ISLAM INDONESIA
A. PENDAHULUAN
Berbagai agama dan keyakinan hidup di
Indonesia. Sebelum Islam masuk, Hindu dan Budha sempat menjadi
kepercayaan mayoritas di Nusantara. Keduanya, beserta kepercayaan asli penduduk
Nusantara (Kepercayaan Kapitayan, orang luar menyebutnnya Animisme dan
Dinamisme) memberikan dasar sosio-budaya yang kuat di dalam masyarakat. Konteks
sosio-budaya yang telah terbangun itu berbeda dengan konteks sosio-budaya yang
berkembang di Arab. Sehingga warna Islam yang hidup di Indonesia pun memiliki
perbedaan dengan Islam di Arab. Dalam konteks Madzhab, Islam Indonesia
mayoritas menganut Syafi’i. Islam didedahkan sebagai agama kearifan yang
ajarannya senantiasa kontekstual dalam altar kekinian dan kedisinian. Di
sinilah proses reinventing ini dilakukan dalam konteks dialektika antara Islam
dan budaya lokal mengalami proses take and give, saling memberi dan menerima,
saling mengambil dan belajar sebagai momentum menemukan Islam keindonesiaan
dalam proses reinventing secara simultan, bukan Arabisme.
Agama dan tradisi merupakan dua unsur penting dalam masyarakat yang saling
mempengaruhi. Ketika ajaran agama masuk dalam sebuah komunitas yang berbudaya,
akan terjadi tarik menarik antara kepentingan agama di satu sisi dengan
kepentingan budaya di sisi lain. Demikian juga halnya dengan agama Islam yang
diturunkan di tengah-tengah masyarakat Arab yang memiliki adat-istiadat dan
tradisi secara turun-temurun. Mau tidak mau dakwah islam yang dilakukan
Rasulullah harus selalu mempertimbangkan seg-segi budaya masyarakat Arab waktu
itu. Bahkan, sebagian ayat al-Qur’an turun melalui tahapan penyesuaian budaya
setempat.
Pada perkembangan selanjutnya terdapat
perbedaan pendapat di kalangan umat Islam tentang hasil dari proses dialog
tersebut. Sebagian berpendapat rumusan ketetapan dianggap sebagai ajaran final
yang harus diterapkan di semua lapisan ummat Islam, sedangkan pendapat lain
mengemukakan bahwa yang final bukanlah hasil dari proses dialog, tetapi nilai
dasar yang ingin disampaikan dari ayat yang bersangkutan. Sehingga sangat
mungkin terjadi perbedaan aplikasi dari ketentuan yang sudah ada. Hal ini
karena masing-masing umat islam memiliki budaya yang berbeda, hasil akhirnya
ditentukan oleh kreatifitas masyarakat dalam mendialogkan kebudayaan mereka
dengan ajaran agama yang diyakininya. Di
sisi lain terdapat pendapat bahwa Islam tidak identik dengan Arab, sehingga
tidak semua yang berbau Arab adalah Islam. Harus dibedakan antara Islam sebagai
agama dan Arab sebagai budaya. Di sinilah perlunya memilah antara mana yang
merupakan ajaran dasar Islam dan mana yang telah berakulturasi dengan budaya
Arab. Islam adalah agama universal sehingga ajarannya harus bisa diterapkan di
manapun dan pada waktu kapan pun.
Salah satu problem dakwah
pengembangan Islam, acapkali tradisi lokal dibenturkan dengan normativitas
agama. Masyarakat di nusantara ini, memiliki religiusitas tinggi yang lahir
dari kesadaran mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan tradisi lokal. Nyata
tanpa benturan, justru transformasi dan akulturasi Islam dan tradisi lokal
menjadi spirit dinamis. Islam Indonesia vis a vis Islam Arabis kembali
atau Islam Global menemukan relevansinya di tengah derasnya arus purifikasi dan
otentifikasi Islam yang bersifat Arabisme oriented. Implikasinya, masyarakat
mengalami kegamangan beragama yang membiaskan dalam jubah fundamentalisme
Islam. Bergeliatnya arus neo-Arabisme dari sayap Islam fundamental itu
cenderung "memaksakan" budaya lokal Arab "didaratkan" di
pelbagai belahan bumi Indonesia yang memiliki setting budaya yang
berbeda dengan Arab. Jika demikian adanya, bentangan garis demarkasi Islam dan
dimensi lokal tercerabut dan resisten menjadikan Islam tanpa identitas
lokalitas.
Dalam
altar pemikiran ini, maka wacana reinventing Islam lokal menjadi relevan,
sehingga keberagamaan kita memiliki autensitas dan identitas yang berpijak pada
keagungan wahyu ilahi tanpa pembiasan budaya arabnya. Sebab gerakan pemurnian
kaum fundamental melalui formalisasi Islam hanya melahirkan arabisme. Misalkan,
spirit ajaran Islam justru terabaikan seperti kearifan Islam pada nilai
pluralitas dan multikulturalnya diberangus. Untuk itu, penting sekali, bagi
mereka yang belum paham, untuk mempelajari kembali identitas lokalitas Islam.
Pemaknaan identitas tidak hanya dibatasi pada simbolisasi keislaman, tetapi
pada nilai-nilai yang tercermin dari pemahaman dan pengamalan keislaman secara
arif dalam merespons tradisi lokal yang beramalgamasi dengan anasir-anasir
Islam.
Atas dasar inilah, pemikiran akulturasi Islam dengan budaya lokal dan
relasi ajaran agama (Islam) dengan nilai-nilai lokal muncul, termasuk di
Indonesia. PMII merupakan salah satu representasi dari komunitas kultural ummat
Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU) yang memiliki
kecenderungan untuk senantiasa mensinergikan ajarana agama (Islam) dengan
budaya lokal dengan mengusung terma al-muhâfazat ‘alâ qadîm al-shâlih wa
al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlâh (menjaga tradisi lama yang baik dan
mengambil tradisi baru yang lebih baik). PMII sebagai bagian dari entitas Islam
Indonesia sebagaimana NU selalu menjadi inspirasi bagi gerakan dan pemikiran
ke-Islam-an yang berwawasan kebangsaan, respons terhadap perubahan dan
akomodatif terhadap kebudayaan lokal Nusantara. PMII senantiasa memposisikan
diri sebagai ‘jangkar’ Nusantara. Memperbincangkan sikap akomodatif PMII
terhadap tradisi atau budaya lokal sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru. Tema
hubungan PMII dengan budaya atau tradisi lokal tetap aktual, mengingat dua hal
berikut: pertama, sikap akomodatif PMII terhadap budaya atau tardisi
lokal bersifat dinamis; kedua, saat ini banyak kalangan umat Islam di
luar PMII, khususnya yang berideologi puritanisme ala Wahabi yang sangat gencar
“menyerang” ritual keagaman yang dianut kaum Nahdliyyin.
B. ISLAM DAN TRADISI: AKAR KULTUR ISLAM INDONESIA
Sebagaimana
dimaklumi, sudah lama terjadi gesekan antara kelompok Islam lokal dengan Islam
Arab. Sejak era Perang Paderi yang awalnya dipicu ketegangan antara orang Islam
yang pro-Arabis (Tuanku Imam Bonjol) dengan kelompok Islam Adat. Pada era
berikutnya, kita melihat ada kalangan anggota jamaah tabligh yang menggunakan
pakaian seperti pakaian orang Arab dan mereka menganggap itu adalah sunnah
Nabi, dan menganggap orang yang tidak berpakaian seperti mereka dianggap tidak
mengikuti sunnah Nabi. Kelompok ini membedakan diri dengan komunitas Islam
tradisi yang berkembang di Indonesia, bahkan menilai tradisi keagamaan yang
bersifat lokal sebagai yang tidak Islam. Dalam masyarakat kita, memang terdapat
banyak tradisi keagamaan yang bersemai dalam tradisi lokal seperti sekaten,
tahlilan, mauludan, ruwahan, nyadran, peringatan tiga hari, tujuh hari, empat
puluh hari hingga haul, dan lain-lain.
