SEJARAH PONPES AL-ISHLAH
Pondok Pesantren al-Ishlah adalah salah satu pondok pesantren di Kota Kediri yang dibangun di Desa Bandarkidul 9 tahun pasca kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tahun 1954 M. Komplek Pondok Pesantren Al-Ishlah terletak di sebelah Barat sungai Brantas dan berada di atas areal tanah seluas ± 1.780 m2. Lokasi Pondok berada di sebelah Barat alun-alun Kota Kediri, tepatnya di sebelah Selatan perempatan Jl. Bandar Ngalim Bandarkidul-Mojoroto-Kota Kediri. Sejarah perjalanan tujuh windu Pondok Pesantren al-Ishlah, ini hadir untuk menggugah hati dan membawa ingatan kita terhadap dinamika dan romantika masa lalu, nan memberi rangsangan semangat, motivasi dan renungan menuju hidup yang lebih berarti. Sehingga terpatri sebuah pandangan jernih dalam hati kita dalam menyikapi persoalan hidup, perjuangan, pengorbanan, kegagalan, kesuksesan, kekayaan, kemiskinan, persahabatan, cinta dan kasih sayang. Serta himmah untuk meniru jejak perjuangan atas keberhasilan seorang tokoh dalam menegakkan panji-panji Islah
A. Latar Belakang Berdirinya Pondok Pesantren Al-Ishlah
Studi situasi dan kondisi menjelang lahirnya Pondok Pesantren al-Ishlah,
sangatlah penting mendapatkan porsi pembahasan tersendiri. Sudah barang
tentu esensi dari pembabhasan ini adalah rekaman aneka peristiwa yang
mengantarkan lahirnya Pondok Peantren Al-Ishlah. Ternyata kondisi sosio-kultural dan lingkungan yang berkembang waktu itu merupakan faktor utama yang mendorong KH. Thoha Mu’id untuk mendirikan Pondok Pesantren al-Ishlah ini.
Namun peristiwa ini kami rakam secara sekilas, untuk dapat dijadikan pijakan untuk menyusun sejarah berdirinya Pondok Pesantren al-Ishlah.
Al-Ishlah didirikan satu tahun menjelang pemilihan umum pertama tahun
1955, tepatnya pada tanggal 17 Oktober 1954. Saat itu situasi sedang
dimanfaatkan oleh para politisi dan gembong-gembong partai mengadakan
persaingan mencari pengaruh dan perebutan kekuasaan yang saling
menjatuhkan. Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural, banyak
suku, ras dan agama berkembang dengan pesat sangat rentan terhadap
konflik. Hal ini tentunya dapat berdampak negatif terhadap kondisi umat
Islam. Karena Islam sebagai agama yang banyak dianut oleh sebagian besar
masyarakat Indonesia ternyata juga menganut beragam madzhab yang
berbeda-beda dan mempunyai basis masa yang tidak sedikit jumlahnya. Hal
ini tentunya menjadi ladang subur untuk memperoleh dukungan massa yang
sebesar-besarnya, jangan sampai keutuhan umat Islam ini dimanfaatkan
pihak ke tiga untuk kepentingan kelompok atau golongan tertentu dengan
aksi dukung mendukung yang rewan terhadap konflik.
Melihat yang kenyataan yang demikian itu, sebagai upaya untuk menghindari perpecahan umat maka beliau memilih al-Ishlah sebagai nama pondok pesantren yang didirikannya sebagai simbol perdamaian umat. Beliau berharap dengan nama al-Ishlah,
santri-santrinya mampu menginternalisasikan nilai-nilai perdamaian
untuk membangun umat yang rukun dan damai tanpa memihak satu kelompok
manapun. Keanekaragaman madzhab dalam umat tubuh umat Islam serta tumbuh
suburnya ormas dan orsospol harus segera seberdayakan, jangan sampai
tumbuh sikap fanatisme, arogan dan saling menjatuhkan. Nama Al-Ishlah yang ada sejak 56 tahun silam, hingga al-Ishlah sebagaimana kita kenal sekarang ini, bukan hanya rangkaian aksara tanpa makna. KH. Thoha Mu’id
selaku pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren al-Ishlah, mengutip
beberapa ayat al-Qur’an sebagai landasan normatifnya, antara lain yaitu:
a. Qs. An-Nisa’ (4) ayat 114
لا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan
bisikan bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh
(manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.
b. Qs. al-Hujrot (49) ayat 9-10
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ
إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ
إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ * إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ *
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.
Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap
golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu
sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu
telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya
dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah
bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.
Di Pondok Pesantren al-Ishlah
inilah beliau mulai mendedikasikan diri untuk mensyiarkan ajaran
Islam, dengan membacakan kitab kuning atau sekedar memberikan
wejangan-wejangan kepada para santrinya. Hal ini beliau lakukan dengan
penuh semangat dan istiqomah . Sehingga, walaupun suatu ketika beliau
baru saja datang dari bepergian, kalau itu waktunya jama’ah ataupun
ngaji, maka beliau pun melaksanakannya seolah tidak kenal payah dan
lelah.
B. AD/ART PONDOK PESANTREN AL-ISHLAH
كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ
اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ
الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
“Hendaklah kamu menjadi
penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata):
“Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu
mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. Qs. Ali
Imran (03): 79
M U Q O D D I M A H
Bismillahirrahmanirrahim
- Bahwa sesungguhnya kegiatan para ulama’ tidak dapat dipisahkan dari perjuangan rakyat Indonesia dalam rangka mencapai kemerdekaan
- Bahwa sesudah adanya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, ternyata alim ulama’ dan para santrinya sanggup mendarmabhaktikan tenaga dan pikiran untuk membangun negara Indonesia yang mempunyai tujuan mencapai masyarakat adil dan makmur serta mendapat ridlo dari Allah SWT
- Maka Pondok Pesantren Al-Ishlah Bandarkidul Mojoroto Kota Kediri terus berjuang memajukan pendidikan agama Islam dengan konsekuen, amar ma’ruf nahi munkar, serta menjaga keseimbangan kehidupan duniawi dan ukhrowi.
