A.
Pendahuluan
Wilayah Jepang terdiri dari empat pulau besar,
yaitu Hondo (Honsyu) dan Hokkaido (Ezo) dan Shikoku dan Kyushu, beserta ribual
pulau kecil.Penduduk asal kepulauan itu sepanjang arkeologi dan atropologi, era
berkaitan dengan suku Tunggus dan suku Korea berdasarkan pembuktian
lingguistik.Sepanjang pembuktian ethnografis dan mythologis[1],
kedalamnya unsur belahan selatan Tiongkok beserta unsur Melayu belahan dari
Asia Tenggara dan unsur Polysnesia.Pada masa sebelumnya unsur Ainu, (Mungkin
proto-Caucassoiids), Sepertinya agak berdominan di tempat itu. Suatu suku dari
pulau Kyushu yang terletak pada belahan selatan, dan suku itu belakangan
membentuk imperium, menyeberang ke utara menuju lembah Yamato (Nara) dipulau
Honsyu.Ia memperoleh kemenangan dalam persaingan kekuasaan dengan suku Izumo
yang punya pertalian darah dengan suku Korea. Melalui peperangan dengan
berbagai suku lainnya.Termasuk dengan suku Kaisar Jepang pertama-tama pada
tahun 660 SM, yaitu kaisar Jimmu Tenno.
Bentuk susunan social di Jepang dewasa itu
terdiri atas himpunan berbagai suku (Uji), yang satu persatu suku itu dibawah
pimpinan seorang kepala suku (Uji No Kami).Anggota suatu suku itu menyatakan
turunan satu bertindak sebagai datu (high priest) dalam upacara pemujaan
terhadap dewa suku (ujigami), dan suku kekuasaan bersifat kepadrian
(sacerdotal).Kepala suku dan keluarganya seringkali beroleh berbagai gelaran
(kabana), yang dalam perkembanganya bersifat hitaraki. Di dalam lingkungan suku
selalu berkelompok-kelompok kerja yang bersifat warisan (tomo), yang serupa
dengan kedudukan (guilds ) di Barat. Suku yang memeganag pusat kekuasaan
didalam imperium, maka membuat dewa suku menjadi dewa nasional.Dua suku yang
punya kedudukan penting ialah suku Omi dan suku Muraji.Semua ketua ari suku
Kumo, Otomo, Mononobe, Menempati Imube (Imibe atau Imbe) menjabat urusan
upacara-upacara keagamaan.
Negara Jepang itu sepanjang sejarah sering
berbenturan dengan Korea dan Tiongkok dan pertempuran itu meniggalkan jejeak
pengaruh di Jepang[2].
Agama Shinto di Jepang itu tumbuh dan hidup dan berkembang dalam lingkungan
penduduk, bukan datang dari luara.Nama asli bagi agama itu ialah Kami no Michi,
yang bermakna “jalan dewa”. Pada saat Jepang berbenturan dengan kebudayaan
Tiongkok maka nama asli itu terdesak kebelakang oleh nama baru yaitu Shin-To.
Nama baru itu perubahan dari Tien-Tao, yang bermakna “jalan langit”.Perubahan
bunyi kata itu seperti halnya dengan aliran Chan, sebuah sekte agama Budha
mazhab Mahayana di Tiongkok, menjadi aliran Zen sewaktu berkembang di Jepang.
Agama Shinto itu berkenyakinan pada mythos
bahwa bumi di Jepang itu diciptakan dewata yang pertama-tama dan bahwa Jimmu
Tenno (660 SM), Kaisar Jepang yang pertama itu, adalah turunan langsung dari
Amaterasu Omi Kami, yaitu dewi matahari, dalam perkawinannya dengan Taouki
Lomi, yakni dewa bulan. Sekalian upacara dan kebaktian terpusat seluruhnya pada
pokok keyakinan tersebut. Sejarah perkembangan agama Shinto di Jepang dapat
dibagi menjadi beberapa tahap massa :
a.
Masa perkembangannya dengan pengaruh yang
mutlak sepenuhnya di Jepang, Yitu dari tahun 660 SM – 552 M. kira-kira 12 abad
lamanya.
b.
Masa agama Budha dan ajaran Konfusianisme dan
ajaran Taoisme masuk ke Jepang, yaitu tahun 552 M sampai tahun 800 M, yang
dalam masa dua setengah abad itu agama Shinto memperoleh persainga berat, pada
tahun 645 M kaisar Kotoku merestui agama Buddha dan menyampingkan Kami no
Michi. Sedangkan pada tahun 671 M sang Kaisar membelakangi dunia dan
mengenangkan pakaian rahib.
c.
Masa sinkronisasi secara berangsur-angsur
antara agama Shinto dengan tiga ajaran lainnya, yaitu dari tahun 800 M sampai
1700 M, yang masa dalam Sembilan abad itu pada akhirnya lahir Ryobu Shinto yang
didirikan oleh Kubo Daishi (774-835 M) dan Kita Batake Chikafuza (1293 – 1354
M) dan Ichijo Kanoyoshi (1465-1500 M)[3].
Agama Jepang biasanya disebut dengan agama
Shinto.Sebagai agama asli bangsa Jepang, agama tersebut memiliki sifat yang
cukup unik. Proses terbentuknya, bentuk-bentuk upacara keagamaannya maupun
ajaran-ajarannya memperlihatkan perkembangan yang sangat ruwet. Banyak
istilah-istilah dalam agama Shinto yang sering dialih bahasakan dengan tepat ke
dalam bahasa lainnya. Kata-kata Shinto sendiri sebenarnya berasal dari bahasa
China yang berarti “jalan para dewa”, “pemujaan para dewa”, “pengajaran para
dewa”, atau “agama para dewa”. Dan nama Shinto itu sendiri baru dipergunakan
untuk pertama kalinya untuk menyebut agama asli bangsa Jepang itu ketika agama
Buddha dan agama konfusius (Tiongkok) sudah memasuki Jepang pada abad keenam
masehi.