1. Pengertian tradisi
Secara
terminologis, ”tradisi” mengandung suatu pengertian tersembunyi tentang adanya
kaitan antara masa lalu dengan masa kini. Ia menunjuk kepada sesuatu yang
diwariskan oleh masa lalu, tetapi masih berwujud dan berfungsi pada masa
sekarang. Sewaktu orang berbicara tentang tradisi Islam secara tidak sadar ia
sedang menyebut serangkaian ajaran atau doktrin yang dikembangkan ratusan atau
ribuan tahun yang lalu tetapi masih hadir dan tetap berfungsi sebagai pedoman
dari kehidupan sosial pada masa kini. Tradisi dalam pengertian yang paling
elementer adalah sesuatu yang ditransmisikan atau diwariskan dari masa lalu ke
masa kini. Pengertian tersebut cukup menolong, namun masih terlalu umum untuk
dipakai sebagai alat analisa. Tidak terungkap dari pengertian tersebut apa yang
diwariskan, sudah berapa lama diwarisi, dengan cara bagaimana, lisan ataukah
tulisan. Tentunya kita dapat menerima bahwa Taj Mahal di India, Spinx di Mesir,
atau Borobudur di Jawa Tengah adalah monumen-monumen tradisional. Namun
tentunya sulit diterima kalau bangunan-bangunan tersebut dikatakan sebagai
tradisi. Itu semua adalah produk dari suatu tradisi, tetapi bukan tradisi itu
sendiri.
Dalam hal ini definisi dalam Ensiklopedi Britanica
memberikan pengertian yang lebih jelas, yakni “kumpulan dari kebiasaan,
kepercayaan dan berbagai praktek yang menyebabkan lestarinya suatu bentuk
pandangan hidupnya.” Berangkat dari uraian tersebut kiranya cukup jelas bahwa
tradisi adalah sesuatu yang diwariskan dari masa lalu ke masa kini berupa
non-materi, baik kebiasaan, kepercayaan atau tindakan-tindakan. Semua hal
tersebut selalu diberlakukan kembali, tetapi pemberlakuan itu sendiri bukan
tradisi karena justru mencakup pola yang membimbing proses pemberlakuan kembali
tersebut.
2. Tradisi dan Sunnah
Dalam
bahasa Arab, kata tradisi diidentikkan dengan kata Sunnah yang secara harfiah
berarti jalan, tabi’at, atau perikehidupan. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi yang
artinya: “Barang siapa yang mengadakan suatu kebiasaan yang baik, maka bagi
orang tua akan mendapat pahala, dan pahala bagi orang yang melaksanakan
kebiasaan tersebut.” Para ulama umumnya mengartikan bahwa yang dimaksud dengan
kebiasaan yang baik itu adalah segenap pemikiran dan kreativitas yang dapat
membawa manfaat dan kemaslahatan bagi umat. Yang termasuk dalam tradisi
tersebut adalah mengadakan peringatan maulid nabi Muhammad SAW, Isra’ Mi’raj,
tahun baru hijriyah dan sebagainnya.
Selanjutnya kata ”Sunnah” menjadi suatu istilah yang
mengacu pada segala sesuatu yang berasal dari Nabi, baik dalam bentuk ucapan,
perbuatan maupun ketetapan Nabi. Para ulama Muhadditsin, baik dari
kalangan modern (khalaf) maupun kuno (salaf) menyamakan
pengertian Sunnah tersebut dengan al-hadits, al-akhbar dan al-atsar.
Atas dasar pengertian ini kaum orientalis Barat menyebut sebagai kaum
tradisionalis kepada setiap orang yang berpegang teguh kepada al-sunnah
Rasulullah SAW bahkan juga kepada mereka yang berpegang teguh kepada
Al-Quran (makanya, kita yang dituduh
sebagai kaum tradisionalis jangan khawatir karena ini hanya tuduhan Barat).
Islam Tradisi merupakan model pemikiran yang berusaha berpegang pada
tradisi-tradisi yang telah mapan di masyarakat. Sedangkan Islam post-tradisi, bemaksud
mendialogkan tradisinya dengan zaman modern.
Bagi PMII, tradisi adalah khazanah peradaban manusia. Tugas
PMII adalah menyatakan kembali atau merujukkan dengannya agar tetap survive
dalam konstelasi kehidupan masa kini, tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian
seperlunya. Perbedaan kita dengan kaum fundamentalis terletak pada
penerimaannya pada tradisi. Ataupun dengan kaum modernis yang membuang tradisi
dan ingin meniru Barat. Bedanya, Islam Fundamentalis membatasi tradisi yang
diterima hanya sampai pada khulafa' al-rasyidin, sedang Islam Tradisi
melebarkan sampai pada salaf al-shalih, sehingga kita bisa menerima
kitab-kitab klasik sebagai bahan rujukan. Resikonya, memang terkadang bisa mengarah
pada keteguhan memegang prinsip. Orang luar menyebutnya ekslusif, subjektif dan
diterminis. Sedangkan kaum modernis ingin menafsirkan al-Qur’an dengan kerangka
rasionalitas dan metode modern. Sikap Islam Tradisi yang tetap memegang teguh
tradisi dan kemampuannya berdialog dengan modernisasi sebagaimana yang
ditunjukkan NU dan PMII membuktikan bahwa tuduhan orang luar mengenai kelompok Islam
tradisi tidak terbukti, sebab kita tetap bisa berdialog dengan modernitas, Cuma
beda dialognya dengan kaum fundamentalis dan kaum modernis.
4. Sejarah Perkembangan dan
Pertumbuhan Islam Tradisi
Berbicara mengenai Islam tradisi adalah berbicara mengenai
kaum salaf. Dalam sejarahnya, Islam tradisi merupakan hasil cipta rasa dari
kaum sunni (aliran sunni atau ahlussunnah). Aliran ini muncul karena
peristiwa-peristiwa berikut:
a. Fitnah pada saat Rasulullah SAW wafat. Ketika Rasulullah
Muhammad SAW wafat, maka terjadilah kesalahpahaman antara golongan Muhajirin dan
Anshar siapa yang selanjutnya menjadi pemimpin kaum muslimin. Para sahabat
melihat hal ini akan mengakibatkan perang saudara antar kaum muslimin Muhajirin
dan Anshor. Setelah masing-masing mengajukan delegasi untuk menentukkan siapa
Khalifah pengganti Rasulullah. Akhirnya disepakati oleh kaum muslimin untuk
mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah.
b. Fitnah masa khalifah ke-3. Pada masa kekhalifahan ke-3,
Utsman bin Affan, terjadi fitnah yang cukup serius di tubuh Islam pada saat
itu, yang mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman. Pembunuhnya ialah suatu
rombongan delegasi yang didirikan oleh Abdullah bin Saba' dari Mesir yang
hendak memberontak kepada Khalifah dan hendak membunuhnya. Abdullah bin Saba'
berhasil membangun pemahaman yang sesat untuk mengadu domba umat Islam untuk
menghancurkan Islam dari dalam. Kemudian masyarakat banyak saat itu, terutama
disponsori oleh para bekas pelaku pembunuhan terhadap Utsman, berhasil membunuh
beliau dengan sadis ketika beliau sedang membaca al-Qur'an.
c. Fitnah masa khalifah ke-4. Segera setelah bai'at
Khalifah Ali mengalami kesulitan bertubi-tubi. Orang-orang yang terpengaruh
Abdullah bin Saba' terus menerus mengadu domba para sahabat. Usaha mereka
berhasil. Para sahabat salah paham mengenai kasus hukum pembunuhan Utsman. Yang
pertama berasal dari janda Rasulullah SAW, Aisyah, yang bersama dengan Thalhah
dan Zubair berhasil diadu domba hingga terjadilah Perang Jamal atau Perang
Unta. Dan kemudian oleh Muawiyah yang diangkat oleh Utsman sebagai Gubernur di
Syam, mengakibatkan terjadinya Perang Shiffin. Melihat banyaknya korban dari
kaum muslimin, maka pihak yang berselisih mengadakan ishlah atau perdamaian.