Wabillahi Taufiq Wal Hidayah Wal Inaayah
PASAL I
NAMA, KEDUDUKAN, WAKTU DAN LAMBANG
- Pondok pesantren ini bernama Pondok Pesantren Al-Ishlah.
- Berkedudukan di desa Bandarkidul Kecamatan Mojoroto Kota Kediri
- Didirikan oleh bapak KH. Thoha Mu’id pada tanggal 17 Oktober 1954
- Berlambang segi lima; bagian bawah terdapat gambar dua buah tangan berjabatan, bagian tengah terdapat dua buah kitab empat tingkatan disinari sebuah lilin, bagian atas terdapat sebuah masjid dan sebuah bintang bersinar sembilan.
PASAL II
ASAS DAN AQIDAH
- Pondok Pesantren Al-Ishlah berasaskan Pancasila
- Pondok Pesantren Al-Ishlah beraqidah Islam Ahlussunah Wal Jama’ah
PASAL III
MAKSUD DAN TUJUAN
- Pondok Pesantren Al-Ishlah bermaksud mensy’iarkan Agama Islam.
- Pondok Pesantren Al-Ishlah mempunyai tujuan ;
a. Menyebarluaskan ajaran Islam,
b. Mempertahankan aqidah Ahlussunah Wal Jama’ah,
c. Mempererat Ukhuwah Islamiyyah,
d. Memajukan pendidikan Islam,
e. Mencetak kader ulama’ dan tokoh panutan,
f. Menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
PASAL IV
POKOK-POKOK USAHA
- Menyelenggarakan kegiatan di bidang Pendidikan Agama Islam, baik pengajian maupun madrasah.
- Mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi agama dan negara.
- Menggali dan mengebangkan potensi santri melalui aktifitas jam’iyyah dan dakwah.
- Mengadakan kerjasama dengan pemerintah dan lembaga non pemerintah, baik pondok pesantren maupun lembaga lain.
- Mengembangkan usaha perekonomian.
PASAL V
SANTRI DAN ALUMNI
- Santri Pondok Pesantren Al-Ishlah adalah seorang, atau orang-orang yang telah sowan kepada bapak KH. Thoha Mu’id serta mendaftarkan diri sebagai santri pada Pengurus Pondok.
- Seseorang tidak lagi termasuk santri Pondok Pesantren Al-Ishlah bilamana mendapat sanksi dikeluarkan dari Pondok Pesantren Al-Ishlah.
- Alumni Pondok Pesantren Al-Ishlah adalah seseorang yang pernah terdaftar sebagai santri Pondok yang kemudian hari tidak lagi berdomisili di Pondok Pesantren Al-Ishlah.
PASAL VI
HAK DAN KEWAJIBAN
- Setiap Santri Pondok Pesantren Al-Ishlahmemiliki hak dipilih dan memilih serta mengeluarkan pendapat yang menuju kepada kebaikan.
- Memiliki hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
- Setiap Santri Pondok Pesantren Al-Ishlah wajib tunduk dan patuh pada ketentuan AD/ART, Keputusan Rapat dan Peraturan-Peraturan yang lain
- Setiap Santri Pondok Pesantren Al-Ishlah wajib mengikuti kegiatan yang diselenggarakan Pondok maupun Madrasah.
PASAL VII
KEPENGURUSAN
1. Kepengurusan Pondok Pesantren Al-Ishlah diatur dengan susunan;
a. Dewan Pengasuh;
b. Dewan Penasehat;
c. Dewan Pengurus Harian;
d. Departemen – Departemen.
2. Kecuali Dewan Pengasuh, kepengurusan ditetapkan melalui keputusan rapat.
3. Kecuali Dewan Pengasuh, Dewan
Penasehat dan Kepala Pondok; masa jabatan kepengurusan ditetapkan selama
1 (satu) tahun dengan ketentuan pengurus lama dapat dipilih lagi.
PASAL VIII
PERATURAN DASAR PONDOK
Peraturan Dasar Pondok adalah Tanbih yang dikeluarkan dan ditetapkan langsung oleh Syaikhina KH. Thoha Mu’id, dengan redaksi sebagai berikut;
Sopo-sopo konco santri Al-Ishlah putra utowo putri, gedhe utowo cilik kudu manut lan miturut dhawuhe Kyai :
- Ora keno lungo bengi kang dadi sebabe maksiyat;
- Kudu tata krama ono eng endi-endi panggonan;
- Kudu hormat lan mulyak ake marang seluruh tamu;
- Kudu sopan santun tepo seliro padha ugo ucapan utowo tingkah laku;
- Sopo-sopo kang nerjang, Kyai ora ridha dunyo akhirat.
2.Peraturan Dasar Pondok ini bersifat mengikat dan berlaku untuk selamanya.
3. Peraturan Dasar Pondok ini tidak dapat dirubah atau diganti oleh siapapun, kecuali oleh Syaikhina Thoha Mu’id.
PASAL IX
ATURAN PERALIHAN
- Melakukan perubahan terhadap Anggaran Dasar ini hanya dapat oleh Rapat Intern Keluarga Ndalem Pondok Pesantren Al-Ishlah yang dihadiri oleh Dewan Pengasuh
- Usulan terhadap perubahan Anggaran Dasar ini dapat dilakukan dan disyahkan oleh Rapat Pleno Pengurus Pondok
PASAL X
PENUTUP
- Hal-hal yang belum diatur dalam Anggaran Dasar ini akan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga dan keputusan lainnya.