Pertumbuhan dan perkembagan agama serta
kebudayaan Jepang memang memperlihatkan kecenderungan yang asimilatif.Sejarah
Jepang memperlihatkan bahwa negeri itu telah menerima berbagai macam pengaruh,
baik kultural maupun spiritual dari luar.Semua pengaruh itu tidak menghilangkan
tradisi asli, dengan pengaruh-pengaruh dari luar tersebut justru memperkaya
kehidupan spiritual bangsa Jepang. Antara tradisi-tradisi asli dengan
pengaruh-pengaruh dari luar senantiasa dipadukan menjadi suatu bentuk tradisi
baru yang jenisnya hampir sama. Dan dalam proses perpaduan itu yang terjadi
bukanlah pertentangan atau kekacauan nilai, melainkan suatu kelangsungan dan
kelanjutan. Dalam bidang spiritual, pertemuan antara tradisi asli Jepang dengan
pengaruh-pengaruh dari luar itu telah membawa kelahiran suatu agama baru yaitu
agama Shinto, agama asli Jepang.
B.
Pembahasan
Shintoisme (Agama Shinto)
I. Pengertian
Shinto adalah kata majemuk daripada “Shin” dan
“To”. Arti kata “Shin” adalah “roh” dan “To” adalah “jalan”. Jadi “Shinto”
mempunyai arti lafdziah “jalannya roh”, baik roh-roh orang yang telah meninggal
maupun roh-roh langit dan bumi. Kata “To” berdekatan dengan kata “Tao” dalam
taoisme yang berarti “jalannya Dewa” atau “jalannya bumi dan langit”. Sedang
kata “Shin” atau “Shen” identik dengan kata “Yin” dalam taoisme yang berarti
gelap, basah, negatif dan sebagainya ; lawan dari kata “Yang”. Dengan melihat
hubungan nama “Shinto” ini, maka kemungkinan besar Shintoisme dipengaruhi faham
keagamaan dari Tiongkok. Sedangkan Shintoisme adalah faham yang berbau
keagamaan yang khusus dianut oleh bangsa Jepang sampai sekarang.Shintoisme
merupakan filsafat religius yang bersifat tradisional sebagai warisan nenek
moyang bangsa Jepang yang dijadikan pegangan hidup.Tidak hanya rakyat Jepang
yang harus menaati ajaran Shintoisme melainkan juga pemerintahnya juga harus
menjadi pewaris serta pelaksana agama dari ajaran ini[4].
II.
Sejarah
Shintoisme (agama Shinto) pada mulanya adalah
merupakan perpaduan antara faham serba jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap
gejala-gejala alam.Shintoisme dipandang oleh bangsa Jepang sebagai suatu agama
tradisional warisan nenek moyang yang telah berabad-abad hidup di Jepang,
bahkan faham ini timbul daripada mitos-mitos yang berhubungan dengan terjadinya
negara Jepang.Latar belakang historis timbulnya Shintoisme adalah sama-sama
dengan latar belakang historis tentang asal-usul timbulnya negara dan bangsa Jepang.Karena
yang menyebabkan timbulnya faham ini adalah budidaya manusia dalam bentuk
cerita-cerita pahlawan (mitologi) yang dilandasi kepercayaan animisme, maka
faham ini dapat digolongkan dalam klasifikasi agama alamiah.
Nama Shinto muncul setelah masuknya agama
Buddha ke Jepang pada abad keenam masehi yang dimaksudkan untuk menyebut
kepercayaan asli bangsa Jepang.Selama berabad-abad antara agama Shinto dan
agama Buddha telah terjadi percampuran yang sedemikian rupa (bahkan boleh
dikatakan agama Shinto berada di bawah pengaruh kekuasaan agama Buddha)
sehingga agama Shinto senantiasa disibukkan oleh usaha-usaha untuk
mempertahankan kelangsungan “hidupnya” sendiri.
Pada perkembangan selanjutnya, dihadapkan
pertemuan antara agama Budha dengan kepercayaan asli bangsa Jepang (Shinto)
yang akhienya mengakibatkan munculnya persaingan yang cukup hebat antara
pendeta bangsa Jepang (Shinto) dengan para pendeta agama Buddha, maka untuk
mempertahankan kelangsungan hidup agama Shinto para pendetanya menerima dan memasukkan
unsur-unsur Buddha ke dalam sistem keagamaan mereka. Akibatnya agama Shinto
justru hampir kehilangan sebagian besar sifat aslinya.Misalnya, aneka ragam
upacara agama bahkan bentuk-bentuk bangunan tempat suci agama Shinto banyak
dipengaruhi oleh agama Buddha. Patung-patang dewa yang semula tidak dikenal
dalam agama Shinto mulai diadakan dan ciri kesederhanaan tempat-tempat suci
agama Shinto lambat laun menjadi lenyap digantikan dengan gaya yang penuh
hiasan warna-warni yang mencolok.
Tentang pengaruh agama Buddha yang lain nampak
pada hal-hal seperti anggapan bahwa dewa-dewa Shintoisme merupakan Awatara
Buddha (penjelmaan dari Buddha dan Bodhisatwa), Dainichi Nyorai (cahaya besar)
merupakan figur yang disamakan dengan Waicana (salah satu dari dewa-dewa
penjuru angin dalam Budhisme Mahayana), hal im berlangsung sampai abad ketujuh
belas masehi. Setelah abad ketujuh belas timbul lagi gerakan untuk menghidupkan
kembali ajaran Shinto murni di bawah pelopor Kamamobuchi, Motoori, Hirata,
Narinaga dan lain-lain dengan tujuan bangsa Jepang ingin membedakan “Badsudo”
(jalannya Buddha) dengan “Kami” (roh-roh yang dianggap dewa oleh bangsa Jepang)
untuk mempertahankan kelangsungan kepercayaannya.
