Aswaja dalam posisi manhaj al-fikr sebagai manifestasi manhaj al-taghayyur al-ijtima’i (manhaj
perubahan sosial)
A. Historisitas
Aswaja
1.
Aswaja dalam Geo-sospol (Genealogi Sosial Politik) Global
Perjalanan Aswaja dalam kurun waktu sejarah peradaban masyarakat
Muslim tidak selamanya mulus. Meskipun dirinya hadir sebagai pemahaman
ke-Islam-an yang dianggap paling sesuai dengan ajaran dan tuntunan Nabi serta
para sahabat.
Secara singkat, kita akan melihatnya dalam tabel berikut;
Secara singkat, kita akan melihatnya dalam tabel berikut;
Periode Momen Sejarah peradaban
Islam
Masa Rasulullah sebagi Awal
munculnya Islam.
Diturunkannya al-Qur’an serta bangunan pondasi sosio kultural
peradaban Islam. Nabi Peletak fondasi Aswaja (ma ana wa ashabi) hadis sekaligus cerminan Aswaja untuk kali
pertama.
Abu Bakar
Di dalam wilayah kekuasaannya, Abu Bakar berhasil menyatukan
umat Islam, setelah menumpas gerakan Nabi palsu dan kaum murtad. Dalam
hubungan ke luar, penyerangan terhadap basis-basis penting Romawi dan Persia
dimulai.
Umar Bin Khattab
Masa ekspansi dan penyebarai Islam ke luar jazirah Arab. Tata
Pemerintahan di Madinah dibakukan berdasarkan asas syura - Persia berhasil
ditaklukkan - Romawi diusir dari tanah arab - terjadi pengkotakan antara Arab
dan non-Arab - wilayah Islam mencapai Cina dan Afrika Utara.
Utsman bin Affan Al-quran dikodifikasi dalam mushaf Utsmani - embrio perpecahan mulai tampak - pemerintahan labil karena gejolak politik dan isu KKN - Armada maritim dibangun sebagai tonggak berdirinya pasukan militer.
Ali bin Abi Thalib
Perang Jamal - Pemberontakan Mua’wiyah - arbitrase Shiffin memecah belah umat menjadi tiga kelompok besar: Syi’ah, Khawarij, Murjiah - Abdullah bin Umar mengkonsolidir gerakan awal Aswaja yang tidak memihak kepada pihak manapun dan lebih memusatkan perhatian pada penyelamatan sunnah - Akhir dari sistem Syura. |
Periode Dinasti (pembentukan
konsep aswaja)
Kemajuan Islam Bani Umayyah
Meneruskan Kekhalifahan sebagai lembaga politik. Abdullah bin Umar berkoalisi dengan penguasa bani umayah. Kembalinya pemerintahan klan atau dinasti - Islam mencapai Andalusia dan Asia tengah - madzhab-madzhab teologis bermunculan; terutama Qadariyah, Jabariyah, Murjiah moderat, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah - Aswaja belum terkonsep secara baku (Abu Hanifah: sebagai pendiri teologi Asy’ariyah). Embrio munculnya mazhab-mazhab. Bani Abbasiyah
Mu’tazilah menjadi ideologi Negara - Mihnah dilancarkan terhadap beberapa Imam Aswaja, termasuk Ahmad
bin Hanbal - Fiqih dan Ushul Fiqih Aswaja disistematisasi oleh al-Syafi’ie,
teologi oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi, Sufi oleh al-Junaid dan Al-Ghazali -
Terjadi pertarungan antara doktrin aswaja dengan kalangan filosof dan tasawuf
falsafi - Kemajuan ilmu pengetahuan sebagai wujud dari dialektika pemikiran –
pembakuan mazhab-mazhab oleh para pengikutnya - Perang salib dimulai -
Kehancuaran Baghdad oleh Mongol menjadi awal menyebarnya umat beraliran Aswaja
sampai ke wilayah Nusantara.
Umayyah Spanyol Aswaja menjadi madzhab dominan - kemajuan ilmu pengetahuan menjadi awal kebangkitan Eropa - Aswaja berdialektika dengan filsafat dalam pemikiran Ibnu Rusyd dan Ibnu ‘Arabi. Aswaja Runtuh spanyol ikut Eropa |
Periode Pembentukan Aswaja
menjadi Ideologi Negara
Kemunduran Islam Turki
Utsmani
Aswaja menjadi ideologi negara dan sudah dianggap mapan -
kesinambungan pemikiran hanya terbatas pada syarah dan hasyiyah
terhadap mazhab yang dipegangi pengikutnya – ilmu keIslaman mengkrucut
menjadi 3 yaitu fiqih, teologi, tasawuf- sedangkan yang lainya hanya penopang
seperti, ilmu bahasa, hadits & ulum alqur’an. Romawi berhasil diruntuhkan
- perang salib berakhir dengan kemenangan umat Islam - kekuatan Syi’ah
(Safawi) berhasil dilumpuhkan - Mughal berdiri kokoh di India.
Kolonialisme Eropa
Masuknya paham sekularisme - pusat peradaban mulai berpindah ke
Eropa - Aswaja menjadi basis perlawanan terhadap imperialisme - kekuatan-kekuatan
umat Islam kembali terkonsolidir.
|
Masa restrukturisasi dan
reinterpretasi Aswaja
Kebangkitan Islam Akhir
Turki Utsmani
Lahirnya Turki muda yang membawa misi restrukturisasi dan reinterpretasi Aswaja - gerakan Wahabi lahir di Arabia - kekuatan Syi’ah terkonsolidir di Afrika utara – Gagasan pan-Islamisme dicetuskan oleh al-Afghani - Abduh memperkenalkan neo-Mu’tazilah – al-Ikhwan al-Muslimun muncul di Mesir sebagai perlawanan terhadap Barat - Berakhirnya sistem kekhalifahan dan digantikan oleh nasionalisme (nation-state) - Aswaja tidak lagi menjadi ideologi Negara. Pasca PD II Aswaja sebagai madzhab ke-Islam-an paling dominan - diikuti usaha-usaha kontekstualisasi aswaja di negara-negara Muslim - lahirnya negara Muslim Pakistan yang berhaluan aswaja - kekuatan Syi’ah menguasai Iran - lahirnya OKI namun hanya bersifat simbolik belaka. |
Catatan sejarah :
Sebagaimana dicatat oleh para
sejarawan muslim paling awal, bahwa terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan pada
tahun 35 H, yang kemudian diikuti dengan pengangkatan Ali bin Abi Thalib oleh
mayoritas kaum muslimin, ternyata menimbulkan protes keras dari Mu’awiyah Ibn
Abu Sufyan, salah seorang gubernur Damaskus yang terhitung masih kerabat
Utsman. Protes kedua dilancarkan oleh “trio”, Aisyah, Thalhah dan Zubair.