Para pemberontak tidak senang dengan adanya perdamaian diantara kaum muslimin.
Kemudian terjadi usaha pembangkangan oleh mereka yang pada awalnya
berpura-pura/munafik. Merekalah Golongan Khawarij.
d. Tahun jama’ah. Kaum Khawarij ingin merebut kekhalifahan.
Tapi terhalang oleh Ali dan Muawiyah, sehingga mereka merencanakan untuk
membunuh keduanya. Ibnu Muljam dari Khawarij berhasil membunuh Khalifah Ali
pada saat khalifah mengimami shalat subuh di Kufah, tapi tidak terhadap
Muawiyah karena dijaga ketat. Bahkan Muawiyah berhasil mengkonsolidasikan diri
dan umat Islam, berkat kecakapan politik dan ketegaran kepemimpinannya. Karena
belajar oleh berbagai pertumpahan darah, kaum muslim secara pragmatis dan
realistis mendukung kekuasaan de facto Muawiyah. Maka tahun itu, tahun 41
Hijriyah, secara khusus disebut tahun persatuan ('am al-jama'ah).
e. Sunnah madinah. Kaum muslimin mendalami agama
berdasarkan Al-Qur'an, dan memperhatikan serta ingin mempertahankan sunnah Nabi
di Madinah. Akhirnya ilmu hadits yang berkembang selama beberapa abad, sampai
tuntasnya masalah pembukuan hadis sebagai wujud nyata Sunnah pada sekitar akhir
abad ke-3 hijriyah. Saat itu, lengkap sudah kodifikasi hadis dan menghasilkan
al-Kutub al-Sittah (Buku Yang Enam) yakni oleh al-Bukhari (w. 256 H), Muslim
(w. 261 H), Ibnu Majah (w. 273 H), Abu Dawud (w. 275), al-Turmudzi (w. 279 H),
dan al-Nasa'i (w. 303 H).
Kemudian masa perkembangan Ahlus-Sunnah pada masa kekuasaan
Bani Umayyah masih dalam keadaan mencari bentuk, hal ini dapat dilihat dengan
perkembangan empat mazhab yang ada di tubuh Sunni. Abu Hanifah, pendiri Mazhab
Hanafi, hidup pada masa perkembangan awal kekuasaan Bani Abbasiyah. Yaitu
madzab Hanafi, Maliki, Syafi’i serta Hambali. Selanjutnya praktek Islam
tradisionalis juga dapat dijumpai di India, Mesir, turki, dan juga Indonesia.
5. Karakteristik Islam Tradisi
Karakteristik
(ciri-ciri atau corak pemikiran) Islam tradisi adalah sebagai berikut:
a. Memegang teguh pada prinsip. Karena keteguhanya ini,
orang luar terkadang salah paham dengan menilainya eksklusif (tertutup) atau
fanatik sempit, tidak mau menerima pendapat, pemikiran dan saran dari kelompok
lain (terutama dalam bidang agama). Hal ini dikarenakan mereka mengganggap
bahwa kelompoknya yang paling benar.
b. Bersifat toleran dan fleksibel. Karena sifat tolerannya
terhadap tradisi maka orang luar terkadang salah paham dengan menilainya tidak
dapat membedakan antara hal-hal yang bersifat ajaran dengan yang non-ajaran.
Dengan ciri demikian, Islam tradisionalis mengganggap semua hal yang ada
hubungannya dengan agama sebagai ajaran yang harus dipertahankan. Misalnya,
tentang ajaran menutup aurat dan alat menutup aurat berupa pakaian. Yang
merupakan ajaran adalah menutup aurat, sedangkan alat menutup aurat berupa
pakaian dengan berbagai bentuknya adalah bukan ajaran. Jika ajaran tidak dapat
diubah, maka yang bersifat non-ajaran dapat dirubah. Kaum islam tradisionalis
tidak dapat membedakan antara keduanya, sehingga alat menutup aurat berupa
pakaian-pun dianggap ajaran yang tidak dapat dirubah.
c. Berpijak masa lalu untuk masa depan. Islam tradisionalis
menilai bahwa berbagai keputusan hukum yang diambil oleh para ulama di masa
lampau merupakan contoh ideal yang harus diikuti. Hal demikian muncul sebagai
akibat dari pandangan mereka yang terlampau mengagungkan para ulama masa lampau
dengan segala atributnya yang tidak mungkin dikalahkan oleh para ulama atau
sarjana yang muncul belakangan. Walau demikian, pemahaman sebagai manhaj
al-fikr juga membuka kemungkinan untuk diadakan ijtihad baru terhadap
permasalahan yang mengemuka di era sekarang.
d. Hati-hati dalam melakukan penafsiran teks agama.
Keteguhan pada teks membuat kelompok ini dituduh sangat tekstulis, padahal
tuduhan itu tidak tepat karena apa yang dilakukan kaum sunni ini adalah sikap
kehati-hatiannya dalam mengambil hukum. Sehingga orang luar sering menuduhnya
memahami ayat-ayat al-Qur’an secara tekstual tanpa melihat latar belakang serta
situasi sosial yang menyebabkan ayat-ayat al-Qur’an tersebut diturunkan,
sehingga jangkauan pemakaian suatu ayat sangat terbatas pada kasus-kasus
tertentu saja tanpa mampu menghubungkannya dengan situasi lain yang
memungkinkan dijangkau oleh ayat tersebut.
e. Cenderung tidak mempersalahkan tradisi yang terdapat
dalam agama. Pada waktu Islam datang ke Indonesia, di Indonesia sudah terdapat
berbagai macam agama dan tradisi yang berkembang dan selanjutnya ikut mewarnai
tradisi dan paham keagamaan yang ada. Tradisi yang demikian itu kalau yang baik
tidak dipermasalahkan yang penting dapat menentramkan hati dan perasaan mereka.
Sedangkan tradisi yang bertentangan dengan Islam harus dihilangkan atau diganti
dengan yang substansinya sesuai dengan ajaran Islam.
6. Islam Tradisi di Indonesia
Islam
Tradisi yang berkembang di Indonesia sudah lama sejak era Walisongo. Sekaten
merupakan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW di Yogyakarta. Istilah Sekaten
berasal dari kata syahadatain, yaitu dua kalimat syahadat. Pada tanggal 5 bulan
Maulud, kedua perangkat gamelan, Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu,
dikeluarkan dari tempat penyimpanannya di bangsal Sri Manganti, ke Bangsal
Ponconiti yang terletak di Kemandungan Utara (Keben) dan pada sore harinya
mulai dibunyikan di tempat ini. Antara pukul 23.00 hingga pukul 24.00 kedua
perangkat gamelan tersebut dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta,
iring - iringan abdi dalem jajar, disertai pengawal
prajurit Kraton berseragam lengkap. Pada umumnya, masyarakat Yogyakarta dan
sekitarnya berkeyakinan bahwa dengan turut berpartisipasi merayakan hari
kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. ini yang bersangkutan akan mendapat imbalan
pahala dari Yang Maha Kuasa, dan dianugrahi awet muda. Sebagai “Srono”
(Syarat). Mereka harus menguyah sirih di halaman Masjid Agung, terutama pada
hari pertama dimulainya perayaan sekaten. Puncak perayaan Sekaten disebut
Gerebeg Mulud diselenggarakan pada hari keduabelas bulan Mulud kalender Jawa.