- Dengan berakunya Anggaran Dasar ini, maka semua ketentuan yang bertentangan dengan Anggaran Dasar ini dinyatakan tidak berlaku lagi.
Anggaran Dasar ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
C. Visi, Misi dan Tujuan Pondok Pesantren Al-Ishlah
Dengan berpegang teguh kepada Firman Allah Qs. al- Isra’ (17) ayat 80:
وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا
Dan katakanlah: “Ya Tuhan-ku,
masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku
secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau
kekuasaan yang menolong.
Maka pondok pesantren al-Ishlah
dalam perjalannya senantiasa melakukan upaya-upaya perbaikan dan
konstektualisasi dalam merekonstruksi bangunan-bangunan sosio cultural.
Hal itu dicerminkan dalam visi, misi dan tujuan Pondok Pesantren
al-Ishlah, sebagaimana berikut:
1. Visi
Pondok Pesantren al-Ishlah sebagai lembaga keagamaan Islam, memiliki komitmen yang kokoh, sebagai pusat pemantapan aqidah ahlusssunah wal jama’ah, akhlaqul
karimah, pengembangan keilmuan dan pembinaan potensi santri, sehingga
mampu menghasilkan kepribadian santri yang unggul secara intelektual dan
anggun secara moral dan spiritual. Sebagai Muslim yang taat, memiliki
komitmen yang tinggi dalam berbagai peran sosial dan keagamaan ber Amar Ma’ruf wa Ishlahi Bainannas
(perintah kebaikan dan perdamaian manusia). dalam rangka mencetak warga
negara yang bertangung jawab, damai, sejahtera lahir dan batin.
2. Misi
Pondok pesantren al-Ishlah mempunyai tekad untuk menjadikan pondok pesantren sebagai wahana untuk membentuk alumninya berkualitas
- Insan yang berwawasan luas dan berkepribadian ke ulama an dan keilmiah an
- Insan yang berwawasan luas dan berkepribadian keulamaan dan kebangsaan
- Insan yang aktif, progresif dan revolusioner yang responsif dalam mengambil peran pengabdian kepada nusa, bangsa dan agama.
- Insan yang siap untuk diterjunkan ditengah-tengah masyarakat untuk ber Amar Ma’ruf Nahi Mungkar dengan berdasarkan perintah Allah dan Rosulnya.
- Mengamalkan Pancasila sebagai dasar Negara sebagai wujud hubbul wathon min al-iman
3. Tujuan
- Menyiapkan SDM menjadi bagian dari masyarakat yang memiliki kemampuan ilmiyah dan diniyyah, yang dapat menerapkan, mengembangkan dan memperkaya khazanah keilmuan Islam continue dan konsekuen.
- Mengembangkan dan memperluas ilmu pengetahuan agama Islam dan mengupayakan penerapannya untuk meningkatkan kesadaran relegius di tengah-tengah masyarakat.
- Menyiapkan santri menjadi bagian dari masyarakat yang memiliki kemantapan akhidah, kedalaman spiritual, keluasan ilmu pengetahuan agama Islam dan berakhlakul karimah.
- Mempersatukan semua wadah-wadah umat Islam baik secara langsung atau tidak langsung untuk menunjukkan Islam kaffah serta rahmatan lil’alamin
D. Dinamika Perkembangan Pondok Pesantren Al-Ishlah Dalam Setengah Abad
Tujuh windu Pondok Pesantren al-Ishlah
telah berdiri. Usia Lima puluh delapan tahun ini tentunya menjadikan
perjalanan karier pondok pesantren al-Ishlah mengalami perkembangan yang
dinamis dan cukup signifikan, mulai dari perkembangan jumlah santri,
fasilitas sarana dan prasarana, metode belajar-mengajar dan lain-lain.
Dengan perkembangan pondok pesantren al-Ishlah ini betapa pentingnya
untuk bisa dipahami, dihayati, dan pada nantinya dapat di
implementasikan dalam kehidupan sehari-hari khususnya oleh para santri
dan alumni pondok pesantren al-Ishlah, dan masyarakat luas pada umumnya.
1. Napak Tilas Santri Generasi Awal
Dari data yang kami kumpulkan bahwa
jumlah santri yang pertama kali mukim di Al-Ishlah ada 14 orang, enam
orang diantaranya adalah santri yang berada dalam binaan KH. Thoha Mu’id
semenjak beliau masih berada di Pondok Pesantren Mojosari. Dengan
pulangnya Romo Kyai dari Mojosari, mereka ikut serta pindah (boyong) ke
Al-Ishlah agar dapat tetap berguru kepada KH. Thoha Mu’id. Mereka itu adalah :
- Wahid dari Berbek – Nganjuk
- Turmudzi dari Tunjung – Udanawu – Blitar
- Mujib dari Kebon Agung – Udanawu – Blitar
- Hasyim Asy’ari dari Dadaplangu-Blitar
- Pandi dari Ngetos – Nganjuk
- Chozin dari Kedungombo – Warujayeng
- M. Syafa’at dari Kebon Agung – Udanawu – Blitar
- Mulkan dari Kebon Agung – Udanawu – Blitar
- Masyhudi dari Kalipucung – Sanankulon – Blitar
- Faishol dari Pesantren – Kediri
- Sapoan dari Wonodadi – Blitar
- Abdul Manan dari Garum-Blitar
- Munawir dari Garum-Blitar
- Romly dari Gadungan-Gandosari-Blitar
- Dari ke 14 santri tersebut yang pertama kali diajak ke Bandarkidul adalah Wahid dari Berbeg, namun untuk selanjutnya ke 13 santri tersebut diatas menyusul.