Pada abad kesembilan belas tepatnya tahun 1868
agama Shinto diproklamirkan menjadi agama negara yang pada saat itu agama
Shinto mempunyai 10 sekte dan 21 juta pemeluknya. Sejak saat itu dapat
dikatakan bahwa paham Shintoisme merupakan ajaran yang mengandung politik
religius bagi Jepang, sebab saat itu taat kepada ajaran Shinto berarti taat
kepada kaisar dan berarti pula berbakti kepada negara dan politik negara.
III. Madzhab/
Sekte-Sekte Agama Shinto
1.
Imperial Shinto (Kyūchū
Shinto atau Koshitsu Shinto)
Shinto kelompok ini sangat eksklusif dan tidak
umum ditemukan. Memiliki beberapa kuil saja yang kalau tidak salah 5 buah di
seluruh negeri. Nama kuil ini biasanya berakhir dengan nama Jingu, misalnya
Heinan Jingu, Meiji Jingu, Ise Jingu dll. Kuil Shinto kelompok ini selain
berfungsi sebagai tempat untuk memuja Kami juga berfungsi sebagai tempat memuja
leluhur khususnya keluarga kerajaan. Salah satu dari kuil ini dibangun khusus
untuk menghormati dewa Matahari.
2.
Folk Shinto (Minzoku
Shinto)
Mithyologi tentang Kojiki, cerita terbentuknya
pulau Jepang dan cerita tentang dewa dewa lain adalah ciri khas dari Shinto
kelompok ini. Jadi Folk Shinto adalah kepercayaan Shinto yang meliputi cerita
tua, legenda, hikayat dan cerita sejarah. Kuil Kibitsu Jinja yang terletak di
daerah Okayama, Jepang tengah adalah salah satu contoh menarik karena dibangun
untuk menghormati tokoh utama dalam cerita rakyat yaitu Momo Taro. Disamping
itu Shinto kelompok ini juga mendapat pengaruh yang kuat dari agama Buddha,
Konfucu, Tao dan ajaran penduduk local seperti Shamanism, praktek penyembuhan
dll. Kuil kelompok ini biasanya mudah dibedakan dengan kuil lainya karena
adanya sejarah pendirian kuil yang unik. Jadi jangan kaget kalau Anda menemukan
kuil yang penuh dengan ornament dan pernak pernik kucing atau binatang dan
benda lainya karena sejarah pendiriannya yang memang berkaitan dengan binatang
tersebut.
3.
Sect Shinto (Kyoha
atau Shuha Shinto)
Shinto kelompok ini mulai muncul pada abad ke
19 dan sampai saat ini memiliki kurang lebih 13 sekte. Dua diantara sekte ini
yang cukup banyak pengikutnya adalah Tenrikyo atau Kenkokyo. Keberadaan dari
Sect Shinto ini cukup unik karena memiliki ajaran, doktrin, pemimpin atau
pendiri yang dianggap sebagai nabi dan yang terpenting biasanya menggolongkan
diri dengan tegas sebagai penganut monotheisme. Shinto golongan ini sepertinya
jarang dibahas ataupun kurang dikenal oleh kebanyakan orang.sehingga konsep
monotheisme dari shinto aliran baru nyaris luput dari tulisan kebanyakan orang.
4.
Shrine Shinto (Jinja
Shinto)
Dari semua kelompok kuil Shinto yang ada,
kelompok inilah yang sepertinya paling mudah untuk ditemukan. Diperkirakan saat
ini ada sekitar 80 ribuan kuil yang ada di seluruh negeri dan semuanya
tergabung dalam satu organisasi besar yaitu Association of Shinto Shrines[5].
IV.
Kepercayaan Agama Shinto
A.
Kepercayaan kepada “Kami”
Dalam agama Shinto yang merupakan perpaduan
antara faham serba jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam
mempercayai bahwasanya semua benda baik yang hidup maupun yang mati dianggap
memiliki ruh atau spirit, bahkan kadang-kadang dianggap pula berkemampuan untuk
bicara, semua ruh atau spirit itu dianggap memiliki daya kekuasaan yang
berpengaruh terhadap kehidupan mereka (penganut Shinto), daya-daya kekuasaan
tersebut mereka puja dan disebut dengan “Kami”.
Istilah “Kami” dalam agama Shinto dapat
diartikan dengan “di atas” atau “unggul”, sehingga apabila dimaksudkan untuk
menunjukkan suatu kekuatan spiritual, maka kata “Kami” dapat dialih bahasakan
(diartikan) dengan “Dewa” (Tuhan, God dan sebagainya). Tradisi Shinto mengenal
beberapa nama Dewa yang bagi Shinto bisa juga berarti Tuhan yang dalam bahasa
Jepang disebut dengan istilah Kami atau Kamisama. Kamisama ini bersemayam atau
hidup di berbagai ruang dan tempat, baik benda mati maupun benda hidup. Pohon,
hutan, alam, sungai, batu besar, bunga sehingga wajib untuk dihormati. Penamaan
Tuhan dalam kepercayaan Shinto bisa dibilang sangat sederhana yaitu kata Kami
ditambah kata benda. Tuhan yang berdiam di gunung akan menjadi Kami no Yama,
kemudian Kami no Kawa (Tuhan Sungai), Kami no Hana (Tuhan Bunga) dan Dewa/Tuhan
tertingginya adalah Dewa Matahari (Ameterasu Omikami) yang semuanya harus
dihormati dan dirayakan dengan perayaan tertentu.[6]
Jadi inti dari konsep Tuhan dalam kepercayaan
Shinto adalah sangat sederhana yaitu ”semua benda di dunia, baik yang bernyawa
ataupun tidak, pada hakikatnya memiliki roh, spirit atu kekuatan jadi wajib
dihormati” . konsep ini memiliki pengaruh langsung didalam kehidupan masyarakat
Jepang. Misalnya seperti, seni Ikebana atau merangkai bunga yang berkembang
pesat di Jepang karena salah satunya dilandasi konsep Shinto tentang Spirit
atau Tuhan yang bersemayam pada bunga serta tumbuhan yang harus dihormati. Disamping
mempercayai adanya dewa-dewa yang memberi kesejahteraan hidup, mereka juga mempercayai
adanya kekuatan gaib yang mencelakakan, yakni hantu roh-roh jahat yang disebut
dengan Aragami yang berarti roh yang ganas dan jahat. Jadi dalam Shintoisme ada
pengertian kekuatan gaib yang dualistis yang satu sama lain saling berlawanan
yakni “Kami” versus Aragami (Dewi melawan roh jahat) sebagaimana kepercayaan
dualisme dalam agama Zarathustra. Dari kutipan di atas dapat dilihat adanya
tiga hal yang terdapat dalam konsepsi kedewaan agama Shinto, yaitu :
1.