Festival dimulai pada pukul 7.30 pagi, didahului oleh parade pengawal kerajaan
yang terdiri dari 10 unit: Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh,
Jogokaryo,Prawirotomo, Nyutro, Ketanggung, Mantrijeron, Surokarso, dan Bugis.
Setiap unit mempunyai seragam masing-masing. Parade dimulai dari halaman utara
Kemandungan kraton, kemudian melewati Siti Hinggil menuju Pagelaran, dan
selanjutnya menuju alun-alun utara.
Pada
kemudian hari kaum tradisionalis ini identik dengan warga Nahdathul Ulama (NU)
dimana akar kultur PMII berada.
C. PRIBUMISASI ISLAM: EPISTEMOLOGI ISLAM INDONESIA
Dalam altar revitalisasi
Islam dan kearifan lokal (local genius atau local wisdom)
sejatinya dibaca dalam frame pemaknaan Islam secara substantif.
Dialektika Islam sebagai ajaran universal dengan budaya lokal yang partikular
mengharuskan ada dialog secara mutual dalam "membumikan" idealitas
nilai-nilai Islam dalam realitas lapisan budaya lokal. Maksud menyemai aspirasi
Islam ke dalam aspirasi keindonesiaan, maka Islam dibaca dalam optik sebagai
sistem dari kultur Indonesia. Perspektif ini menjadi urgen dalam
mengasimilasikan ajaran Islam dengan produk-produk kultur lokal. Proses ini
menjadi penyeimbang "langitanisasi" dan "pribumisasi",
misalkan Islamisasi Jawa dan Jawanisasi Islam. Dialektika kultur lokal ini
niscaya saling memperkaya, bukan sebaliknya.
Menempatkan
Islam sebagai sistem kultur merupakan cerminan autentisitas Islam keindonesiaan
dengan varian lokalitasnya. Membaca artikulasi Islam lokal dalam konteks
pengusungan identitas Islam keindonesiaan, tentu dalam optik reinventing ini
menjadikan Islam bergelit-kelindan dengan budaya lokal secara adaptif. Meski
begitu, ide dan prinsip dasar Islam tidak berarti hilang tetapi terakomodasi
secara dialektik dengan tradisi-tradisi lokal. Autentitas beragama dengan
penguatan identitas lokalitas menjadi pijakan dakwah kultural dan multikultural
ini menjadi cerminan karakteristik keberagamaan di Indonesia. Dialektika Islam
dan kearifan budaya lokal menjadi isu yang relevan didedahkan dalam lanskap
pencarian identitas Islam keindonesiaan (Firdaus Muhammad, Reinventing
Islam Keindonesiaan, 2009).
Di aras
pemikiran ini, menyemai Islam dan budaya lokal meniscayakan Islam untuk dibaca
sebagai agama wahyu di satu sisi dan pada sisi lain Islam sebagai agama yang
merawat tradisi lokal yang dimultitafsirkan secara artikulatif dengan nuansa
lokalitas tadi. Bacaan ini tidak mereduksi Islam sebagai Agama langit tetapi
juga dimaknai sebagai agama yang dibumikan dalam realitas yang multi-kompleks.
Di sinilah Islam menemukan relevansinya sebagai ajaran langit dan bumi
sekaligus, mempertemukan antara idealitas dan realitas dalam menjawab berbagai
problematika kehidupan manusia. Islam yang rahmatan lil alamin sebagai sistem
yang memberi solusi bukan sebaliknya, sebab selama ini bagi sebagian kalangan
Islam justru menjadi problem.
Kehadiran
Islam di tengah-tengah realitas multikultur Indonesia meniscayakan kearifan
"memperlakukan" nilai-nilai lokalitas disemaikan (tradisi) Islam.
Interaksi Islam dan tradisi lokal lahir ketika Islam secara sosial telah
menjadi kekuatan yang tangguh, dipertemukan tradisi lokal sebagai nilai-nilai
yang mengakar dalam masyarakat secara akulturatif.
Dalam konteks Islam lokal ini tidak lagi mengenal vonis
atau stigma teologis terhadap sistem sosial dan ritus keagamaan yang telah
mengakar di masyarakat lokal, misalnya dalam tradisi Barzanji. Proses
reinventing Islam lokal ini sekaligus membendung arus puritanitas dan
stigmatisasi Islam lokal sebagai Islam tidak otentik. Justru yang hendak
diupayakan adalah proses penyemaian Islam dan tradisi lokal sebagai pilar Islam
Indonesia yang senafas dengan gagasan pribumisasi Islam yang disampaikan KH.
Abdurrahman Wahid.
Proses adaptasi antara ajaran
Islam (wahyu) dengan kondisi masyarakat dapat dilihat dengan banyaknya ayat
yang memiliki asbâb al-nuzûl. Asbâb al-nuzûl merupakan penjelasan tentang sebab
atau kausalitas sebuah ajaran yang diintegrasikan dan ditetapkan berlakunya
dalam lingkungan sosial masyarakat. Asbâb al-nuzûl juga merupakan bukti adanya
negosiasi antara teks al-Qur’an dengan konteks masyarakat sebagai sasaran atau
tujuan wahyu. Hubungan antara agama dengan kebudayaan merupakan sesuatu yang
ambivalen. Agama (Islam) dan budaya mempunyai independensi masing-masing,
tetapi keduanya memiliki wilayah yang tumpang-tindih. Di sisi lain, kenyataan
tersebut tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam
bentuk budaya (Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, agama dan Kebudayaan,
Depok: Desantara, 2001, hal. 117).
Hal ini
merupakan wujud kesadaran kultural guna menyemai Islam dan kearifan lokal dalam
proses saling mempengaruhi antara Islam dan budaya lokal. Relevansi reinventing
Islam lokal vis a vis wabah purifikasi dan otentifikasi Islam post-Wahabiyah di
Indonesia yang mengusung Arabisasi. Kesadaran historis juga perlu dibangun
bahwa proses transmisi Islam di Indonesia lebih didominasi faktor kultural
sehingga tidak bisa dipandang sebagai Islam murni ala Arab, Islam murni tanpa
pengaruh budaya lokalnya. Implikasi sosialnya, ekspresi keagamaan tidak bisa
lepas dari proses transformasi dengan pemaknaan ulang melalui optik lokalitasnya.
Dialektika tradisi kultural dipijakkan pada akar historis dan antropologis guna
menjelaskan (posisi) Islam di tengah kompleksitas budaya lokal yang
multikultur.
Proses lokalitas kultural Islam di wilayah non-Arab
menggiring kita untuk tidak lagi memandang Islam Arab sebagai Islam ideal
(murni) sebab Islam di sana tidak terlepas dari pengaruh lokalitas Arab. Bacaan
ini bukan tidak mengundang polemik, paling tidak dalam optik otentitas (Islam
timur tengah) dan pribumisasi Islam (lokal-keindonesiaan). Terutama di tengah
maraknya arus fundamentalisme (neo-Arabisme) Islam yang ditengarai menggiring
Islam otentik yang hendak melepaskan varian lokalitas keindonesiaan dengan
(pemurnian) arabisme yang menggeliat. Fenomena ini menjadi cerminan resistensi
identitas Islam keindonesiaan kita.
KH.
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur
amat dikenal dengan gagasan pribumisasi Islam dalam konteks lokal yang telah
lama dikumandangkan oleh sejumlah sarjana Muslim Indonesia. Gus Dur adalah
salah seorang pemikir dan ulama yang pertama mengemukakan gagasan tersebut.
Gagasan pentingya pribumisasi Islam dalam konteks lokal ini sangat penting
dilakukan. Dengan demikian Muslim Indonesia dapat tetap mempertahankan
identitas ke-Indonesia-annya yang khas. Tetapi pada saat yang sama dapat
mengejawantahkan nilai-nilai Islam dalam praktik kehidupannya.