Sedangkan enam orang lainya adalah
tergolongn santri baru, dalam arti bukan termasuk santri yang ikut serta
pindah bersama Kyai dari Mojosari, mereka adalah:
- Katib dari Ngronggot
- Ghozali dari Bumiayu
- Ridlo dari Bumiayu
- Abidin dari Bumiayu
- Bashori dari Ponorogo
- Dimyati dari Kertosono – Nganjuk
Dari keseluruhan santri pada generasi
awal tersebut, beberapa diantaranya tidak mengalami dalam satu masa
secara bersamaan. Namun mereka adalah generasi pada dekade tahun 1958.
Dengan demikian, tidaklah berlebihan jikalau ke-20 orang tersebut berhak
mendapatkan predikat sebagai gelar “Assabiqnal Awwalun” generasi pertama, sebagai pelaku sejarah dalam bertholabul ilmi di Pondok Pesantren Al-Ishlah.
2. Perkembangan statistik santri dari tahun ke tahun
Seperti halnya pesantren pada umumnya,
yang mewajibkan para santrinya untuk mengikuti program pendidikan
yang diselenggarakan di dalam pesantren. Tetapi yang menjadikan
al-Ishlah berbeda dengan pesantren lainnya, yakni adanya kebijakan yang
memberikan kesempatan kepada para santrinya untuk menuntut ilmu
dilembaga formal yang berada diluar pesantren. Kebijakan ini dibuat 12
tahun pasca berdirinya Al-Ishlah, tepatnya tahun 1966,
yakni bersamaan dengan didirikannya IAIT Tribakti oleh Pondok Pesantren
Lirboyo. Saat itu mengalirlah pelajar-pelajar tamatan Pondok besar
seperti Ploso, Jampes dan Bendo, untuk mengikuti kuliah di Tribakti
dengan mukim di Al-Ishlah, di samping juga ada yang kuliah di IAIN
Sunan Ampel Cabang Kediri (Sekarang STAIN Kediri) ataupun sekolah
tinggi sederajat. Inilah kondisi sosio kultural yang menentukan langkah
baru pondok pesantren al-Ishlah, dimana saat itu KH. Thoha Mu’id
selaku pendiri dan pengasuh membuat kebijakan baru yakni memberikan
kesempatan bagi santri untuk belajar atau sekolah formal diluar pondok.
Dalam mengeluarkan kebijakan ini beliau merujuk pada Firman Allah Qs.
Al-Isra’ (17): 80.
Berawal dari kebijakan inilah, membuat Al-Ishlah diminati banyak orang. Dengan bertempat di Pondok al-Ishlah
santri tidak hanya mendapatkan wawasan keilmuan agama saja, tetapi juga
mendapatkan kesempatan untuk belajar dilembaga pendidikan formal yang
berada di luar pondok. Maka banyak pelajar yang datang dari berbagai
daerah untuk memperdalam ilmu agama di Al-Ishlah sambil
sekolah diberbagai lembaga pendidikan formal maupun non formal yang ada
di wilayah kediri dan sekitarnya. Mulai dari tingkat SMP, SMA, sampai
Perguruan Tinggi. Hal ini mambawa dampak positif bagi perkembangan
al-Ishlah, terbukti dari tahun ketahun jumlah santri al-Ishlah terus
mengalami peningkatan yang cukup segnifikan. Walaupun, dalam waktu satu
tahun, selalu terjadi pasang surut jumlah santri. Hal ini disebabkan
sebagian santri yang meninggalkan pesantren karena tuntutan studi ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi, atau meninggalkan pesantren
disebabkan suatu hal yang lain.
3. Aktifitas Santri
Dalam era globalisasi hampir semua sendi
kehidupan umat manusia mengalami perubahan yang amat dahsyat. Intisusi
sosial kemasyarakatan, kenegaraan, keluarga, bahkan institusi keagamaan
tidak luput dari pengaruh arus derasnya globalisasi. Apa reaksi santri
dan pesantren menghadapi hal ini? menutup diri? Tentu saja tidak.
Santri adalah bagian dari masyarakat yang
telah menanamkan harapan besar kepadanya. Agar disaat pulang nanti
mampu mengentaskan mereka dari penderitaan yang menggerogoti jiwa dan
tubuh. Mampu membimbing dan mengarahkan menuju kehidupan dalam
kemapanan. Melihat tugas dan tantangan yang begitu besar, maka tidak ada
lagi solusi, selain menjadikan santri sebagai figur manusia yang kuat
jiwanya, tidak mudah tergoncang oleh gelombang ganas kehidupan, juga
cerdas dan luas wawasanya agar bisa memecahkan segala masalah yang
menimpa dirinya dan masyarakat sekitarnya. Untuk membentuk figur santri
seperti ini, maka dituntut adanya program yang betul-betul terarah.
Konstruksi bangunan aktifitas santri semuanya harus mengarah kepada
tujuan ini. Disinilah arti penting aktivitas santri dan sistem
bangunannya, karena hal inilah yang akan membenmtuk kepribadian dan
perilaku santri ketika sudah berjuang ditengah-tengah masyarakat.