Mereka menuduh Ali adalah orang yang paling bertanggungjawab atas tumpahnya
darah Ustman. Gerakan oposisi dua kelompok di atas pada gilirannya pecah
menjadi perang terbuka. Yang pertama pecah dalam perang siffin, sedangkan yang
kedua meledak dalam perang jamal.
Dalam perang siffin, pasukan
Mu’awiyah dalam kondisi terjepit. Dan, guna menghindarkan diri dari kekalahan,
mereka lantas mengajukan usulan agar pertempuran dihentikan dan diselesaikan
melalui jalur arbitrase (perundingan). Strategi ini ternyata sangat
menguntungkan posisi Mu’awiyah dan cukup efektif untuk memecah konsentrasi
pasukan Ali. Terbukti pasukan Ali kemudian terbagi menjadi dua kelompok, disatu
pihak setuju untuk menerima arbitrase (Syiah), sementara dipihak lainnya
menolak dan menginginkan agar pertempuran dilanjutkan sampai diketahui yang
menang dan yang kalah (Khawarij). Apalagi ketika diketahui bahwa dalam
arbitrase pihak Ali yang diwakili oleh Abu Musa Al-’Asy’ari secara “politis”
kalah dalam berdiplomasi melawan kubu Mu’awiyah yang diwakili oleh Amru bin
‘Ash, semakin mengeraskan tekad kelompok yang kontra perundingan untuk keluar dari
barisan Ali.
Berdasarkan deskripsi historis
tersebut dalam periode ini telah muncul partai; Ali (Syiah), Mu’awiyah dan
Khawarij. Munculnya sekte-sekte keagamaan yang lebih bernuansa politis
tersebut, akhirnya melahirkan trauma yang mendalam bagi sebagian umat Muslim.
Sikap trauma tersebut kemudian menjurus pada kenetralan, khususnya bagi warga
Madinah-yang dipelopori Abdullah bin Umar. Mereka mendalami al-qur’an dan
memperhatikan serta mempertahankan tradisi (al-Sunnah) penduduk madinah.
Sehingga dalam hal ijtihad agama kaum netralis ini bersatu dengan Syiah yang
terkenal sangat hati-hati dalam menjaga Sunnah. Namun dalam hal politik kaum
netralis melakukan oposisi diantara muawiyah dan syiah.
Namun kaum netralis ini ternyata
dalam perjalannya bergabung dengan Umayyah, meskipun juga sering melakukan
oposisi dengan rezim damaskus. Pada tahap inilah – proses penyatuan golongan
al-jamah (pendukung muawiyah) dengan al-sunnah (netralis madinah) – yang kelak
akan melahirkan golongan yang dinamakan Aswaja. Karena persoalan inilah
sehingga syiah keluar dari kaum netralis sebagai komitmen mereka untuk tetep
berpegang teguh terhadap Sunnah dan melakukan gerakan oposisi yang melakukan
perlawanan terhadap rezim Damaskus dan menganggap oportunis terhadap kaum
netralis.
Persoalan semakin kabur manakala
mencari identitas aswaja itu melalui wilayah teologi. Dilihat dari aspek
teologi paham aswaja dikonotasikan dengan Asy’ari dan Maturidi. Sedangkan
teologi mu’tazilah dan yang lainnya dipandang sebagai di luar paham aswaja.
Lebih jauh lagi, jika suatu identitas diukur berdasarkan sejauh mana
konsistensi mereka dalam memegang sendi-sendi fiqhiyah, maka sulit sekali untuk
mengatakan teologi mu’tazilah bukan teologi Aswaja. Mengapa? Tidak sulit untuk
memberikan argumen bahwa kebanyakan tokoh mu’tazilah adalah pengikut setia dari
salah satu mazhab fiqih, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Semisal Abu
Jabar yang dalam fiqhnya mengikuti Syafi’i. Data ini diperkuat lagi dengan
fakta bahwa para penguasa Abbasiyah mayoritas saat itu juga mengikuti salah
satu mazhab fiqh aswaja.
Asy’ari sendiri pada mulanya adalah
kader mu’tazilah, karena kekecewaannya terhadap posisi mu’tazilah yang dianggap
tidak relevan dengan perkembangan saat itu serta dipandang telah menjadi
kelompok akademisi teolog yang mengasingkan diri dari tekanan dan ketegangan
waktu, juga cenderung elitis. Pikiran-pikiran Yunani yang dipergunakan sudah
meyimpang jauh dari agama masyarakat awam, sehingga sulit diterima masyarakat
awam.
Ketegangan pemikiran atau lebih tepatnya
dialektika pemikiran jelas tidak mungkin dihindari. Namun sejarah mencatat
bahwa ketegangan yang lebih menjurus pada pertentangan justu terjadi antara
ahlul hadis (dipelopori Hambali dilanjutkan oleh Ibnu Taimiyah selanjutnya oleh
Abdul Wahab) dan ahli teolog (mu’tazilah, Asy’ariyah dan maturidiyah). Bertolak
dari argumen ini ada kemungkinan bahwa paham aswaja teutama dalam lapangan
teologi terjadi polarisasi. Di satu sisi mincul; pemikran yang cenderung
rasionalis, seperti mu’tazilah. Namun pada saat yang sama muncul pemikiran yang
ingin menyapu bersih kecendrungan rasionalistik. Kelompok kedua sering
dikonotasikan dengan teologi Asy’ari. Apapun pertentangan yang muncul,
kenyataan menunjukkan bahwa kelompok moderatlah yang lolos seleksi. Akhirnya kelompok
rasional terpaksa minggir sebelum kemudian redup dan muncul lagi di era
Muhammad Abduh (neo-mu’tazilah).