Menjadi seorang Muslim
Indonesia tidak harus menjadi Arab. Lebih dari itu, kekhasan potret Islam
Indonesia juga bukan mustahil dapat memberikan inspirasi bagi wilayah lain.
Juga mengubah imej tentang Islam yang di kalangan Barat sering diasosiasikan
dengan keras atau radikalnya Islam di Timur Tengah.
Kultur Islam Indonesia jelas
memiliki keunikan tersendiri. Di Indonesia beragam tipe penafsiran atau aliran
Islam ada, mulai dari yang disebut sebagai moderat, liberal, sampai pada corak
Islam yang puritan dan radikal, semuanya tumbuh subur dan saling
mengkampanyekan idenya masing-masing. Tak pelak, dari percaturan berbagai corak
ke- Islaman itu, Indonesia bak lahan subur bagi timbulnya dinamisasi pemikiran.
Sebagaimana dulu Geertz melihat dinamisasi tersebut dan berkesimpulan bahwa
Indonesia adalah Islam yang tumbuh dari proses ketekunan (Geertz: 1968).
Meskipun ketekunan yang
dimaksud Geertz tersebut adalah derivasi dari kultur agraria, pertanian masa
lalu. Tapi tentunya sebagai watak atau karakter, hal tersebut bisa pula
mengejawantah pada era industri sekarang ini. Hal itu berbeda dengan Maroko
sebagaimana ia bandingkan. Kalau Indonesia adalah Islam yang tumbuh dari
ketekunan, maka Maroko adalah Islam yang tumbuh dari keberanian. Faktor kultur
dan geografislah yang membedakan. Bagaimana pun, kultur Islam Timur Tengah
tidak memiliki pengalaman keragaman sosi-kultural-antropologis sebanyak
Indonesia.
Seyogyanya semangat
pribumisasi, kontekstualisasi atau apapun namanya di Indonesia, hendaklah tidak
berhenti disuarakan. Para cendikiawan Muslim Indonesia hendaknya terus menggali
semangat dan nilai-nilai Islam yang sering dikesampingkan penerapannya di
Negeri ini.
Jujur harus diakui, sekarang
ini kalaupun ada semangat menerapkan syariat Islam, yang menonjol adalah masih
dalam level ‘cangkang’ luarnya, dan belum mengutamakan implementasi syariat
yang langsung bersentuhan dengan kepentingan serta kesejahteraan masyarakat
luas, baik muslim maupun non-Muslim.
Ada keyakinan, ke depan, agenda
pribumisasi atau kontektualisasi Islam Indonesia yang Gus Dur ‘canangkan’ bisa
benar-benar mewakili ruh dan esensinya. Yang dibutuhkan saat ini adalah aksi
riil umat Islam bagi kepedulian sosial dan pendalaman demokrasi, bukan sekedar
simbol, ucapan dan bahasan yang melelahkan.
1. Islam Indonesia: Argumentasi Normatif
Secara normatif, Islam Indonesia merupakan
bentuk penyemaian normatifitas Islam dalam tradisi lokal. Menurut
KH. Muchid Muzadi, Mustasyar PBNU, Nahdlatul Ulama (NU) adalah entitas paling
penting bagi Islam Indonesia termasuk organisasi Islam yang bisa menerima
tradisi lokal. Bahkan bisa dikatakan lebih bisa menerima tradisi lokal
ketimbang beberapa organisasi Islam yang lain. Sebab, menurutnya belum ada
agama yang bisa diterapkan tanpa pengaruh dan percampuran dengan tradisi lokal
atau budaya lokal. Karena agama itu untuk manusia dan manusia di mana pun
selalu dipengaruhi oleh lingkungannya. Pengaruh lingkungan itulah, menurut KH.
Muchid Muzadi, yang menumbuhkan tradisi atau budaya lokal.
Bagaimana
teks-teks keislaman dikontekkan dalam masyarakat Indonesia? Seperti bagaimana
memaknai pelaksaan syariat Islam bagi umat Islam, apakah dijalankan scara
kultural ataukah melalui struktur negara? Bagi, Islam Indonesia, Islam akan
lebih indah dan kosmopolit ketika dilaksanakan secara kultural, tidak harus
melalui negara, misalnya, dalam bentuk undang-undang. Islam cukup sebagai idea
moral atau sumber etika sosial untuk kehidupan, sebagaimana yang digagas Gus
Dur dengan pribumisasi Islamnya maupun KH. Sahal Mahfudz dengan Fiqih
Sosialnya.
Dalam pada
itu, isi al-Qur’an lebih menunjuk kepada konsep dasar dan bukan pada sistem, sehingga
memberi peluang yang sangat besar untuk adanya sistem lokal ('urf) yang
pada gilirannya memberi kontribusi yang sangat kaya terhadap bentuk dan
perkembangan pemikiran Islam. Contoh
dalam hal ini dapat ditunjuk tentang hal-hal yang berkaitan dengan hubungan
sosial antarmanusia, hubungan manusia dengan Tuhan, serta tentu hubungan antara
manusia dan alam. Oleh karena itu, Islam Indonesia dalam berdakwah selalu
menonjolkan sikap jalan tengah (tawassuth), sikap toleransi (tasamuh),
bersikap adil (i’tidal) dan menyeru kebaikan, menahan kemunkaran (amar
ma’ruf nahi munkar). Bersikap terlalu ketat (al-ghulugh fid din)
juga tidak bisa. Terlalu longgar (tasahul fid din) juga tidak boleh.
Sekadar
contoh, selama ini di kalangan masyarakat dan kaum intelektual, muncul pertanyaan-pertanyaan
berikut: Apakah hukum Tahlilan itu? Tahlilah itu sunnah Nabi atau tradisi
masyarakat? Boleh atau tidak? Jika tidak, bukankah tahlilan merupakan asimilasi
budaya lokal yang dimasukkan ajaran Islam sebagai media dakwah para penyebar
Islam di Indonesia untuk menyebarkan Islam pada zaman Hindu-Budha?” Pasti
sering kita dengar pertanyaan tersebut disekitar kita. Tahlilan hanyalah salah
satu dari permasalahan yang kadang sebagian orang mengganggapnya sepele
tapi bagi sebagian orang hal itu merupakan permasalahan yang serius. Berawal
dari hadits Rasul, yang berbunyi, Idza Mata Ibnu Adam, FanQotho’a ’Amaluhu
Illa Min Tsalatin; Shodaqotin Jariyatin, Au Ilmin Yantafa’u Bihi, Aua Waladin
Sholihin Yad’u Lahu (Ketika mati anak cucu Adam, maka terputus amalnya
kecuali tiga hal; shodaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak sholih
yang mendoakannya). Bagaimana memaknai dan mengimplementasikan “waladin
shalihin yad’u lahu” (anak shaleh yang mendoakan orang tuanya)?
Di Indonesia, waladin shalihin
yad’u lahu ini dirangkaikan dengan tradisi yang ada di Indonesia. Misalnya
di Jawa, kalau ada orang mati, orang-orang biasanya jagongan
(berbincang). Dengan jagongan itu, mereka membicarakan orang, terus
kedinginan. Mereka mencari minuman yang hangat-hangat sambil main kartu dan
lain-lain. Tradisi itu berlangsung lama. Hingga ketika para mubaligh Islam,
Walisongo dan para kiai sesudahnya, menerapkan yad’u lahu ini
dirangkaikan dengan jagongan dan mele’an (begadang)
tersebut. Ini prosesnya cukup lama, hingga kemudian muncul apa yang dikenal
saat ini dengan tradisi tahlilan. Hal ini jangan dianggap gampang karena itu
memerlukan perjuangan panjang dan tidak mudah. Mengubah jagongan menjadi
tahlilan. Kalau kemudian ada yang mempersoalkan dari aspek ekonomi, karena
pembiayaannya yang boros, itu juga tidak beralasan karena adanya snak dalam
tahlilan tidak menjadi syarat. Orang NU biasa tahlilan tanpa ada makanannya
seperti kalau ziarah ke makam keluarga atau wali tidak memakai makanan, tetapi
kalau memakai makanan juga tidak masalah sebagai bentuk penghormatan kepada
tamunya dan ini menjadi hak yang punya cara. Di sisi lain, masih banyak
kegiatan yang lebih boros dananya ketimbang tahlilan, bahkan untuk hal-hal yang
tidak ada hubungannya dengan agama.