Al-hamdulillah, ternyata hal ini sudah menjadi perhatian utama dari PP. Al-Ishlah,
setidaknya sebagai aktifitas santri al-Ishlah sudah menuju ke arah
sana, meskipun belum mencapai kesempurnaan. Hal itu dibuktikan dengan
ide-ide inovatif dari KH. Thoha Mu’id. Sebagai seorang
pengasuh beliau memberikan kesempatan kepada para santri untuk menempuh
pendidikan formal maupun non formal serta mengikuti organisasi diluar
lingkungan pesantren memberikan dampak yang luar biasa terhadap
pembentukan kepribadian dan pengembangan potensi santri. Dengan cara
seperti ini, santri selain mendapatkan pendidikan agama ia juga
berkesempatan mengembangkan potensi dirinya semaksimal mungkin.
Dalam mendidik santri yang siang hari tidak sekolah formal, maka KH. Thoha Mu’id
selalu mengarahkannya untuk mengikuti ro’an, dari sini santri secara
tidak langsung akan belajar berwirausaha, baik itu melalui pemberdayaan
koperasi, ketrampilan, keahlian dan lain-lain. Khusus dalam ro’an
bangunan fisik, ketika selesai bangunan yang satu maka sebagai
alternatif untuk kegiatan santri akan dicarikan bangunan yang lain untuk
dapat direnovasi, itu dilaksanakan secara terus menenus. Hal itu
bertujauan agar jangan sampai santri nganggur¸ tanpa ada
aktivitas. Sebagaimana pengakuan dari beberapa alumni yang mengikuti
perkembangan al-Ishlah hingga saat ini, bahwa kegiatan ro’an sejak awal
berdirinya pondok sampai saat ini tidak pernah ada putusnya.
Hal ini menjadikan suasana al-Ishlah selain menjadi wadah untuk ber tholabul ’ilmi,
pondok al-Ishlah juga sebagai temnpat berinteraksi sosial secara utuh.
Keanekaragaman latar belakang asal daerah dan potensi (pendidikan
formal) menjadi nilai positif untuk saling mengisi dan berbagi
pengalaman. Oleh sebab itu, lahirlah alumni yang berkemampuan sangat
heterogen namun tetap berkarakter seorang santri. Mulai dari praktisi
ulama, umaro’, intelektual, pengusaha, dan lain-lain.
4. Fasilitas, sarana dan prasarana
Tuntutan bagi sebuah pencapaian ilmu
sangat erat kaitannya dengan tersedianya sarana dan pra sarana yang
representatif. Dalam hal ini upaya kongkrit telah dilakukan oleh pondok
pesantren al-Ishlah Bandarkidul dengan melakukan penataan, pelestarian,
dan pengembangan dalam bidang fasilitas, sarana dan prasarana.
Asrama Santri
Sejak pertama kali al-Ishlah dirintis oleh KH. Thoha Mu’id,
sarana dan prasarana untuk santri pun masih seadanya, jauh dari ideal.
Pada tahun pertama hanya terdapat satu kamar yang masih bersifat darurat
yang dikenal dengan istilah nyang empokan (sesuatu yang dindingnya sebagian cukup pada bangunan lain) tepatnya berada di sebelah barat Ndalemnya Bapak H. Abdul Mu’id, itu harus ditempati oleh kurang lebih 14 santri.
Dengan kondisi seperti itu, maka kegiatan belajar-mengajar ditempatkan di langgar
atau surau kecil dengan penerangan lampu 5 watt, sehingga para santri
menerima pelajaran dari Kyai membawa lampu teplok yang dipasang pada
dinding langgar atau lampu ublik yang diletakkan di atas dampar
(meja kecil) atau dipegang dengan tangan kirinya bagi mereka yang tidak
mempergunakan meja (lesehan), dimana kitabnya hanya disandarkan diatas
lututnya yang berfungsi sebagai gantinya meja tulis, sedang tangan
kananya digunakan untuk maknani /ngesahi (menulis)
pada kitab yang dikaji. Bagi mereka yang tidak membawa lampu sendiri
maka mereka mengelompok, bergabung dengan temannya sehingga lampu satu
dikerumuni oleh tiga atau empat orang.
Itulah Al-Ishlah di masa
silam, yang selalu dikenang oleh para santri generasi pertama.
Rupa-rupanya keadaan itu sekarang ini sudah menjadi sejarah masa silam,
karena al-Ishlah yang ada kini ditaburi cahaya lampu yang menjadikan
sekitarnya terang benderang. Langgar kecil yang sangat
berjasa, beserta menara tempat mengalunkan panggilan Ilahi setiap
Maghrib dan Subuh itu, sudah tergusur oleh proyek pelebaran jalan.
Sedangkan perkembangan sarana fisik
(asrama) santri dimulai pada tahun 1954 hanya ada satu kamar, tahun 1957
ada 4 kamar yakni 2 kamar di belakang pengimaman langgar kecil
(komplek A pada waktu itu) dengan ditambah 2 kamar sebelah selatan
langgar yang sekarang sudah tidak bisa kita saksikan lagi. tahun 1958
membangun komplek B sebelah selatan langgar, sejumlah 7 kamar ditambah 4
kamar komplek A atas, dengan membongkar 2 kamar sebelah selatan langgar
(sehingga ada 10 kamar. Tahun 1960 setelah bapak KH. Abdul Mu’id
meninggal dunia maka sebagian santri menempati rumah beliau yang
selanjutnya menjadi komplek C. Tahun 1962 setelah bapak Kyai Abdurohman
pindah ke Pulosari, maka rumah beliau ditempati santri pula, dengan
leter komplek D yang terdiri 4 kamar. Keterangan ini diperoleh dari
buku ¼ Abad PP al-Ishlah, hasil wawancara dengan Bapak Mihron (santri
tahun 1955) yang menyaksikan perkembangan pondok pesantren Al-Ishlah
ditahun-tahun.