Dewa-dewa yang pada umumnya merupakan personifikasi
dari gejala-gejala alam itu dianggap dapat mendengar, melihat dan sebagainya
sehingga harus dipuja secara langsung.
2.
Dewa-dewa tersebut dapat terjadi (penjelmaan)
dari roh manusia yang sudah meninggal.
3.
Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit (mitama)
yang beremanasi dan berdiam di tempat-tempat suci di bumi dan mempengaruhi
kehidupan manusia.
Uraian utama dalam mite suku yamato tersebut adalah tentang
asal-usul alam dan dunia ini, khususnya kepulauan jepang. Pada mulanya,
disebutkan langit dan bumi masih dalam keadaan menyatu dan belum dapat
dibeda-bedakan. Kemudian mulailah muncul perbedaan-perbedaan : unsur-unsur
ringan yang membentuk langit dan unsure-unsur berat yang membentuk bumi. Dari
awan putih yang terletak diantara kedua unsure tersebut muncul 3 dewa, yang
disebut 3 kami pencipta. Kemudian
muncul pula 2 dewa yang selanjutnya memeperoleh perhatian dan tempat istimewa
dalam agama Shinto, yaitu dewa Izanagi
dan dewi Izanami. Keduanya
menciptakan kepulauan jepang lengkap dengan dewanya, seperti:
·
Dewa
bumi
·
Dewa
air
·
Dewa
gunung
·
Dewa
api, dsb[7]
Dan alat-alat penting lainnya yang terdapat di alam ini. Setelah
melahirkan dewa api, Izanami meninggal
dunia, kemudian menjadi dewi Tanahyomi,
tempat orang-orang yang telah mati. Ketika Izanagi
pergi mengunjungi istrinya yang sudah mati itu, ia melanggar suatu
pantangan sehingga menjadi kotor dan berdosa. Oleh karena itu ia kemudian pergi
ke laut untuk melakukan upacara pensucian. Ketika sedang membersihkan diri di
air, dari matanya sebelah kiri terjadi dewi matahari, Amaterasu, dan dari air matanya sebelah kanan terjadi dewu bulan, Tsukiyomi, sementara dari yang
dipergunakan untuk membersihkan hidungnya terjadi dewa laut dan gelombang.
Dewi Amaterasu memiliki
seorang cucu yang bernama Ninigimikoto,
yang ditugaskannya untuk memerintah dunia disertai jaminan bahwa ia akan
memerintah dunia untuk selama-lamanya. Ia turun didaerah Kyushu. Putranya, Jimmutenn,
adalah kepala suku Yamato yang pertama dan juga kaisar jepang pertama kali.
Dari garis inilah kemudian agama Shinto menanamkan kepercayaan diakalangan
rakyat jepang bhwa negeri mereka senantiasa diperintah oleh satu dinasti
kekaisaran tunggal sejak awal mula sejarahnya sampai sekarang. Dalam garis ini
pula para kaisar jepang menyatakan asal-usul mereka. Dengan demikian, kira-kira
mulai saat suku yamato tersebut berkuasa, kultus dan tradisi keagamaan bangsa
jepang yang beraneka ragam sedikit demi sedikit mulai dibersatukan dan
diorganisasikan kedalam suatu bentuk pemerintahan agama dengan suatu system ritus
yang dipusatkan pada Dewi Matahari, meskipun masih dalam keadaan tanpa nama.[8]
B.
Hubungan antara
Manusia dengan Tuhan (Dewa)
Hubungan antara Kami dengan manusia menurut
konsep Shinto juga cukup unik kaerna polanya cenderung tidak bersifat Vertikal,
namun lebih banyak bersifat horizontal. Kami hidup dan berada dibawah gunung,
hutan, laut, atau di tengah perkampungan penduduk yang ditandai dengan
berdirinya kuil penjaga desa.
Jadi konsep Tuhan di atas atau langit dan
manusia di bumi sepertinya kurang tepat untuk kepercayaan Shinto. Mikoshi atau
Dashi sebagai perwujudan dari kereta bagi Kami, yang digotong beramai-ramai
selam festival di kuil mungkin salah satu contoh menarik. ”Kereta Tuhan” ini
tidaklah diarak dengan hormat dan khidmad namun diguncang guncangkan,
dibentur-benturkan. Dinaiki beramai-ramai bahkan tidak jarang diduduki pada
bagian atapnya oleh beberarapa orang selama proses prosesi.
C.
Konsep Dosa
Salah satu tokoh Shinto Shimogamo Shrine
mengatakan bahwa, Shinto tidak mengajarkan adanya perbuatan dosa. Jika
melakukan perbuatan tertentu yang menciptakan dosa seseorang harus mau
dibersihkan semata-mata untuk ketenangan pikiran sendiri dan nasib baik, dan
bukan karena dosa yang salah dalam dan dari dirinya sendiri. Perbuatan jahat
dan salah disebut "Kegare",. "cerah" atau hanya
"baik". Membunuh apa pun untuk dapat bertahan hidup harus dilakukan
dengan rasa syukur dan melanjutkan ibadah. Jepang Modern terus menempatkan
penekanan pada pentingnya "aisatsu" atau ritual frasa dan salam.