Kemudian
ada yang mempersoalkan, apakah tahlil ini merupakan transfer pahala? Misalnya,
dengan membaca surat al-fatihah kita mendapatkan pahala, dan pahala itu
ditransfer pada orang yang meninggal? Menurut KH. Muchid Muzadi, dengan membaca
surat al-fatihah, membaca Al-Qur’an, membaca subhanallah, kalimat-kalimat
thayyibah, dll itu, belum tentu dapat pahala. Soal pahala ini urusan Allah SWT.
Kita, ketika membaca tahlil itu bermaksud memohon untuk mendapat pahala, dan
kalau Allah mengabulkan bacaan tahlil kita mendapat pahala, maka dimohonkan
kepada Allah mudah-mudahan pahala itu diberikan juga kepada orang yang telah meninggal.
Tentu saja itu merupakan bentuk permohonan dan jangan dianggap sebagai
transaksi. Kalau kita memastikan bahwa tahlilan itu mendapat pahala justru
tidak boleh dalam akidah Islamiyah, karena soal pahala ini hak Allah. Sama
halnya dengan orang menjalankan ibadah shalat, puasa, haji, dan lainnya. Tidak
boleh orang shalat, puasa, haji atau yang lainnya terus memastikan bahwa
dirinya sudah pasti mendapat pahala. Apalagi klau berani memastikan dirinya dengan
ini semua sudah terbebas dari api neraka. Jadi, semuanya masih dalam kategori
permohonan kepaad Allah. Namun, karena tidak semua orang bisa cerita tentang
alur pemikiran dan perasaan ketika dia bertahlil, maka muncul kontroversi yang
sebetulnya berangkat dari ketidaktahuannya.
Salah satu contoh yang baik, Islam mengajarkan shalat
dengan cara menutupi aurat. Di Indonesia, khususnya oleh yang perempuan,
menutupi aurat itu diolah dengan mengenakan rukuh atau mukena. Kalau toh di
negara lain sekarang juga mengenakan mukena padahal itu budaya Indonesia, itu
artinya bahwa mukena itu merupakan produksi Indonesia yang biasa digunakan
untuk melaksanakan shalat.
Dalam
pandangan KH. Muchid Muzadi, persoalan ini sempat menjadi masalah besar yang
yang sulit dijelaskan bukan hanya kepada orang-orang awam di kampung-kampung,
tapi juga intelektual-intelektual. Bahkan intelektual-intelektual itu justru lebih
sulit untuk diluruskan. Seharusnya kalau ingin melakukan pemurnian ajaran,
harus dilakukan sama dengan ketika menyapu lantai. Debunya yang dihilangkan,
jangan lantainya. Mislanya, orang melakukan tahlil atau ziarah kubur, kalau
diniati meminta pada orang yang sudah mati, itu tidak boleh, bahkan bisa
syirik. Ini yang harus dibetulkan. Jadi bukan tahlil atau ziarah kuburnya yang
dilarang. Persis kayak kita ketika sikat gigi. Kotoran yang menempel di gigi yang
dihilangkan, bukan giginya yang dihilangkan. Ini yang sering kali orang kebablasan.
Dan ini pula yang perlu untuk selalu kita perhatikan.
2. Islam Indonesia: Argumentasi Historis
Dari perspektif historis, Islam
Indonesia tidak bisa dilepaskan dari metode dakwah yang dilakukan oleh para
penyebar Islam di nusantara, khususnya para Walisongo. Telah masyhur di
kalangan sejarawan, ulama, dan tokoh lainnya bahwa Islam tersebar luas di
Indonesia atas jasa Walisongo dan murid-muridnya. Walau sebelumnya, usaha
dakwah telah dilakukan sejumlah orang, tapi lingkupnya sangat terbatas. Berdasarkan literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun
625 M (di era Rasulullah masih hidup) sudah ada sebuah perkampungan Arab Islam
di pesisir Sumatera (Barus). Kemudian Marcopolo menyebutkan, saat
persinggahannya di Pasai tahun 692 H/1292 M, telah banyak orang Arab
menyebarkan Islam. Begitu pula Ibnu Bathuthah, pengembara muslim, yang ketika
singgah di Aceh tahun 746 H/1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar
mazhab Syafii. Tapi baru abad 9 H (abad 15 M) penduduk pribumi memeluk Islam
secara massal (Duta Masyarakat, 28-30 Maret 2007).
Masa itu adalah masa dakwah Walisongo.
Berbeda dengan dakwah Islam di Asia Barat, Afrika, dan
Eropa yang dilakukan dengan penaklukan, Walisongo berdakwah dengan cara damai.
Yakni dengan pendekatan pada masyarakat pribumi dan akulturasi budaya
(percampuran budaya Islam dan budaya lokal). Dakwah mereka adalah dakwah
kultural. Banyak peninggalan Walisongo menunjukkan, bahwa budaya dan tradisi
lokal mereka sepakati sebagai media dakwah. Hal ini dijelaskan—baik semua atau
sebagian—dalam banyak sekali tulisan seputar Walisongo dan sejarah masuknya
Islam di Indonesia. Misalnya, dalam Ensiklopedi Islam; Târikhul-Auliyâ’
karya KH Bisri Mustofa; Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di
Indonesia karya KH Saifuddin Zuhri; Sekitar Walisanga karya
Solihin Salam; Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya karya
Drg H Muhammad Syamsu As.; Kisah Para Wali karya Hariwijaya;
dan Kisah Wali Songo: Para Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa karya
Asnan Wahyudi dan Abu Khalid MA.
Dahulu di Indonesia mayoritas penduduknya beragama Hindu
dan Budha, dan terdapat berbagai kerajaan Hindu dan Budha, sehingga budaya dan
tradisi lokal saat itu kental diwarnai kedua agama tersebut. Budaya dan tradisi
lokal itu oleh Walisongo tidak dianggap “musuh agama” yang harus dibasmi.
Bahkan budaya dan tradisi lokal itu mereka jadikan “teman akrab” dan media
dakwah agama, selama tak ada larangan dalam nash syariat.
Pertama-pertama, Walisongo belajar bahasa lokal,
memperhatikan kebudayaan dan adat, serta kesenangan dan kebutuhan masyarakat.
Lalu berusaha menarik simpati mereka. Karena masyarakat Jawa sangat menyukai
kesenian, maka Walisongo menarik perhatian dengan kesenian, di antaranya dengan
menciptakan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan, dan pertunjukan
wayang dengan lakon islami. Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca
syahadat, diajari wudhu’, shalat, dan sebagainya.
Walisongo sangat peka dalam beradaptasi, caranya
menanamkan akidah dan syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat.
Misalnya, kebiasaan berkumpul dan kenduri pada hari-hari tertentu setelah
kematian keluarga tidak diharamkan, tapi diisi pembacaan tahlil, doa, dan
sedekah. Bahkan Sunan Ampel—yang dikenal sangat hati-hati—menyebut shalat
dengan “sembahyang” (asalnya: sembah dan hyang) dan
menamai tempat ibadah dengan “langgar”, mirip kata sanggar.
Bangunan masjid dan langgar pun dibuat bercorak Jawa
dengan genteng bertingkat-tingkat, bahkan masjid Kudus dilengkapi menara dan
gapura bercorak Hindu. Selain itu, untuk mendidik calon-calon dai, Walisongo
mendirikan pesantren-pesantren yang—menurut sebagian sejarawan—mirip
padepokan-padepokan orang Hindu dan Budha untuk mendidik cantrik dan calon
pemimpin agama.