Tahun 1967 membangun komplek Madiun
dengan 3 kamar, kemudian tahun 1968 membangun komplek Pemalang dengan 1
kamar, tahun 1969 membangun komplek E dengan 4 kamar, tahun 1972
membangun komplek Solo dengan 2 kamar, tahun 1973-1974 membangun komplek
‘al-Huriyah’ dengan 7 kamar, tahun 1975 menyempurnakan dan mulai
penggunaan komplek ”Nadlotus Syubban” (sekarang al-Munawwaroh) dengan 8
kamar. Namun pada tahun 1976 situs bersejarah yang menjadi cikal bakal
berdirinya pondok pesantren al-Ishlah itu harus rela digusur oleh proyek
pemerintah (pelebaran jalan Bandar Ngalim) , rumah Kyai Yusuf Mu’id,
langgar utara dan komplek-komplek tempat tinggal para santri waktu itu
kini sudah tidak bisa disaksikan lagi, semuanya sudah tergusur oleh
proyek tersebut.
Kemudian tahun 1978 membangun dan
meresmikan komplek ‘As-Sa’adah’ dengan 10 kamar, dalam tahun itu juga
al-Ishlah membangun aula yang diberi nama ”Darul Muttaqin” dua lantai,
atas digunakan aula dan bawahnya digunakan kantor pondok dan komplek
al-Fattah. Dalam perkembangannya komplek al-Fattah semuanya dipindah ke
atas. Pada tahun 1980 komplek al-Hurriyah dipindah ke selatan yang
bersambung dengamn komplek as-Sa’adah, sedang komplek al-Hurriyah yang
lama digunakan untuk asrama putri.
Sejak tahun 1954, dari tahun ke tahun di
al-Ishlah tercatat beberapa kali melakukan pembangunan asrama santri.
Dalam rentang waktu 56 tahun sejak berdirinya, pondok pesantren
al-Ishlah telah menunjukkan kiprah dan peran yang luar biasa, berawal
dari hanya sebuah surau kecil sebagai pusat kegiatan santri dan asrama
yang sangat sederhana (nyang empyokan) kini telah berkembang
menjadi sebuah pondok pesantren yang cukup representatif dan populer di
mata masyarakat luas baik dalam skala lokal maupun nasional.
Seperti yang dapat kita saksikan
sekarang. Saat ini di dalam area pondok pesantren al-Ishlah terdapat
lima komplek yang terdiri beberapa kamar, diantaranya adalah: al-Fattah:
7 kamar, al-Munawwaroh: 8 kamar, al-Mubarokah: 5 kamar, al-Hurriyah: 5
kamar, dan as-Sa’adah: 12 kamar. Selain itu ada juga yang bertempat di
komplek mushola al-Fadlu dan asy-Syafi’i, keduanya merupakan bagian
dari pada pondok pesantren al-Ishlah.
Mushola al-Ishlah
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat
dipisahkan dengan pondok pesantren, yang dianggap sebagai tempat umat
Islam mengadakan berbagai macam kegiatan keagamaan, pengajian sholat
berjama’ah musyawarah, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, bukan
merupakan hal yang aneh jika dimana ada pesantren disitu pula ada
masjid, seperti yang dapat kita lihat di pondok pesantren al-Ishlah.
Pada mulanya pondok pesantren al-Ishlah memiliki mushola yang amat sederhana, berada di utara ndalem. Tetapi
bangunan itu sudah tiada lagi karena sudah tergusur oleh proyek
pelebaran jalan Bandar Ngalim. Akhirnya ada inisiatif untuk membangun
kembali mushola yang telah digusur tesebut dengan bangunan yang lebih
permanen .Hal itu direalisasikan pada tahun 1966, yakni dengan
dibelinya rumah besar kepunyaan Bu Sinder beserta tanahnya seluas 1560
m² atau 111½ ru selannjutnya di fungsikan sebagai mushola al-Ishlah,
yang menjadi pusat kegiatan santri. Selang beberapa tahun setelah
bangunan mushola itu berdiri dan santri kian bertambah banyak. Maka
sebagai akibatnya mushola yang semula dirasa longgar semakin terasa
sempit. Kemudian diadakan perluasan dengan merenovasi bentuk
bangunannya hingga berdiri megah ”Masjid Al-Ishlah” beserta menara yang
menjulang tinggi sebagaimana yang kita lihat sekarang ini.
Menara Arafah
Menara Arofah adalah merupakan salah satu
simbol panji-panji Islam yang ada di pondok pesantren al-Ishlah. Menara
yang berdiri megah di sebelah barat mushola ini merupakan menara ke -3
yang pernah ada dalam kurun waktu 56 tahun sejak berdirinya al-Ishlah.
Menara yang pertama kali berdiri di
pondok pesantren al-Ishlah berada di utara mushola lama dengan
ketinggian 9 M, tepatnya di timur ndalem Kyai Yusuf Mu’id. Namun
dikarenakan adanya gempa, maka pembangunanya tidak dilanjutkan dan
selanjutnya dialih fungsikan untuk kamar santri, yang ditempati oleh
Afandi dan Awwaluddin.
Pada tahun 1967 ada rencana melanjutkan
kembali pembangunan menara, akan tetapi lokasi pembangunannya berada di
sebelah selatan mushola lama (sekarang menjadi dapur ndalem).
Namun pada tahun 1975 pemerintah kembali mengadakan proyek pelebaran
jalan Bandarngalim, yang akhirnya menara beserta mushola lama dan ndalem
Kyai Yusuf Mu’id harus tergusur oleh proyek tersebut.