Kemudian teologi Asy’ari ini
dikembangkan oleh filusuf sekaligus sufistik al-Ghazali yang cenderung kurang
rasional dan tidak terlalu monolok terhadap hadis dengan sikapnya yang sufi
yang cenderung menggunakan rasa dalam menyikapi dialektika keagamaan. Dan dari
tangan hujjatul muslimin inilah paham-paham tersebut menyebar ke se antero
dunia sampai sekarang.
Berdasarkan historis sederhana ini
dapat tarik sebuah kesimpulan, bahwa secara garis besar pasca terjadinya perang
siffin umat muslim terpecah sehingga masing-masing membuat madzhab yang pada
akhirnya mazhab-mazhab ini dikembangkan, diformulasikan dan dibakukan oleh para
kader madzhab. Dengan pembakuan-pembakuan tersebutlah, selanjutnya konsep Islam
disandarkan. Adapun formulasi itu dibagi menjadi tiga yaitu teologi, fiqih dan
tasawuf. Sedangkan ilmu-ilmu yang lain dianggap turunannya sehingga dalam
wilayah metodologi selalu mengakar dan bisa dikembalikan kepada ketiga ilmu
tersebut terutama pada teologi.
2.
Aswaja dalam Sejarah
Nusantara (Ke-Indonesia-an)
Ada kesinambungan antara alur GeoSosPol Aswaja dengan sejarah
Islam di nusantara. Memang banyak perdebatan tentang awal kedatangan Islam di
Indonesia, ada yang berpendapat abad ke-8, ke-11, dan ke-13 M. Namun yang pasti
tonggak kehadiran Islam di Indonesia sangat tergantung kepada dua hal: pertama,
Kesultanan Pasai di Aceh yang berdiri sekitar abad ke-13, dan kedua, Wali Sanga
di Jawa yang mulai hadir pada akhir abad ke-15 bersamaan dengan runtuhnya
Majapahit. Namun, dalam perkembangan Islam selanjutnya yang lebih berpengaruh
adalah Wali Sanga yang dakwah Islamnya tidak hanya terbatas di wilayah Jawa
saja tetapi menggurita ke seluruh pelosok nusantara. Yang penting untuk dicatat
pula, semua sejarahwan sepakat bahwa Wali Sanga-lah yang dengan cukup brilian
mengkontekskan Aswaja dengan kebudayaan masyarakat Indonesia sehingga lahirlah
Aswaja yang khas Indonesia, yang sampai saat ini menjadi basis bagi golongan
tradisionalis, termasuk PMII.
Sebagaimana termaktub dalam Qonun Asasi yang telah dirumuskan oleh
Syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari berdasarkan seleksi beliau terhadap mazhab-mazhab
yang telah diformulasikan pada zaman Abbasiyah. Yaitu; “Dalam ilmu aqidah/teologi
mengikuti salah satu dari Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.
Dalam syari’ah/fiqh mengikuti salah satu Imam empat: Abu Hanifah, Malik bin
Anas, Muhammad bin Idris Al-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. Dalam
tashawuf/akhlaq mengikuti salah satu dua Imam: Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid
al-Ghazali.”
a)
Periode Momen Sejarah Islam
i. awal
Pra-Wali Sanga Masyarakat Muslim bercorak
maritim-pedagang berbasis di wilayah pesisir - mendapat hak istimewa dari
kerajaan-kerajaan Hindu yang pengaruhnya semakin kecil - fleksibilitas politik
- dakwah dilancarkan kepada para elit penguasa setempat.
ii. Wali Sanga, Konsolidasi kekuatan pedagang muslim membentuk konsorsium
bersama membidani berdirinya kerajaan Demak dengan egalitarianisme Aswaja sebagai
dasar Negara – mazhab fiqh mengkrucut syafi’i-sistem kasta secara bertahap
dihapus - Islamisasi dengan media kebudayaan - Tercipta asimilasi dan pembauran
Islam dengan budaya lokal bercorak Hindu-Budha - Usaha mengusir Portugis gagal.
iii. Pasca-Walisanga
– Kolonialisme Eropa
Penyatuan Jawa oleh Trenggana menyebabkan dikuasainya jalur laut Nusantara oleh Portugis, Kekuatan Islam masuk ke pedalaman, kerajaan Mataram melahirkan corak baru Islam Nusantara yang bersifat agraris-sinkretik, mulai terbentuknya struktur masyarakat feodal yang berkelindan dengan struktur kolonial mengembalikan struktur kasta dengan gaya baru, kekuatan tradisionalis terpecah belah, banyak pesantren yang menjadi miniatur kerajaan feudal, kekuatan orisinil aswaja hadir dalam bentuk perlawanan agama rakyat dan perjuangan menentang penjajahan. Arus Pembaruan Islam muncul di Minangkabau melalui kaum Padri. Politik etis melahirkan kalangan terpelajar pribumi, ide nasionalisme mengemuka. Kekuatan Islam mulai terkonsolidir dalam Sarekat Islam (SI). Muhammadiyah berdiri sebagai basis muslim modernis.
Penyatuan Jawa oleh Trenggana menyebabkan dikuasainya jalur laut Nusantara oleh Portugis, Kekuatan Islam masuk ke pedalaman, kerajaan Mataram melahirkan corak baru Islam Nusantara yang bersifat agraris-sinkretik, mulai terbentuknya struktur masyarakat feodal yang berkelindan dengan struktur kolonial mengembalikan struktur kasta dengan gaya baru, kekuatan tradisionalis terpecah belah, banyak pesantren yang menjadi miniatur kerajaan feudal, kekuatan orisinil aswaja hadir dalam bentuk perlawanan agama rakyat dan perjuangan menentang penjajahan. Arus Pembaruan Islam muncul di Minangkabau melalui kaum Padri. Politik etis melahirkan kalangan terpelajar pribumi, ide nasionalisme mengemuka. Kekuatan Islam mulai terkonsolidir dalam Sarekat Islam (SI). Muhammadiyah berdiri sebagai basis muslim modernis.
iv. Kelahiran
NU
Komite Hijaz sebagai embrio, kekuatan modernis dengan paham Wahabinya sebagai motivasi, SI tidak lagi punya pengaruh besar, jaringan ulama’ tradisionalis dikonsolidir dengan semangat meluruskan tuduhan tahayyul, bid’ah, dan khurafat, Qanun Asasi disusun sebagai landasan organisasi NU, aswaja (tradisi) sebagai basis perlawanan terhadap kolonialisme, fatwa jihad mewarnai revolusi kemerdekaan.
