak pernah disentuh
oleh psikologi Barat karena perbedaan pijakan.[15]
DAFTAR PUSTAKA
Ancok, Jamaluddin, Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994
Mubarok, Achmad, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern; Jiwa dalam Al Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000
Mujib, Abdul, et.al., Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001
[1] Abdul Mujib, et.al., Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 3
[3] Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern; Jiwa dalam Al Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000, hlm. 261. Lihat juga Abdul Mujib, et.al., Loc. Cit.
[4] Achmad Mubarok, Op. Cit., hlm. 262
[5] Ibid.
[7] Ibid., hlm. 265
[8] Abdul Mujib, et.al., Op. Cit. hlm. 12
[9] Jamaluddin Ancok, Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, hlm. 144
[11]Ibid.
[14]Achmad Mubarok, Op. Cit., hlm. 267
[15] Ibid., hlm. 270
0 komentar:
Posting Komentar