Sebelum makan, orang harus mengucapkan "itadakimasu",. "Saya
akan dengan rendah hati menerima", dalam rangka untuk menunjukkan rasa
syukur dari makanan pada khususnya dan umumnya kepada semua makhluk hidup yang
kehilangan nyawa mereka untuk membuat makanan. Kegagalan untuk menunjukkan rasa
hormat yang tepat adalah tanda kebanggaan dan kurangnya kepedulian terhadap
orang lain.
D.
Konsep surga
dan neraka ataupun ajaran tentang kehidupan alam akhirat
Sepertinya adalah hal yang umum ditemukan pada
ajaran agama ataupun kepercayaan primitif sekalipun. Shinto sepertinya memiliki
tradisi yang sedikit menyimpang. Konsep surga dan neraka hampir tidak disentuh
sama sekali dalam kepercayaan Shinto. Hal ini bisa dilihat dari hampir tidak
ditemukannya ritual upacara kematian pada tradisi Shinto. Ritual dan tata cara
pemakaman di Jepang sepenuhnya dilakukan dengan tata cara agama Budha dan
sisanya menggunakan ritual agama Kristen. Kuburan dan tempat makam juga umumnya
berada di bawah organisasi kedua agama tersebut. Sepertinya ritual Shinto lebih
difokuskan pada kehidupan pada kehidupan duniawi atau kehidupan sekarang
terutama yang berhubungan dengan alam khususnya keselarasan antara manusia
dengan alam sekitarnya.
E.
Kitab suci agama Shinto
Kitab suci yang tertua dalam agama Shinto itu
ada dua buah, akan tetapi disusun sepuluh abad setelah meninggalnya Jimmu Tenno
sang Kaisar Jepang yang pertama, dan dua buah lagi disusun pada masa belakangan,
keempat kitab itu adalah :
1.
Kojiki, yang bermakna : catatan peristiwa
purbakala disusun pada tahun 712 M, setelah Kekaisaran Jepang berkedudukan di
Nara yang pada waktu itu ibu kota Nara dibangun pada tahun 710 M, arsitek ini
seperti ibukota Changan di Tiongkok.
2.
Nihonji, yang bermakna : riwayat Jepang,
disusun pada tahun 720 M oleh penulis yang sama dengan dibantu sang pangeran di
istananya.
3.
Yengishiki, yang bermakna : berbagai lembaga
pada masa Yengi. Kitab itu disusun pada abad ke 10 M terdiri atas lima puluh
bab. Dan sepuluh bab yang pertama berisikan ulasan kisah-kisah purbakala yang
bersifat kultus. Dan dilanjutkan dengan kisah selanjutnya sampai abad ke 10 M,
tetapi inti dari kitab ini ialah mencatat 25 buah Nurito, yakni do’a-do’a, atau
pujaan yang sangat panjang pada berbagai macam upacara keagamaan.
4.
Manyoshiu, yang bermakna : himpunan sepuluh
ribu daun, berisikan bunga rampai, terdiri dari atas 4496 buah sajak, disusun
antara abad ke 5 dengan abad ke 8 M.
Kitab pertama dan ke dua itu menguraikan tentang alam kayangan
kehidupan para dewa dan dewi sampai kepada Amaterasu Omi Kami (dewa matahari)
dan Tsukiyomi (dewa bulan). Diangkat untuk menguasai langit dan putranya Jimmu
Tenno diangkat untuk menguasai tanah yang subur (bumi Jepang) lalu disusul
dengan sisilah turunan Kaisar Jepang itu beserta riwayat hidup satu
persatuanya.Selanjutnya upacara-upacara keagamaan yang dilakukan dalam masa
yang panjang itu, dan berkenaan dengan pemujaan terhadap Kaisar beserta para
dewa dan dewinya. Dan didalam kata pendahuluan itu dalam kitab Kojiki,
penulisnya menyatakan bahwa dia seorang bangsawan tingkat lima di istana, yang
menerima perintah Kaisar untuk menyusun riwayat hidupnya dan silsilah keturunan
Kaisar. Dan kitab 3 dan 4 berisikan
tentang kisah-kisah legendaris, nyanyian-nyanyian kepahlawanan, beserta
sajak-sajak tentang asal usul kedewaan, asal usul kepulauan Jepang dan kerajaan
Jepang.Ragam hal-hal kisah yang berkaitan tentang kehidupan para dewa dan para
dewi dalam kayangan dilangit. Catatan peristiwa pada masa-masa terakhir barulah
dilanjutkan dengan kisah sejarah[9].
F.
Peribadatan
agama Shinto
Agama Shinto sangat mementingkan ritus-ritus
dan memberikan nilai sangat tinggi terhadap ritus yang sangat mistis.Menurut
agama Shinto watak manusia pada dasarnya adalah baik dan bersih.Adapun jelek dan
kotor adalah pertumbuhan kedua, dan merupakan keadaan negatif yang harus
dihilangkan melalui upacara pensucian (Harae).Karena itu agama Shinto sering
dikatakan sebagai agama yang dimulai dengan dengan pensucian dan diakhiri
dengan pensucian. Upacara pensucian (Harae) senantiasa dilakukan mendahului
pelaksanaan upacara-upacara yang lain dalam agama Shinto. Ritus-ritus yang
dilakukan dalam agama Shinto terutama adalah untuk memuja dewi Matahari
(Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan serta
kemajuan dalam bidang pertanian (beras), yang dilakukan rakyat Jepang pada
Bulan Juli dan Agustus di atas gunung Fujiyama[10].
G.
Upacara pemujaan dan
keagamaan
Pada setiapa
hari kelahiran kaisar, seluruh lembaga pendidikan di Jepang, atas perintah
resmi, melakukan uapacara yang kidmat dengan menundukan diri di depan gambar
sang Kaisar. Kaisar itu dipandang suatu syang sangat sakral, Kaisar tidak
menampakan diri didepan umum. Dalam upacara-upacara tertentu, pada saat
kendaraan Kaisar melintas di jalan besar, seorang yang boleh memandang dari
atas kepala Kaisar dibawah.Segala jendela pada setiap tingkatan atas itu mesti
ditutup rapat.