Komite Hijaz sebagai embrio, kekuatan modernis dengan paham Wahabinya sebagai motivasi, SI tidak lagi punya pengaruh besar, jaringan ulama’ tradisionalis dikonsolidir dengan semangat meluruskan tuduhan tahayyul, bid’ah, dan khurafat, Qanun Asasi disusun sebagai landasan organisasi NU, aswaja (tradisi) sebagai basis perlawanan terhadap kolonialisme, fatwa jihad mewarnai revolusi kemerdekaan.
v. NU_pra
kemerdekaan NU sebagai salah ORMAS Islam yang
menerima Pancasila sebagai Dasar Negara. Dan menganggap Indonesia sebagai dar sulh (Negara damai)
vi. NU_pasca
kemerdekaan
NU memberi gelar waliyul amri dharury kapada rezim Sukarno. NU menjadi partai politik, masuk dalam aliansi Nasakom, PMII lahir sebagai underbouw di wilayah mahasiswa, di barisan terdepan pemberantasan PKI, ikut membidani berdirinya orde baru, ditelikung GOLKAR dan TNI pada pemilu 1971, Deklarasi Murnajati menandai independennya PMII, NU bergabung dengan PPP pada pemilu 1977, tumbuhnya kesadaaran akan penyimpangan terhadap Qanun Asasi dan perlunya khittah.
NU memberi gelar waliyul amri dharury kapada rezim Sukarno. NU menjadi partai politik, masuk dalam aliansi Nasakom, PMII lahir sebagai underbouw di wilayah mahasiswa, di barisan terdepan pemberantasan PKI, ikut membidani berdirinya orde baru, ditelikung GOLKAR dan TNI pada pemilu 1971, Deklarasi Murnajati menandai independennya PMII, NU bergabung dengan PPP pada pemilu 1977, tumbuhnya kesadaaran akan penyimpangan terhadap Qanun Asasi dan perlunya khittah.
vii. NU pasca
Khittah
NU kembali menjadi organisasi kemasyarakatan, menerima Pancasila
sebagai asas tunggal, menjadi kekuatan utama civil society di Indonesia, posisi
vis a vis Negara, bergabung dalam aliansi nasional memulai reformasi
menjatuhkan rezim orba.
viii.
NU_pasca reformasi Berdirinya PKB
sebagai wadah politik nahdliyyin, Gus Dur sebagai presiden, NU mengalami
kegamangan orientasi, kekuatan civil
society mulai goyah, PMII memulai tahap baru interdependensi. (Pasca Gusdur
sampai sekarang, kekuatan tradisionalis terkotak-kotak oleh kepentingan
politis)
B. Normatifitas
Aswaja dalam Pemahaman PMII
1.
Pergeseran makna Aswaja
Dalam konteks keindonesiaan jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ (NU) dan
Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) ibarat dua sisi mata uang. Ketika menyebut NU
dalam konsep kita akan terbayang imam-imam besar sebagaimana dirumuskan oleh
faunding father Hadratus Syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari dalam Qanun Asasi .
Yaitu : “Dalam ilmu aqidah/teologi
mengikuti salah satu dari Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.
Dalam syari’ah/fiqh mengikuti salah satu Imam empat: Abu Hanifah, Malik bin
Anas, Muhammad bin Idris Al-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. Dalam tashawuf/akhlaq
mengikuti salah satu dua Imam: Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid al-Ghazali.”
Ada dua pola pemahaman kaum Muslimin terhadap Ahlussunnah wal
Jama’ah (Aswaja).
Ø Pertama, yang memahami Aswaja identik dengan Islam dengan doktrin
pemurnian (purifikasi) ajaran Islam.
Ø Kedua, yang mamahami Aswaja sebagai “mazhab” saja.
Baik pola pertama maupun kedua masing-masing mampunyai kelemahan.
Yang pertama seringkali mengklaim bahwa kebenaran hanya milik kelompoknya,
sehingga kesan sektarianisme sulit dihindarkan. Pada level praksisnya,
pengkafiran (takfir) menjadi bagian tidak terpisahkan dalam relasinya dengan
non-muslim maupun dengan umat Islam tapi yang tidak satu aliran sehingga bentuk
kekerasan menjadi mudah dilakukan atas dasar teks agama.
Pola mazhab juga mempunyai kecenderungan untuk menjadi institusi,
dan karenanya ia menjadi kaku (jumud),
karena mazhab mengandaikan kebakuan suatu pola ajaran, dan akhirnya itu semua
menjadi ajaran atau doktrin yang terbakukan. Di pola nomer dua inilah mayoritas
masyarakat NU memahaminya, bahkan rumusan definitif Aswaja tersebut dalam
perkembangannya hanya dipahami dalam konteks “berfikih” dan mengikuti apa saja yang telah dihasilkan para ulama
terdahulu (taklid). Lebih jauh, pada
dataran praksisnya Aswaja mengkrucut lagi menjadi mazhab fiqih syafi’i saja dan
menempatkan fiqih sebagai “kebenaran ortodoksi” yakni menundukkan realitas
dengan fikih. Menyadari realitas yang demikian itu, maka Aswaja haruslah
dipahami dan direfleksikan kembali ke dalam konteks aslinya, yang sesungguhnya
sangat kritis, eklektik dan analitis.
Memang tiga pola panutan Qanun Asasi ini dalam prakteknya tidaklah
sederhana dan cenderung problematis. Apalagi ketika dirunut sejarah
masing-masing ajaran disertai dengan varian-varian pemikiran para pengikutnya,
semakin jelas terjadi kompeksitas gagasan bahkan terjadi pemilahan pada dua
kutub yang saling berseberangan. Realitas sejarah pemikiran beserta
varian-varian mazhab yang tersebut di atas, membawa kita untuk berkesimpulan
bahwa Aswaja bukanlah sebuah doktrin yang kaku, baku dan linear. Banyak sekali
persoalan di dalamnya. Sehingga dalam memahami Aswaja tidaklah cukup hanya pada
produk pemikiran (mazhab) atau perkataan (qauli
yang terdokumentasi dalam karya-karya) dari para mazhab-mazhab di atas, akan
tetapi juga metode (manhaj) berpikir
mereka dalam menyusun pemikirannya yang disesuaikan dengan konteks yang mereka
hadapi.