Sebagian pihak mempermasalahkan metode dakwah Walisongo tersebut.
Sebagian mempertanyakan kesesuaiannya dengan dalil syar’i.
Sebagian lagi bahkan berani menyalahkan peninggalan para ulama-wali itu. Hal
ini terutama dilakukan kaum modernis yang dipengaruhi pemikiran Wahabi yang
kaku.
Bila mau berpikir jernih dan bijak, metode dakwah
Walisongo tidak selayaknya dipertanyakan. Bahkan semestinya dipuji, karena
terbukti kesuksesannya. Untuk dapat memahami mengapa Walisongo menerapkan
metode dakwah semacam itu, beberapa hal perlu dilakukan.
Pertama, mempelajari sejarah mereka secara mendalam. Sebagaimana
disebut di atas, banyak bacaan tentang sejarah Walisongo. Bacaan-bacaan
tersebut bersumber dari kitab, babad, dan serat kuno, di antaranya Kitâb
Kanzul Ulûm Ibnul Bathuthah; Babad Tanah Jawi; Babad Majapahit lan Para Wali;
Hikayat Hasanuddin; Wali Sanga Babadipun Para Wali; dan Serat
Centhini. Tulisan di masjid dan makam Walisongo juga dijadikan
sumber. Beberapa buku orientalis juga dijadikan sumber, tapi para sejarawan
Islam bersikap selektif dan hati-hati dalam mengutip keterangan dari non muslim
ini.
Kedua, selalu
mengingat bahwa Walisongo ulama yang alim, yang tak akan sembarangan dalam
berbuat. Menurut Kitâb Kanzul Ulûm Ibnul Bathuthah, Walisongo
adalah sembilan ulama berilmu agama tinggi serta mempunyai karamah, yang diutus
Sultan Muhammad I Turki untuk menyebarkan Islam di Jawa. Bila salah satu pergi
atau meninggal, maka segera digantikan wali lain.
Sunan Bonang meninggalkan Primbon Wejangan Sunan
Bonang berisi Fikih, Tauhid, dan Tasawuf, di antaranya berdasarkan Ihyâ’
Ulûmid-dîn al-Ghazali, al-Anthâki dari Dawud al-Anthaki, dan
kitab Syekh Abdul Qodir al-Jailani. Menurut Muhammad Syamsu As., ajaran Sunan
Bonang mengikuti akidah Ahlusunah wal Jamaah dengan mazhab Syafii, dan mewakili
ajaran semua Walisongo.
Masih menurut ia, Sunan Giri dinamai Sultan
Abdul Faqih, karena Ilmu Fikihnya sangat mendalam, ia mengajar Ilmu
Fikih, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Nahwu, dan Sharaf; Sunan Kudus dijuluki Waliyul
Ilmi, menguasai Ilmu Ushul Hadits, Ilmu Tafsir, Ilmu Sastra,
Manthiq, dan terutama Ilmu Fikih; dan Sunan Gunung Jati mempelajari Ilmu
Syariat, Hakikat, Thariqat, dan Ma’rifat.
Ketiga, mempelajari
metode dakwah Nabi Muhammad, sahabat, dan ulama salaf sebagai perbandingan.
Setelah diteliti, ternyata dakwah Walisongo yang bijak dan halus sesuai dengan
dakwah Nabi. Dakwahnya sesuai ayat, “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (QS
an-Nahl [16]: 125). Dan ayat, “Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati
kasar, tentu mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu” (QS Ali Imran [3]: 159).
Juga pesan Nabi saat mengutus Abu Musa dan Mu’adz berdakwah, “Mudahkanlah,
jangan mempersulit. Berilah kabar gembira, jangan membuat (objek dakwah) lari!”
(HR Muslim). Dan Hadits dari Siti Aisyah, “Rasulullah memerintah kami
menempatkan (memperlakukan) manusia sesuai keberadaan (akal) mereka.” (HR Abu
Dawud).
Tentang Walisongo membuat tembang dan puji-pujian Jawa,
hal ini sebagaimana sahabat dan ulama salaf membuat syair-syair keagamaan Arab.
Bahasanya saja beda. Tentang membuat dan menggunakan gamelan serta beduk,
kemungkinan besar berpedoman pada pendapat al-Ghazali dalam Ihyâ’
Ulûmid-dîn bahwa alat musik yang dilarang hanya yang disebut dalam
Hadits.
Tentang pertunjukan wayang, awalnya Sunan Giri tak
setuju, tapi akhirnya beliau dan wali lainnya menyetujui setelah Sunan Kalijogo
mengusulkan wayang diubah bentuknya: tangan lebih panjang dari kaki, hidung
panjang-panjang, kepala agak menyerupai binatang, dan lain-lain agar tak serupa
persis dengan manusia. Tentang membakar kemenyan, bukan untuk arwah orang mati,
tapi untuk mengharumkan ruangan dan karena Nabi suka wangi-wangian.
Keempat,
selalu husnudh-dhan (berbaik sangka) pada Walisongo. Apabila ada
metode dakwah mereka yang tampak kurang sesuai syariat, sebaiknya menganggap
(1) mungkin sumber/penulis sejarahnya yang keliru, bukan Walisongo; dan (2)
mungkin diri kita yang belum memahami/menemukan dalil dan pendapat ulama salaf
yang mereka gunakan. Jika tidak husnudh-dhan,
kita akan menyalahkan mereka seperti kaum Wahabi dan modernis
menyalahkan para ulama. KH Hasyim Asy’ari dalam Risâlah Ahlussunah wal
Jamâ’ah mengutip ucapan Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi’i, “Mereka (Wahabi
dan yang sealiran) golongan yang bermain-main dengan agama, mereka mencela para
ulama salaf dan khalaf, dan mengatakan, ‘Mereka itu tidak ma’shum
(terjaga dari dosa seperti Nabi), maka tidak selayaknya mengikuti mereka.’” Na’ûdzu
billâh. Walisongo memang tidak ma’shûm, tapi bukan muqashshir
(orang sembrono), apalagi jâhil (orang bodoh). Mereka mahfûdz
(terjaga dari dosa, sebagai wali Allah) dan ulama yang alim.
Dan kelima, selalu menghormati Walisongo
sebagai penyebar Islam dan guru. Seandainya bukan karena mereka, mungkin kita
saat ini beragama Hindu atau Budha seperti nenek moyang kita. Walisongo guru
kita, karena nenek moyang kita belajar pada mereka atau murid-murid mereka; dan
kiai serta guru kita masa sekarang—utamanya di pesantren—belajar pada gurunya,
gurunya belajar pada gurunya lagi, terus sampai Walisongo. Karena itulah para
ulama dan habaib mengamalkan ajaran Islam tradisionalis Walisongo, bahkan
beberapa menulis kitab/buku untuk membelanya. Masyarakat umum juga ikut
mengamalkannya.
Walhasil, Walisongo adalah ulama-wali yang alim dan
bijak. Mereka dan metode dakwah serta peninggalannya seyogianya dihormati. Nabi
bersabda pada Sayidina Ali, “Demi Allah, sungguh Allah memberi petunjuk pada
seseorang (hingga masuk Islam) melalui kamu itu lebih baik bagimu daripada
memperoleh unta merah” (HR Bukhari-Muslim). Nabi juga bersabda, “Barangsiapa
memberi petunjuk pada kebaikan, dia mendapat pahala sebagaimana orang yang
melakukannya” (HR Muslim). Hadits terakhir ini, menurut Sayid Alawi bin Abbas
al-Maliki, menunjukkan keutamaan ilmu dan bahwa Nabi mendapat pahala seperti
pahala seluruh umatnya, sejak diutus sampai Kiamat. Maka begitu pula Walisongo,
sebagai penyebar Islam “pertama”, mereka mendapat pahala seperti pahala semua
umat Islam Indonesia, sejak dakwahnya sampai Kiamat
3.