Akan tetapi sehabis perang dunia kedua, maka
perubahan besar terjadi pada kekuasaan Kaisar yang absolut itu telah digantikan
kekuasaan rakyat melalui sitem pemilihan umum, dan kaisar sudah ditempatkan
pada lambang belaka, yang kini bukan lagi suatu yang sakral akan tetapi
dipandang sebagai manusia biasa, yang saat ini sudah bias bergaul dengan
masyarakat umum, sebuah keyakinan asazi dalam agama Shinto itu telah menghilang
tempat untuk berpijak[11]. Selain
itu juga ada beberpa peryaan yang biasnya di peringati oleh pemeluk agam Shinto
dan perayaan itu diadakan untuk tujuan tujuan yang berkenaan dengan pusaka
leluhur, pengudusan, pengusiran roh jahat atau pertanian, puncak puncak
perayaan diadakan pada tahun baru, saat menanam padi pada musim semi dan pada
saat panen pada musim gugur, musim semi dan musim gugur adalah saat untuk
menghormati leluhur dan mengunjungi makamnya, selama perayaan kami sering
diarak melewati jalan jalan dalam tempat pemujaan yang bisa dibawa bawa untuk
membuat setiap orang yakin bahwa kami sedang mengunjungi masyarakat untuk
memberikan perlindungan.[12]
H. Festival Matsuri
Matsuri berasal dari kata matsuru (menyembah,
memuja) yang berarti pemujaan terhadap Kami atau ritual yang terkait.
Dalam teologi agama Shinto
dikenal empat unsur dalam matsuri: penyucian (harai), persembahan,
pembacaan doa (norito), dan pesta makan. Matsuri yang paling tua yang
dikenal dalam mitologi Jepang adalah ritual yang dilakukan di depan Amano Iwato.
Matsuri dalam bentuk pembacaan doa masih tersisa seperti dalam bentuk Kigansai
(permohonan secara individu kepada jinja atau kuil untuk didoakan dan Jichinsai
(upacara sebelum pendirian bangunan atau konstruksi). Pembacaan doa yang
dilakukan pendeta Shinto untuk individu atau kelompok orang di tempat yang
tidak terlihat orang lain merupakan bentuk awal dari matsuri. Pada saat ini, Ise Jingū merupakan salah satu contoh kuil agama Shinto
yang masih menyelenggarakan matsuri dalam bentuk pembacaan doa yang eksklusif
bagi kalangan terbatas dan peserta umum tidak dibolehkan ikut serta.
Sesuai dengan perkembangan zaman, tujuan
penyelenggaraan matsuri sering melenceng jauh dari maksud matsuri yang
sebenarnya. Penyelenggaraan matsuri sering menjadi satu-satunya tujuan
dilangsungkannya matsuri, sedangkan matsuri hanya tinggal sebagai wacana dan
tanpa makna religius. Kebanyakan festival dilaksanakan pada musim panas sekitar
bulan July dan Agustus dan jatuh pada hari minggu sesuai dengan kalender
masehi. Bulan ini juga merupakan bulan liburan anak sekolah, jadi festival
dipastikan akan dipenuhi oleh para remaja dan anak anak. Matsuri Terbesar adalah :
a)
Gion Matsuri
Adalah tradisi yang berasal dari sekitar 1.100 tahun yang lalu.
Pada tahun 869 konon terjadi
wabah penyakit menular yang mengganas di seluruh Jepang, sehingga perlu
diadakan upacara yang disebut Goryō-e untuk menenangkan arwah orang yang
meninggal karena wabah penyakit menular. Pendeta Shintō bernama Urabe Hiramaro
membuat 66 pedang dengan mata di dua sisi (hoko) untuk persembahan
kepada penjaga dari penyakit menular yang disebut dewa Gozutennō. Jumlah Hoko
yang dibuat sesuai dengan jumlah negara-negara kecil (kuni) yang
terdapat di Jepang pada saat itu. Upacara ini kemudian dikenal sebagai Gion
Goryō-e, yang kemudian penyebutannya disingkat menjadi Gion-e.
Berbeda dengan Gion Matsuri yang dikenal sekarang ini, prosesi Yamaboko
yang menjadi puncak perayaan Gion Matsuri pada tahun 1966 dilakukan dalam dua tahap:
- Zensai (prosesi Yama dan Hoko pada tanggal 17 Juli)
- Ato Matsuri (prosesi Yama saja pada tanggal 24 Juli).
Yamaboko adalah
istilah untuk Yama dan Hoko. Yama adalah kendaraan beroda (float)
besar dari kayu dengan hiasan megah dan ditarik oleh banyak orang. Hiasan
kendaraan (kenshōhin) pada Yama berupa benda-benda keagamaan dan
benda-benda seni seperti karpet yang didatangkan dari Eropa dan Tiongkok melalui Jalan Sutra. Perdagangan
dengan Dinasti Ming mencapai puncaknya pada zaman Muromachi, sehingga
motif dari luar negeri banyak dipamerkan dalam Gion Matsuri. Masing-masing Yama
mempunyai tema yang biasanya merupakan cerita dongeng yang berasal dari
Tiongkok.
Hoko adalah
jenis Yama dengan menara menjulang tinggi yang di ujung paling atasnya terdapat
hoko (katana dengan mata di
dua sisi) walaupun ada juga Hoko yang tidak bermenara. Hoko juga dijadikan
panggung untuk kelompok orang berpakaian Yukata yang terdiri dari pemain musik Gionbayashi dan peserta yang
berkesempatan naik karena memenangkan undian hasil membeli Chimaki atau Gofu
(semacam jimat). Musik Gionbayashi yang menurut telinga orang Jepang
berbunyi "Kon-chi-ki-chin" baru menjadi tradisi Gion Matsuri pada zaman Edo.
b)
Tenjin matsuri
Perayaan Tenjinmatsuri dimulai pada tanggal 1 Juni tahun 951. Pada saat itu, perayaan dibuka dengan ritual menghanyutkan kamihoko
(pedang dengan mata di kedua sisi) di sungai Ōkawa. Lokasi perayaan ditentukan
berdasarkan tempat tersangkutnya kamihoko yang dihanyutkan air sungai.