Setelah adanya penggusuran, maka di pondok pesantren al-Ishlah
tidak terdapat menara. Pada tahun 2004 ide untuk mendirikan kembali
menara di pondok pesantren al-Ishlah dimunculkan. Tetapi sebelum ide itu
terealisasikan keluarga besar pondok pesantren al-Ishlah mengalami
peristiwa duka yang mendalam atas kepergian Ibu Nyai Hj. Siti Asiyah
untuk selama-lamanya, innalillahi wa inna ilaihiroji’un.
Ide pembangunan menara baru dapat
direalisasikan pasca meninggalnya Ibu Nyai. Penggalian pondasi dimulai
pada hari Selasa, 17 Agusutus 2004/ 1 Rajab 1425 H. Sebelum peletakan
batu pertama dilaksanakan, KH. Thoha Mu’id mengintruksikan agar
peletakan batu pertama didahului oleh adzan dan iqomat. Hal ini
berdasarkan ijazah dari KH. Fattah – Mangunsari, Tulungagung dan pada
saat itu yang mendapatkan tugas mengumandangkan adzan dan iqomat adalah
Affan al-Qudsy (santri asal Kudus).
Pembangunan menara dapat dilakukan secara
bertahap, hal ini mengingat keterbatasan dana yang dimiliki.
Al-hamdulillah, atas dukungan moral dan material dari keluarga besar
al-Ishlah, santri, dan alumni serta pihak-pihak yang mempunyai kedekatan
emosional dengan pondok pesantren al-Ishlah
pembangunan menara dapat terselesaikan. Menara tersebut diberi nama
”ARAFAH” yang diresmikan bersamaan dengan acara peringatan 56 tahun
berdirinya pondok pesantren al-Ishlah pada tanggal 25 Desember 2010 M/19
muharam 1432 H.
SANIMAS (Sanitasi Masyarakat Pesantren) “NAMI“ Pondok Pesantren Al Ishlah
Ini merupakan salah satu terobosan baru
yang ada ditempuh oleh pondok pesantren al-Ishlah dalam rangka
menyediakan fasilitas MCK bagi santri yang representatif dan memenuhi
standart kesehatan. Selain sebagai tempat pembuangan kotoran
(tinja/feses) dari para santri, SANIMAS ini mempunyai fungsi ekonomis
yakni dengan memanfaatkan mikro organisme yang dapat menguraikan
tinja/feses untuk diubah menjadi biogas. Energi ramah lingkungan,
selain bebas dari pencemaran juga dapat dimanfaatkan para santri untuk memasak.
Hal ini menjadi energi alternatif sebagai ganti pemakaian kayu bakar,
minyak tanah dan gas LPG. Sanitasi Masyarakat ”NAMI” Pondok yang menelan
biaya lebih dari 200 juta ini dioprasikan mulai bulan April 2010.
Pengambilan nama ”NAMI” merupakan ide dari KH. Zubaduzzaman. NAMI
sendiri adalah singkatan dari ”an-Nadhofatu Minal Iman”.
Perpustakaan
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa
Islam menaruh perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Hubungan timbal
balik antara ilmu agama dan ilmu umum bagaikan sisi mata uang yang
tidak dapat dipisahkan satu sama lain, keberadaannya harus seimbang yang
berorientasi pada kemaslahatan umat.
Hidupnya ajaran Islam harus dipelihara
dengan cara menghidupkan dan mengembangan semangat mencari ilmu serta
memeliharanya. Sedangkan kunci pertama dari pada ilmu pengetahuan adalah
berangkat dari kemauan untuk menulis dan membaca, karena pada dasarnya
apapun yang di baca dan di dengar oleh seseorang akan berdampak pada
pola pikirnya. Apabila hal ini terjadi pada diri seorang santri, dengan
adanya dorongan dan semangat untuk mengkaji buku-buku atau pun kitab
yang telah di sediakan oleh pengelola perpustakaan, maka lambat laun
pola pikirnya pun akan berubah dan ketajaman analisanya pun akan
semakin terasah. Oleh karena itu, minat baca para santri di lingkungan
pesantren harus mendapatkan prioritas yang utama.
Dalam hal ini, upaya yang ditempuh oleh pondok pesantren al-Ishlah adalah dengan mendirikan perpustakaan.
- Perpustakaan ”GERBANG”
Sebenarnya al-Ishlah sudah pernah
merintis perpustakaan, yang didirikan pada tahun 1969. Perpustakaan
yang ini merupakan bangunan perpustakaan pertama yang pernah ada di
dalam lingkungan pondok pesantren al-Ishlah. Pada perkembangannya,
perpustakaan ini mempunyai beberapa koleksi karya fiksi maupun karya
ilmiah dari hasil penelitian, yang diklasifikasikan dalam beberapa
jenis, antara lain: buku dan kitab tentang ajaran Islam (fiqh, hadits,
tafsir, dll.), ketrampilan, keorganisasian, pendidikan, kebudayaan,
kesenian, bahasa, skripsi, dll. Dari tahun ke tahun buku koleksi
perpustakaan semakin bertambah, buku-buku itu merupakan hibah dari ara
santri, atau kenang-kenangan dari mahasiswa yang telah selesai dalam
penulisan skripsi, dan juga dari sumbangan pemerintah daerah. Akan
tetapi dikarenakan kurangnya perhatian dalam hal manajemen, selain buku
itu bertambah, rupa-rupanya satu-persatu buku itu ada yang hilang entah
kemana. Kemudian pada dekade tahun 2002, ada rencana untuk merintis
kembali perpustakaan Pondok Pesantren Al-Ishlah.