Maka qoul-qoul mazhab terutama dalam kajian fiqih yang sudah
terbukukan jika dalam konteks sekarang tidak relevan -bukan berarti salah- maka
harus diinterpretasi ulang dan mengembalikannya ke Al-qur’an dan sunnah.
Kemudian dari teks agama ini digali hukum-hukum baru dengan menggunakan
metodologi imam mazhab tersebut (mazhab
minhaj). Agar sesuai dengan keadaan
sosial sekarang.
Ada empat ciri yang menonjol dalam memaknai aswaja sebagai mazhab minhaj ini.
Ø Pertama, fiqih dihadirkan sebagai etika dan interpretasi sosial
bukan sebagai hukum positif mazhab.
Ø Kedua, dalam hal metodologi mazhab tersebut di dalamnya sudah
mulai diperkenalkan metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah
sosial budaya.
Ø Ketiga, verifikasi terhadap mana ajaran pokok (usul) dan mana cabang (furu’).
Ø Keempat, selalu diupayakan interpretasi ulang dalam kajian
teks-teks fiqih untuk mencari konteksnya yang baru.
Dengan model bermazhab seperti ini diharapkan dapat memberikan
spirit baru untuk keluar dari “tempurung sakral” masa lampau dan berani
memunculkan pikiran-pikiran eksprementatif sosial yang kreatif dan orisinil.
Dalam konteks ini kreasi-kreasi ulama masa lalu tetap tidak dinafikan dan
diletakkan dalam kerangka kooperatif, namun karya tersebut jangan sampai
menjadi belenggu pemikiran yang mematikan. Sehingga jalan masuk untuk melakukan
terobosan baru dalam setting tranformasi sosial, ekonomi politik maupun budaya
menjadi lebar.
Peletakan fiqih seperti ini memunculkan problem metodologis yang sangat besar karena mazhab yang dianut masyarakat NU adalah mazhab Syafi’i. Kendati dalam Qonun Asasi mengakui adanya empat mazhab, namun dalam wilayah praksisnya itu tidak secara otomatis dilakukan secara eklektik karena ada rambu-rambu talfiq metodologi yang tidak mudah ditembus. Meski demikian dikalangan para kiai sepuh yang notabennya menguasai ilmu-ilmu agama metode ini sudah diterapkan. Hal ini bisa dlihat dari adanya bahsul masa’il yang mencoba merumuskan pemikiran-pemikaran segar agar selalu menyesuaikan zaman.
Peletakan fiqih seperti ini memunculkan problem metodologis yang sangat besar karena mazhab yang dianut masyarakat NU adalah mazhab Syafi’i. Kendati dalam Qonun Asasi mengakui adanya empat mazhab, namun dalam wilayah praksisnya itu tidak secara otomatis dilakukan secara eklektik karena ada rambu-rambu talfiq metodologi yang tidak mudah ditembus. Meski demikian dikalangan para kiai sepuh yang notabennya menguasai ilmu-ilmu agama metode ini sudah diterapkan. Hal ini bisa dlihat dari adanya bahsul masa’il yang mencoba merumuskan pemikiran-pemikaran segar agar selalu menyesuaikan zaman.
Dan seiring berkembangnya zaman mazhab minhaj inipun dirasakan kurang menyentuh realitas. Lagi-lagi,
realitas harus dijustifikasi dengan metodologi agama yang sebatas pada ketiga
pola qanun asasi yaitu fiqih, teologi dan tasawuf, terutama dalam aspek
fiqihnya. Pemahaman seperti ini tidak memadai untuk dijadikan pijakan gerak PMII.
Sebab, pemahaman demikian cenderung menjadikan Aswaja sebagai sesuatu yang
dalam konsep metodologi menjadi beku dan tidak bisa diotak-atik lagi.
Pemaknaannya hanya dibatasi pada metodologi ulama klasik saja. karena secanggih
apapun metodologi, selalu tergantung pada waktu dan tempat (konteks) yang
dihadapinya. Padahal untuk menjadi dasar sebuah pergerakan, Aswaja harus
senantiasa fleksibel dan terbuka untuk ditafsir ulang dan disesuaikan dengan
konteks saat ini dan yang akan datang. Inilah yang dinamakan sebagai metodologi
yang terbuka. Oleh karena itu, lagi-lagi interpretasi ulang terhadap konsep
mazhab manhaj harus dilakukan.
Lebih jauh, implikasi yang dihasilkan dalam tatanan pola fikir dan
pranata sosial yang dihadirkan dalam kehidupan orang-orang NU dianggap terlalu
kaku sehingga kurang responsive terhadap tantangan dan tuntuan perkembangan
zaman. Khususnya dalam hal-hal yang terkait dengan persoalan hudud, hak asasi
manusia, hukum public, jender dan pandangan dengan non-muslim. Meski manhaj madhab telah dilakukan tetapi
tetap saja rumusan Qonun Asasi khususnya fiqih tidak berani mendekati kecuali
ulama-ulama yang dianggap mumpuni.
Tegasnya, manhaz mazhab yang bertumpu pada keilmuan fikih yang
berimplikasi pada cara pandang dan tatanan paranata sosial dalam masyarakat NU
belum berani dan selalu menahan diri untuk bersentuhan dan berdialog langsung
dengan ilmu-ilmu baru yang muncul pada abad ke-18 dan 19 di dataran Eropa yang
notabennya non-muslim, seperti antropologi, sosiologi, budaya, psikologi, filsafat
dan lain sebagainya. Bahkan dari yang sesama muslim yang dianggap tidak satu
mazhab seperti, mu’tazilah, wahabi, syiah, khawarij, dll. maupun para pemikir
Islam kiri seperti Hasan Hanafi, Muhammad Abduh, Muhammad Arkun, Fazlurrahman,
dll. masyarakat NU masih sangat eksklusif.
Maka ketebukaan terhadap kemungkinan kontak dan pertemuan langsung
antara tradisi pemikiran keilmuan Manhaj
madhab dengan keilmuan kontemporer yang telah memanfaatkan kerangka teori dan
pendekatan yang digunakan oleh ilmu-ilmu sosial dan humanistic harus lakukan.