Islam Indonesia: Argumentasi Sosiologis
Secara
sosiologis, potret Islam Indonesia sangat toleran dengan tradisi dan komunitas
lain yang berbeda keyakinan, menerima Bhineka Tunggal Ika. Islam Indonesia
menghargai pluralitas etnis, agama dan gender. Membela kaum minoritas, kaum
mustad’afin, dan kaum terpinggirkan lainnya. Islam Indonesia sangat memahami
sosio-kultural kebangsaan, ketimbang memaksakan normatifitas teks yang
verbalisitik. Dalam masalah praktik sosial kemasyarakatan, Islam Indonesia bisa
menerima Pancasila sebagai Dasar Negara guna memersatukan segenap entitas
bangsa Indonesia. NKRI sudah final bagi Islam Indonesia. Peningkatan Sumberdaya
Manusia dan kedisiplinan yang perlu ditingkatkan, punctuality (ketepatan),
keteraturan, social justice, pengorganisasian, kepekaan sosial, etos kerja,
kompetisi positif, sportivitas, komitmen, trust, dan lain-lain.
Islam Indonesia juga inhern dengan nasionalisme.
Bahkan NU sebagai cerminan Islam Indonesia terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan
dari penjajahan dan delegasinya KH. Wahid Hasyim, menjadi tokoh kunci terbangunnya
bangsa Indonesia, ketika terjadi perdebatan apakah negara Indonesia akan
berlandaskan Pancasila atau Islam. Ketika sekelompok delegasi dari Islam
Modernis menginginkan negara Islam, dan Soekarno yang ingin Pancasila. Ketika
perdebatan menegang, tiba-tiba warga di Indonesia Timur bermaksud merdeka
ketika Indonesia menjadikan Islam sebagai dasar negara. KH. Wahid Hasyim,
selaku anggota perumus dari NU, pulang ke rumah menemui KH, Hasyim Asy’ari, dan
hasilnya diterima Pancasila sebagai dasar negara demi utuhnya NKRI yang baru
didirikan. Kelompok Islam Modernis walau jengkel dengan sikap tersebut tetapi
tidak bisa berbuat banyak karena yang akhirnya bisa menegangkan perdebatan
dasar negara.
Dari kejadian itu, ditemukanlah bagaimana komunitas NU
mendefinisikan kekuasaan, negara dan bangsa. Betapa nasionalisme NU sudah
terbukti. Bahkan, pada Muktamar NU tahun 1938 di Menes, Banten, ada dua
pertanyaan searah yang jawabannya saling kontradiksi. Pertanyaan pertama adalah,
bahwa penjajah Belanda menawari NU untuk masuk menjadi anggota Volskraad,
dengan itu maka NU akan menjadi bagian dari struktur kekuasaan dan pemerintahan
Belanda di Hindia-Belanda. Namun ketika diadakan voting, hasilnya 54 menolak
dan 4 setuju masuk Volksraad. Jadi NU menolak masuk lembaga perwakilan rakyat
versi penjajah itu. Pertanyaan
kedua adalah, apakah Hindia-Belanda wajib dipertahankan dari serangan luar?
Jawabannya adalah wajib karena Hindia-Belanda, menurut hasil Muktamar itu,
merupakan dar al-islam (bukan daulah Islam). Yaitu, kawasan yang
mayoritas penduduknya pemeluk Islam, pernah dikuasai kerajaan-kerajaan Islam
dan umat Islam tidak dibatasi dan dilarang untuk menjalankan ibadahnya. Dari
sini bisa disimpulkan bahwa, keikutsertaan NU dalam Volksraad adalah masalah
politik dan kekuasaan, oleh karena itu bisa ditolak dan bisa juga diterima
seandainya hasil voting itu menghasilkan sebaliknya. Tetapi masalah kawasan
Hindia-Blanda adalah masalah negara dan bangsa, karena itu harus dipertahankan
dengan basis argumen Islam. Dalam konteks inilah bisa dipahami ketika KH Hasyim
Asy’ari sebagai Rois Akbar PBNU mengeluarkan fatwa “resolusi jihad” pada Oktober
1945 yang mewajibkan kepada seluruh umat Islam dan bangsa Indonesia sebagai wajib
‘ain dalam jarak tertentu dari Surabaya yang sedang berperang untuk
mempertahankan kemerdekaan seiring dengan masuknya tentara seklutu (NICA) yang
diboncengi Belanda. Masuknya tentara sekutu tersebut tentu membahayakan Indonia
yang baru belum ada dua bulan merdeka. Maka terjadilah Perang 10 Nopember 1945
di Surabaya.
Dari
uraian tersebut, jelaslah NU sebagai bagian penting dari Islam Indonesia sudah
mampu membangun definisi hubungan agama, bangsa dan negara dalam Islam
Indonesia yang kosmopolit. Dari catatan ini pula adanya keterkaitan erat antara
berdirinya NU dan proses terbangunnya negara-bangsa Indonesia. Di era Gus Dur,
Islam Indonesia jugamampu menyeimbangkan ketegangan antara pemerintah rakyat,
militer – sipil, mayoritas – minoritas. Islam Indonesia juga sangat perhatian
dengan isu-isu demokrasi, HAM, gender, kemiskinan, ekonomi neo-liberal, civil
society, advokasi, misalnya, yang sudah dikembangkan oleh NU sejak masa
otoritarianisme Orde Baru, yang waktu itu gerakannya bahkan dilakukan secara “undergorund.”
Topik-topik tersebut tidak hanya menjadi gerakan pemikiran tetapi juga gerakan
praktis. Demikian juga dengan masalah hak-hak perempuan, korupsi, dan hak-hak
minoritas muncul menjadi pergulatan intensif saat ini, sehubungan dengan kian
derasnya arus fundamentalisme yang anti kesetaraan perempuan dan anti
pluralisme dan multikulturalisme serta maraknya korupsi sejak Orde Baru. Dengan
kata lain, evolusi pemikiran Islam Indonesia akan terus mengikuti arus
perkembangan bangsa Indonesia itu sendiri. Sejumlah isu juga sedang diyang
belum terangkum dalam disertasi ini, misalnya, gerakan tentang pertanian,
lingkungan, pengelolaan seumber daya alam dan tradisi lokal. Semua ini menanti
sebuah karya lanjutan berikutnya.
D. PENUTUP
Demikianlah penjelasan seputar Islam Indonesia. Istilah
Islam Indonesia muncul sebagai peristilahan untuk menunjuk identitas keislaman
masyarakat nusantara dalam menghadapi penetrasi kaum Arabis ataupun Barat.
Islam Indonesia memang hasil persemaian agama dan tradisi yang jika kita angkat
ke permukaan pasti tidak akan ada habisnya dan akan selalu terjadi pro dan
kontra antara kaum modernis dengan kaum tradisionalis. Sunnah dan tradisi lokal
adalah sebuah fenomena pro dan kontra yang menghiasi pemikiran orang Islam
sehjak zaman masa lalu. Intinya Dua pihak yang pro-dan kontra tersebut memiliki
landasan sendiri-sendiri yang mereka anggap benar dan sesuai dengan Al-Quran.
Oleh karena itu, perbedaan pendapat bukanlah sebuah permasalahan selama ada
toleransi dengan saling menghormati satu sama lain, tetapi perbedaan itu akan
menjadi masalah manakala tidak ada rasa saling menghormati satu sama lain. Islam
Indonesia akan mampu memimpin peradaban dunia Islam ketika mampu memperkokoh
eksistensinya dalam mengarungi kehidupan modern yang kompetetif.[]
0 komentar:
Posting Komentar