Penghanyutan kamihoko merupakan asal-usul ritual Hokonagashi yang
dilakukan sampai sekarang ini. Puncak perayaan berupa prosesi perahu berasal
dari ritual Hokonagashi yang menentukan lokasi perayaan di tengah sungai.[13]
Dalam sepanjang sejarah agama Shinto, matsuri merupakan hala yang
amat penting. Kehidupan yang soleh dan taat adalah Matsuri dan hiddup itu
sendiri sama dengan matsuri. Upacara-upacara keagamaan juga disebut matsuri.
Oleh karena didalam pemikiran bangsa jepang lama kehidupan politik harus
mengikuti keinginan para dewa, maka tidak ada pemerintahan tanpa matsuri. Dari
sini timbul konsep Saise-itchi yaitu konsep kesatuan antara agama dan Negara ; dan
matsuri-goto, yang berarti pemerintahan, adalah sinonim dari
kata matsuri. Sebagai suatu festival keagamaan, dunia matsuri sangat banyak,
yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi 4 macam :
·
Haru-matsuri – festival musim semi – yang bertujuan memohon rahmar dewa agar
mendapat panen yang melimpah.
·
Aki-matsuri – festival musim gugur – sebagai pernyataan terimakasih pada dewa
atas hasil panen yang diperoleh.
·
Reisai –. festial tahunan yang diselenggarakan pada bulan-bulan tertentu
·
Shinko-shiki –
festival arak-arakan dewa, yaitu untuk memuja dewa tertentu agar memperoleh
keselamatan dari berbagai macam penyakit.[14]
I.
Ritual Keagamaan
Mengenai tata cara sembahyang atau doa dalam
kuil Shinto sangat sederhana yaitu melemparakan sekeping uang logam sebagai
sumbangan di depan altar, mencakupkan kedua tangan di dada dan selesai. Jadi
semua proses berdoa yang dilakukan dengan berdiri ini tidak lebih dari sepuluh
detik. Doa dilakukan tidak mengenal hari atau jam khusus jadi bebas dilakukan
kapan saja. Sedikit catatan, bisa saya sebutkan bahwa tata cara doa di kuil
Shinto dengan kuil Buddha sangatlah mirip. Yang sedikit berbeda adalah di kuil
Buddha tangan dicakupkan ke depan dada dengan pelan, hening dan tanpa suara,
sedangkan kuil Shinto adalah sebaliknya yaitu mencakupkan tangan dengan keras
sehingga menghasilkan suara sebanyak dua kali (mirip tepuk tangan).
Walaupun aturan tata cara berdoa ini bisa
disebut baku namun sama sekali tidaklah bersifat mengikat. Berdoa tepat di
depan altara utama, dari halaman kuil, dari luar pintu gerbang, dilakukan tidak
dengan mencakupkan tangan namun membungkukan badan atau bahkan tidak berdoa sama
sekali bukanlah masalah sama sekali. Agama Shinto ada beberapa proses ritual atau
ibadah ynag bertujuan untuk mensucikan diri mereka, Agama Shinto sangat
mementingkan ritus-ritus dan memberikan nilai sangat tinggi terhadap ritus yang
sangat mistis. Menurut agama Shinto watak manusia pada dasarnya adalah baik dan
bersih. Adapun jelek dan kotor adalah pertumbuhan kedua, dan merupakan keadaan
negatif yang harus dihilangkan melalui upacara pensucian (Harae). Karena itu
agama Shinto sering dikatakan sebagai agama yang dimulai dengan dengan
pensucian dan diakhiri dengan pensucian. Upacara pensucian (Harae) senantiasa
dilakukan mendahului pelaksanaan upacara-upacara yang lain dalam agama Shinto. Ritus-ritus
yang dilakukan dalam agama Shinto terutama adalah untuk memuja dewi Matahari
(Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan serta
kemajuan dalam bidang pertanian (beras), yang dilakukan rakyat Jepang pada
Bulan Juli dan Agustus di atas gunung Fujiyama.[15]
J.
Pendeta Shinto
Pendeta dalam agama Shinto disebut kannushi (shinshoku). Istilah kannushi
sudah dikenal sejak zaman kuno untuk orang yang menjalankan ritual di kuil. Di
antara tugas utama kannushi termasuk mengelola kuil dan melaksanakan berbagai
upacara, namun tidak memberi ceramah dan tidak menyebarluaskan agama.Kepala
pendeta disebut gūji, tugasnya memimpin upacara, mengelola manajemen keuangan
kuil, dan bertanggung jawab atas keseluruhan urusan kuil.Miko adalah sebutan
untuk wanita asisten kannushi dalam melaksanakan upacara atau pekerjaan
administrasi kuil. Istilah miko dulunya dipakai untuk wanita yang memiliki
kekuatan magis untuk menerima ramalan (takusen) dalam keadaan raga dirasuki
Kami (kamigakari).