Perpustakaan itu diberi nama ”GERBANG”, dan lagi karena sistem manajemen
yang kurang tertata dengan baik, menyebabkan perpustakaan ini tidak
bisa terkondisikan lagi, sehingga pada akhirnya menjadi sebuah kenangan
yang ikut mewarnai sejarah perkembangan perpustakaan pondok pesantren al-Ishlah.
· Al-Maktabah ála ahlussunah wal jama’ah Pondok Pesantren Al-Ishlah
Setelah perpustakaan Gerbang tidak bisa dikondisikan lagi. Pada tahun 2010 ini pondok pesantren al-Ishlah
berupaya untuk dapat menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif,
salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan mendirikan perpustakaan dan
rencananya diresmikan bersamaan dengan acara Peringatan Setengah Abad Pondok Pesantren al-Ishlah. Perpustakaan itu diberi nama ”Al-Maktabah ála ahlussunah wal jama’ah”,
dengan adanya fasilitas perpustakaan nanti diharapkan semangat belajar
santri dalam mengkaji khazanah keilmuan akan semakin meningkat.
5. Pondok Pesantren al-Ishlah Putri
Keluarga besar KH. Thoha Mu’id
merupakan orang-orang yang berpengaruh disekitar Bandarkidul,
khususnya dalam hal keagamaan. Seperti contoh kiprah KH. Abdul Mu’id
(ayahanda KH. Thoha Mu’id) yang dengan ketekunan dan ketelatenan
mendidik santri dan muridnya, terutama dalam mengajar bacaan al-Qur’an
dan berzanji. KH. Abdurrohman (kakak KH. Thoha Mu’id) merupakan sosok
yang aktif memberikan ceramah ke agamaan ditengah-tengah masyarakat
Bandarkidul dan kakak KH. Thoha Mu’id yang bernama Kyai Yusuf merupakan
perintis berdirinya sekolah dengan sistem klasikal ”Madrasah Diniyyah
Ibtidaiyah”, yang menjadi embrio keberadaan Madrasah al-Badriyyah.
Sehingga sepeninggal ayahanda dan
kakak-kakaknya, beliau dianggap mumpuni untuk meneruskan perjuangan
mensyiarkan Islam kepada masyarakat luas, karena sejak kecil beliu
memang menempuh pendidikan di pesantren. Sepulang dari pesantren
Mojosari, selain mendapatkan ilmu, atas restu KH. Zainuddin beliau
berhasil memboyong santri putri untuk selanjutnya dijadikan pendamping
hidup.
Selang beberapa tahun dari pernikahanya, tepatnya tahun 1954
beliau berdua mulai merintis pesantren, mendedikasikan diri untuk
mendidik para santri. Mula-mula yang belajar dan bermukim di al-Ishlah
hanya santri putra saja. Namun seiring dengan perkembangan waktu
keberadaan al-Ishlah semakin dikenal oleh masyarakat luas, maka tidak
hanya santri putra saja yang ingin belajar di al-Ishlah, tetapi juga
santri putri. Dengan kapasitas Ibu Nyai Hj. Siti Asiyah sebagai alumni
pondok pesantren Mojosari, beliaupun memiliki kecakapan untuk mengajar
dan mendidik santri putri.
Pada awalnya beliau hanya mengajar santri kalong. Dekade tahun 1960 an mulai ada santri putri yang menetap di ndalem, waktu itu jumlahnya ± 5-8 orang. Setiap tahun jumlah santri putri yang ingin menetap di al-Ishlah
semakin bertambah itu terbukti pada tahun 1968 tercatat ada ± 20 – 25
orang yang bermukim di al-Ishlah. Keberadaan pondok pesantren
al-Ishlah putri semakin mendapatkan perhatian dari masyarakat, banyak
orang tua yang mengirimkan putri nya untuk mondok di al-Ishlah. Mereka
berharap agar putrinya, selain belajar ilmu agama ia juga mendapat
kesempatan untuk belajar di pendidikan formal yang ada wilayah Kota
Kediri. Saat ini santri putri pondok pesantren Al-Ishlah berasal dari
beberapa daerah. Dari jumlah keseluruhan santri putri itu ditempatkan di
dua komplek .yaitu an-Nikmah dan al-Jannah
Pondok Pesantren al-Ishlah
adalah salah satu pondok pesantren di Kota Kediri yang dibangun di Desa
Bandarkidul 9 tahun pasca kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tahun
1954 M. Komplek Pondok Pesantren Al-Ishlah terletak di sebelah Barat
sungai Brantas dan berada di atas areal tanah seluas ± 1.780 m2.
Lokasi Pondok berada di sebelah Barat alun-alun Kota Kediri, tepatnya
di sebelah Selatan perempatan Jl. Bandar Ngalim
Bandarkidul-Mojoroto-Kota Kediri.
Sejarah perjalanan tujuh windu Pondok Pesantren al-Ishlah,
ini hadir untuk menggugah hati dan membawa ingatan kita terhadap
dinamika dan romantika masa lalu, nan memberi rangsangan semangat,
motivasi dan renungan menuju hidup yang lebih berarti. Sehingga terpatri
sebuah pandangan jernih dalam hati kita dalam menyikapi persoalan
hidup, perjuangan, pengorbanan, kegagalan, kesuksesan, kekayaan,
kemiskinan, persahabatan, cinta dan kasih sayang. Serta himmah untuk meniru jejak perjuangan atas keberhasilan seorang tokoh dalam menegakkan panji-panji Islam
mondok itu menyenangkan
BalasHapus