Sehingga terciptanya tatanan masyarakat yang berdimensi kemanusian yang tidak
melulu berporos pada fiqih yang cendrung transdental an sich. Ketika pola
ijtihad tersebut bertemu dan berdialog maka teori, metode, dan pendekatan yang
digunakan pun perlu dirubah. Jadi dalam rumusan fiqih dan kaidah usul fiqh
dilakukan infilterisasi yang ketat sejauh mana ia sesuai dengan konteks zaman
dan tidak bertentangan dengan paradigma gerakan dan pembaharuan yang progresif.
2.
Aswaja sebagai Manhajul
Fikr dan Manhaj At-Taghayyur al-Ijtima’i
Dari sinilah maka kemudian PMII juga memaknai Aswaja sebagai manhaj tagayyur al ijtima’i yaitu pola
perubahan yang berdimensi sosial-kemasyarakatan-kemanusiaan yang sesuai dengan
nafas perjuangan Rasulullah yang dilanjutkan para sahabat penerusnya sampai
diera kontemporer. Yang mana metode ini tidak hanya tetumpu pada aspek fiqih
dan usul fikih saja, namun memodifikasikannya dengan keilmuan yang lain baik
itu datangnya dari para pemikir muslim ataupun non-muslim dengan tetap
mempertahankan dimensi historisitas dari keilmuan fiqih dan juga barang tentu
teologi dan tasawuf yang disusun beberapa abad tahun yang lalu untuk diajarkan
terus menerus pada era sekarang setelah permasalahan zaman terus berevolusi.
Kemudian, rangkaian histories-empiris-fleksibilitas epistemologi
dan metodologi yang sesuai situasi politik dan sosial yang meliputi masyarakat
muslim waktu itu., mulai dari Rasulullah sampai manhaj at-taghayyur al-ijtima’I yang terbingkai dalam landasan (al-tawassuth) netral/proporsional (al-Tawazun), keadilan (al-Ta’adul) dan toleran (al-Tasamuh). itulah yang oleh PMII
dimaknai Aswaja sebagai manhajul fikr
yaitu metode berpikir yang digariskan oleh para sahabat Nabi dan tabi’in yang
sangat erat kaitannya dengan situasi politik dan sosial yang meliputi
masyarakat muslim waktu itu.
Dari manhajul fikr
inilah lahir pemikiran-pemikiran keIslaman baik di bidang aqidah, syari’ah,
maupun akhlaq/tasawuf, dan barang tentu juga ilmu-ilmu sosial humaniora
walaupun beraneka ragam tetap berada dalam satu ruh. Inti yang menjadi ruh dari
Aswaja baik sebagai manhajul fikr maupun
manhaj taghayyur al-ijtima’i adalah
sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah : ma ana ‘alaihi wa ashabi (segala sesuatu yang datang dari rasul dan
para sahabatnya.
Jadi, Benang merah yang bisa ditarik dari manhaj al-fikr para Imam
dan pemikir tersebut adalah sebuah metode berfikir yang “eklektik” (mencoba mencari titik temu dari sekian perbedaan dengan
pembacaan jeli, sampai melahirkan tawaran alternatif). Dan posisi pemikiran
mereka dalam dialektika pemikiran dan kuasa maknanya baik kebebasan berpikir,
berucap, bertindak/bersikap, berhubungan, barmasyarakat, berberbangsa dan
bernegara selalu terbingkai dalam landasan; (al-tawassuth) netral/proporsional
(al-Tawazun), keadilan (al-Ta’adul) amarma’ruf nahi munkar, istiqamah dan
toleran (al-Tasamuh).
Argumen ini kemudian menjadi dasar pijak untuk tidak terlalu
mempersoalkan apakah yang diadopsi itu barasal dari epistemologi yang berlatang
belakang sebagaimana Qonun Asasi atau dari luar Qanun Asai tersebut, seperti
mu’tazilah, khawarij, syiah dan lain-lainnya. Bahkan barang tentu metode
ilmu-ilmu sosial humanistic yang datang dari barat. Yang dalam hal ini focus
utamanya adalah sejauh mana metodologi-metodologi itu dapat diimplementasikan
secara nyata dan memberi manfaat kapada umat manusia secara universal.
3.
Landasan (bingkai) dan prinsip dasar Aswaja Dalam Arus Sejarah
1. Tawassuth
Tawassuth bisa dimaknai sebagai berdiri di tengah, moderat, tidak ekstrim (baik ke kanan maupun ke kiri), tetapi memiliki sikap dan pendirian. Khairul umur awsathuha (moderat adalah sebaik-baik perbuatan). Tawassuth merupakan landasan dan bingkai yang mengatur bagaimana seharusnya kita mengarahkan pemikiran kita agar tidak terjebak pada pemikiran agama an sich. Dengan cara menggali&meelaborasi dari berbagai metodologi dari berbagai disiplin ilmu baik dari Islam maupun barat. Serta mendialogkan agama, filsafat dan sains.
Tawassuth bisa dimaknai sebagai berdiri di tengah, moderat, tidak ekstrim (baik ke kanan maupun ke kiri), tetapi memiliki sikap dan pendirian. Khairul umur awsathuha (moderat adalah sebaik-baik perbuatan). Tawassuth merupakan landasan dan bingkai yang mengatur bagaimana seharusnya kita mengarahkan pemikiran kita agar tidak terjebak pada pemikiran agama an sich. Dengan cara menggali&meelaborasi dari berbagai metodologi dari berbagai disiplin ilmu baik dari Islam maupun barat. Serta mendialogkan agama, filsafat dan sains.
2. Tasamuh
Tasamuh adalah toleran, tepa selira. Sebuah landasan dan bingkai yang menghargai perbedaan, tidak memaksakan kehendak dan merasa benar sendiri. Nilai yang mengatur bagaimana kita harus bersikap dalam hidup sehari-hari, khususnya dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Tujuan akhirnya adalah kesadaran akan pluralisme atau keragaman, yang saling melengkapi bukan membawa kepada perpecahan. Dalam kehidupan beragama, tasamuh direalisasikan dalam bentuk menghormati keyakinan dan kepercayaan umat beragama lain dan tidak memaksa mereka untuk mengikuti keyakinan dan kepercayaan kita. Dalam kehidupan bermasyarakat, tasamuh mewujud dalam perbuatan-perbuatan demokratis yang tidak mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama. Dan setiap usaha bersama itu ditujukan untuk menciptakan stabilitas masyarakat yang dipenuhi oleh kerukunan, sikap saling menghargai, dan hormat-menghormati. Di berbagai wilayah, tasamuh juga hadir sebagai usaha menjadikan perbedaan Agama, Negara, ras, suku, adat istiadat, dan bahasa sebagai élan dinamis bagi perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Perbedaan itu berhasil direkatkan oleh sebuah cita-cita bersama untuk membentuk masyarakat yang berkeadilan, keanekaragaman saling melengkapi. Unity in diversity.