K. Mitologi Jepang
Folklor yang sekarang
disebut mitologi Jepang, hampir seluruhnya berdasarkan cerita yang terdapat
dalam Kojiki, Nihonshoki, dan Fudoki dari berbagai provinsi di Jepang. Dalam kata lain, mitologi Jepang
sebagian besar berkisar pada berbagai kami penghuni Takamanohara (Takaamahara, atau Takamagahara), dan hanya
sedikit sumber literatur tertulis yang dapat dijadikan rujukan. Di zaman kuno,
setiap daerah di Jepang diperkirakan memiliki sejenis kepercayaan dalam berbagai
bentuk dan folklor. Bersamaan dengan meluasnya kekuasaan Kekaisaran Yamato, berbagai macam kepercayaan diadaptasi menjadi
Kunitsugami atau "dewa yang dipuja" yang
bentuknya menjadi hampir seragam, dan semuanya dikumpulkan ke dalam
"mitologi Takamanohara". Sementara itu, wilayah dan penduduk yang
sampai di abad berikutnya tidak dikuasai Kekaisaran Yamato atau pemerintah
pusat Jepang yang lain, seperti Suku Ainu dan orang Kepulauan Ryūkyū masing-masing juga memiliki mitologi sendiri
I.
KESIMPULAN
1.
Agama Shinto timbul pada zaman Prasejarah dan
siapa pembawanya tak dapat dikenal dengan pasti. Nama asli agama itu ialah Kami
no Michi yang bermakna jalan dewa. Pada saat Jepang berbenturan dengan
kebudayaan Tiongkok maka nama asli itu terdesak kebelakang oleh nama baru,
yaitu Shin-To. Nama baru itu perubahan bunyi dari Tien-Tao, yang bermakna jalan
langit.
2.
Konsep
Tuhan dalam kepercayaan Shinto adalah sangat sederhana yaitu : " Semua
benda di dunia, baik yang bernyawa ataupun tidak, pada hakikatnya memiliki roh,
spirit atau kekuatan jadi wajib dihormati" Sejak awal sebenarnya secara
natural manusia sudah menyadari bahwa mereka bukanlah mahluk kuat dan di luar
mereka ada kekuatan lain yang lebih superior yang langsung ataupun tidak
langsung berpengaruh terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Pengakuan,
kekaguman, ketakutan dan juga kerinduan pada Spirit atau "Kekuatan
Besar" yang disebut dengan nama Kami atau Kami Sama itu diwujudkan dalam
bentuk tarian, upacara dan festival budaya.
3.
Kitab Suci Agama Shinto adalah Kojiki, Nihonji,
Yengisiki, Manyoshiu.
4.
Aliran-aliran dalam agama Shinto adalah
Imperial Shinto (Kyūchū Shinto atau Koshitsu Shinto), Folk
Shinto (Minzoku Shinto), Sect Shinto (Kyoha atau Shuha Shinto),
Shrine Shinto (Jinja Shinto).
5.
Mengenai tata cara sembahyang atau doa dalam
kuil Shinto sangat sederhana yaitu melemparakan sekeping uang logam sebagai
sumbangan di depan altar, mencakupkan kedua tangan di dada dan selesai. Jadi
semua proses berdoa yang dilakukan dengan berdiri ini tidak lebih dari sepuluh
detik. Doa dilakukan tidak mengenal hari atau jam khusus jadi bebas dilakukan
kapan saja.
6.
Ritus-ritus yang dilakukan dalam agama Shinto
terutama adalah untuk memuja dewi Matahari (Ameterasu Omikami) yang dikaitkan
dengan kemakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang pertanian
(beras), yang dilakukan rakyat Jepang pada Bulan Juli dan Agustus di atas
gunung Fujiyama.
7.
Beberapa perayaan yang biasanya di peringati
oleh pemeluk agama Shinto dan perayaan itu diadakan untuk tujuan yang berkenaan
dengan pusaka leluhur, pengudusan, pengusiran roh jahat atau pertanian, puncak
puncak perayaan diadakan pada tahun baru, saat menanam padi pada musim semi dan
pada saat panen pada musim gugur, musim semi dan musim gugur adalah saat untuk
menghormati leluhur dan mengunjungi makamnya, selama perayaan kami sering
diarak melewati jalan jalan dalam tempat pemujaan yang bisa dibawa bawa untuk
membuat setiap orang yakin bahwa kami sedang mengunjungi masyarakat untuk
memberikan perlindungan.
8.
Matsuri berasal dari kata matsuru (menyembah,
memuja) yang berarti pemujaan terhadap Kami atau ritual yang terkait.
Dalam teologi agama Shinto
dikenal empat unsur dalam matsuri: penyucian (harai), persembahan,
pembacaan doa (norito), dan pesta makan. Matsuri yang paling tua yang
dikenal dalam mitologi Jepang adalah ritual yang dilakukan di depan Amano Iwato.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muhammad, H, Prof, M.Ed, Mengguak
Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, GT. Press, Jakarta.
Huston Smith, Agama-agama manusia, Yayasan Obor
Indonesia; Jakarta, cet ke-6, 2001.
Sou’yb. Joesoef.Agama-agama
besar di dunia.PT. Al-Huzna Zikra. Jakarta, cet. Ke-3 1996
Michael keene . Agama-agama
dunia. (Jakarta: kanisius,2006)
William L. Langer di dalam Encyclopedia of worldhistory edisi 1956 (Internet)
Mukti Ali,
H.A.. Agama-Agama Di Dunia.
Yogyakarta: 1988. IAIN Sunan Kalijaga Press.
[1]William
L. Langer di dalam Encyclopedia
ofworldhistory edisi 1956 halaman 138-137
[2]
Joesoef Sou’yb. Agama-agama besar di dunia.Hal. 207
[3]
Ibid 209
[4]
Prof. H.M. Arifin. M.Fd. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar.Hal. 47
[5] Http://myquran.com/forum/showtread.php/10898/mengenal-agama-shinto-lebih-dekat.
Diakses pada 2 April 2013. Pada jam 20.45 WIB
[6] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia,hal.241-246
[7]
Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia,hal.254-255
[8] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia,hal.233-235
[9]
Joesoef Sou’yb. Agama-agama besar di dunia.Hal. 212
[10]Huston
Smith, Agama-agama manusia, Yayasan Obor Indonesia Hal.
[11]
Joesoef Sou’yb. Agama-agama besar di dunia.Hal. 213
[14] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia,hal.259
0 komentar:
Posting Komentar