Tasamuh adalah toleran, tepa selira. Sebuah landasan dan bingkai yang menghargai perbedaan, tidak memaksakan kehendak dan merasa benar sendiri. Nilai yang mengatur bagaimana kita harus bersikap dalam hidup sehari-hari, khususnya dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Tujuan akhirnya adalah kesadaran akan pluralisme atau keragaman, yang saling melengkapi bukan membawa kepada perpecahan. Dalam kehidupan beragama, tasamuh direalisasikan dalam bentuk menghormati keyakinan dan kepercayaan umat beragama lain dan tidak memaksa mereka untuk mengikuti keyakinan dan kepercayaan kita. Dalam kehidupan bermasyarakat, tasamuh mewujud dalam perbuatan-perbuatan demokratis yang tidak mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama. Dan setiap usaha bersama itu ditujukan untuk menciptakan stabilitas masyarakat yang dipenuhi oleh kerukunan, sikap saling menghargai, dan hormat-menghormati. Di berbagai wilayah, tasamuh juga hadir sebagai usaha menjadikan perbedaan Agama, Negara, ras, suku, adat istiadat, dan bahasa sebagai élan dinamis bagi perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Perbedaan itu berhasil direkatkan oleh sebuah cita-cita bersama untuk membentuk masyarakat yang berkeadilan, keanekaragaman saling melengkapi. Unity in diversity.
3. Tawazun
Tawazun berarti keseimbangan dalam bergaul dan berhubungan, baik yang bersifat antar individu, antar struktur sosial, antara Negara dan rakyatnya, maupun antara manusia dan alam. Keseimbangan di sini adalah bentuk hubungan yang tidak berat sebelah (menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak yang lain). Tetapi, masing-masing pihak mampu menempatkan dirinya sesuai dengan fungsinya tanpa mengganggu fungsi dari pihak yang lain. Hasil yang diharapkan adalah terciptanya kedinamisan hidup.
Tawazun berarti keseimbangan dalam bergaul dan berhubungan, baik yang bersifat antar individu, antar struktur sosial, antara Negara dan rakyatnya, maupun antara manusia dan alam. Keseimbangan di sini adalah bentuk hubungan yang tidak berat sebelah (menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak yang lain). Tetapi, masing-masing pihak mampu menempatkan dirinya sesuai dengan fungsinya tanpa mengganggu fungsi dari pihak yang lain. Hasil yang diharapkan adalah terciptanya kedinamisan hidup.
4. Ta’adul/‘Adalah
Yang dimaksud dengan ta’adul adalah keadilan, yang merupakan ajaran universal Aswaja. Setiap pemikiran, sikap dan relasi, harus selalu diselaraskan dengan landasan ini. Pemaknaan keadilan yang dimaksud di sini adalah keadilan sosial. Yaitu landasani kebenaran yang mengatur totalitas kehidupan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Sejarah membuktikan bagaimana Nabi Muhammad mampu mewujudkannya dalam masyarakat Madinah. Bagitu juga Umar bin Khattab yang telah meletakkan fundamen bagi peradaban Islam yang agung.
Yang dimaksud dengan ta’adul adalah keadilan, yang merupakan ajaran universal Aswaja. Setiap pemikiran, sikap dan relasi, harus selalu diselaraskan dengan landasan ini. Pemaknaan keadilan yang dimaksud di sini adalah keadilan sosial. Yaitu landasani kebenaran yang mengatur totalitas kehidupan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Sejarah membuktikan bagaimana Nabi Muhammad mampu mewujudkannya dalam masyarakat Madinah. Bagitu juga Umar bin Khattab yang telah meletakkan fundamen bagi peradaban Islam yang agung.
Keempat landasan tersebut dalam prosesnya harus berjalan bersamaan
dan tidak boleh ada dari satupun bingkai ini tertinggal. Karena jika yang satu
tidak ada maka Aswaja sebagai Manhaj fikr
akan pincang.
C. Implementasi
Landasan Aswaja dalam konteks Gerakan
Aswaja sebagai manhaj fikr dan manhaj
taghayyur al-ijtima’ bisa kita tarik dari nilai-nilai perubahan yang
diusung oleh Nabi Muhammad dan para sahabat ketika merevolusi masyarakat Arab
jahiliyah menjadi masyarakat yang tercerahkan oleh nilai-nilai keadilan dan
kemanusiaan universal. Ada dua hal pokok yang menjadi landasan perubahan itu :
Ø Basis epistemologi, yaitu cara berfikir yang sesuai denganü
kebenaran qur’ani dan sunnah nabi yang diimplementasikan secara konsekwen dan
penuh komitmen oleh para pemikir dalam historisitas asawaja yang terbingkai
dalam enam poin tersebut.
Ø Basis realitas, yaitu Dialektika antara konsepü dan realita
yang selalu terbuka untuk dikontekstualkan sesuai dinamika perubahan dan
lokalitas serta keberpihakan kepada kaum tertindas dan masyarakat lapisan
bawah.
Dua basis ini terus menjadi nafas
perubahan yang diusung oleh umat Islam yang konsisten dengan aswaja, termasuk
di dalamnya PMII. Konsistensi di sini hadir dalam bentuk élan dinamis gerakan
yang selalu terbuka untuk dikritik dan dikonstruk ulang, sesuai dengan dinamika
zaman dan lokalitas. Dia hadir tidak dengan klaim kebenaran tunggal, tetapi
selalu berdialektika dengan realitas, jauh dari sikap eksklusif dan fanatik.
Maka empat landasan yang dikandung oleh aswaja, untuk konteks sekarang harus
kita tafsirkan ulang sesuai dengan perkembangan teori-teori sosial dan
ideologi-ideologi dunia.
Tawassuth harus kita maknai sebagai
tidak mengikuti nalar kapitalisme-liberal di satu sisi dan nalar sosialisme di
sisi lain. Kita harus memiliki cara pandang yang otentik tentang realitas yang
selalu berinteraksi dalam tradisi. Pemaknaannya ada dalam paradigma yang
dipakai oleh PMII yaitu paradigma kritis transformatif.
Walaupun dalam kerangka konseptual
Aswaja menekan pandangan yang sangat moderat, itu tidak bisa diartikan secara
serampangan sebagai sikap sok bijak dan mencari selamat serta cenderung
oportunis. Tetap ada prinsip-prinsip dasar yang harus dipegang dalam Aswaja.
Istinbath al-ahkam
|
• Al-Qur’an
• Al-Hadits • Al-Ijma’ • Al-Qiyas • Ilimu sosial humaniora |
Aqidah
|
• Uluhiuat
• Nubuwat • al-Ma’ad (Eskatologis) |
Sosial/Politik
|
• Al-Syura
• Al-Adl • Al- Hurriyah • Al-Musawah • Ilimu sosial humaniora |
Jadi misalnya, dalam Aswaja tidak
ditekankan bentuk negara macam apa yang dibentuk: republik, Federal, Islam atau
apa pun. Akan tetapi bagi Aswaja apa pun bentuk negaranya yang terpenting
prinsip-prinsip di atas teraplikasikan oleh pemerintah dan segenap jajarannya.
Sekaligus, juga Aswaja tidak melihat apakah pemimpin itu muslim atau bukan asal
bisa memenuhi prinsip di atas.
Tasamuh harus kita maknai sebagai
bersikap toleran dan terbuka terhadap semua golongan selama mereka bisa menjadi
saudara bagi sesama. Sudah bukan waktunya lagi untuk terkotak-kotak dalam
kebekuan golongan, apalagi agama. Seluruh gerakan dalam satu nafas
pro-demokrasi harus bahu membahu membentuk aliansi bagi terbentuknya masyarakat
yang lebih baik, bebas dari segala bentuk penindasan dan penjajahan. PMII harus
bersikap inklusif terhadap sesama pencari kebenaran dan membuang semua bentuk
primordialisme dan fanatisme keagamaan.
Tawazun harus dimaknai sebagai
usaha mewujudkan egalitarianisme dalam ranah sosial, tidak ada lagi kesenjangan
berlebihan antar sesama manusia, antara laki-laki dan perempuan, antara kelas
atas dan bawah. Di wilayah ekonomi PMII harus melahirkan model gerakan yang
mampu menyeimbangkan posisi Negara, pasar dan masyarakat. Berbeda dengan
kapitalisme yang memusatkan orientasi ekonomi di tangan pasar sehingga fungsi
negara hanya sebagai obligator belaka dan masyarakat ibarat robot yang harus
selalu menuruti kehendak pasar; atau sosialisme yang menjadikan Negara sebagai
kekuatan tertinggi yang mengontrol semua kegiatan ekonomi, sehingga tidak ada
kebebasan bagi pasar dan masyarakat untuk mengembangkan potensi ekonominya.
Di wilayah politik, isu yang
diusung adalah mengembalikan posisi seimbang antara rakyat dan negara. PMII
tidak menolak kehadiraan negara, karena Negara melalui pemerintahannya
merupakan implementasi dari kehendak rakyat. Maka yang perlu dikembalikan
adalah fungsi negara sebagai pelayan dan pelaksana setiap kehendak dan
kepentingan rakyat. Di bidang ekologi, PMII harus menolak setiap bentuk
eksploitasi alam hanya semata-mata demi memenuhi kebutuhan manusia yang
berlebihan. Maka, kita harus menolak nalar positivistik yang diusung oleh
neo-liberalisme yang menghalalkan eksploitasi berlebihan terhadap alam demi
memenuhi kebutuhan bahan mentah, juga setiap bentuk pencemaran lingkungan yang
justru dianggap sebagai indikasi kemajuan teknologi dan percepatan produksi.
Ta’adul sebagai keadilan sosial mengandaikan
usaha PMII bersama seluruh komponen masyarakat, baik nasional maupun global,
untuk mencapai keadilan bagi seluruh umat manusia. Keadilan dalam ranah
ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, dan seluruh ranah kehidupan. Dan
perjuangan menuju keadilan universal itu harus dilaksanakan melalui usaha
sungguh-sungguh, bukan sekadar menunggu anugerah dan pemberian turun dari
langit.
Kemudian dari keempat landasan
(bingkai) dan prinsip dalam hal perubahan inilah yang menurunkan Nilai-nilai pergerakan.
Natijah :
Aswaja sebagia manhajul fikr dalam Historisitasnya berusaha dengan sungguh-sungguh menyusun agenda metodologis yang sesuai dengan perubahan zaman dengan mencoba menggabungkan dari berbagai metodologi-ulama pada zaman sekarang dan sebelumnya. Dengan melacak akar historisnya, karena sejarah adalah sistem yang membangun masa kini dan yang akan datang.
Aswaja sebagia manhajul fikr dalam Historisitasnya berusaha dengan sungguh-sungguh menyusun agenda metodologis yang sesuai dengan perubahan zaman dengan mencoba menggabungkan dari berbagai metodologi-ulama pada zaman sekarang dan sebelumnya. Dengan melacak akar historisnya, karena sejarah adalah sistem yang membangun masa kini dan yang akan datang.
Metodologi yang dimaksud disini adalah menjadikan al-Qur’an,
hadits dan metodologi-ulama baik dari Timur maupun barat sebagai kerangka
Epistemologi dan Aksiologi bagi kader PMII dalam menafsirkan dan
mentransformasikan realitas. Sehingga epistemologi ini tampak abstrak karena
terdapat berbagai varian metodologi yang kesemuanya masih dalam Lingkup Aswaja
dan sulit ditemukan benang merahnya. Bahkan sampai sekarang, metodologi
tersebut belum ditemukan. Hal ini berbeda ketika Aswaja sebagai manhaj mazhab,
disini metolodogi sangat jelas yakni berdasarkan metodologi yang disusun oleh
para Imam Mazhab (Qonun Asasi) semisal kaidah ushul fiqh dan Qiyasnya
Syafi’I, istihsannya maliki, maslahah mursalah, dll. Sedangkan
paradigmanya dan orientasinya adalah fiqh. Meski dalam perjalanannya dianggap
tidak relevan.
Wallahu a’lam wi al-shawab.
0 komentar:
Posting Komentar